Senin, 31 Januari 2011

Gelora Perlawanan Rakyat di 100 Hari Pemerintahan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko

Ditulis oleh Sutikno, Ketua SAKERA (Satu Kedaulatan Rakyat) 

Kabupaten Banyuwangi sebagai wilayah yang berada di ujung timur Pulau Jawa secara umun mempunyai potensi alam yang cukup besar. Mulai dari lahan pertanian, perkebunan, pertambangan dan wilayah pantai yang membentang luas. Artinya daerah ini memiliki banyak potensi untuk kesejahteraan penduduknya.

Ditengah banyaknya potensi alam, jumlah penduduk miskin di Banyuwangi menurut data BPS tahun 2007 sebesar 157.347 KK atau sekitar 460.000 jiwa yang tersebar di 24 kecamatan dengan rincian; hampir miskin 64.649 KK, miskin 65.451 KK dan sangat miskin 27.247 KK. Jika dihitung kasar, angka kemiskinan di Banyuwangi relatif tinggi sebesar 28,75% dari total keseluruhan jumlah penduduk Banyuwangi 1,6 juta jiwa.

Lemahnya sumber daya manusia (SDM) semakin memperparah kemiskinan. Minimnya lulusan pendidikan formal juga memicu banyaknya angka kemiskinan. Data tahun 2006, penduduk Banyuwangi kebayakan hanya tamatan SD/MI yang mencapai 33,93%, tamatan SMP/MTS/sederajat 17,09%, tamatan SMA 9,37%, tamatan SMK 5,15% dan tamatan Perguruan Tinggi hanya 1,56%, sisanya banyak yang tidak tamat atau tidak pernah mengenyam pendidikan formal.

Jumlah pengangguran juga masih tinggi sebesar 9,93%  atau sekitar 34.000 jiwa, disebabkan karena penyerapan kerja yang yang masih relatif kecil dimana jumlah pegawai di instansi formal hanya sebesar 185.000 jiwa dan sisanya bekerja di sektor informal, bekerja kasar dan menjadi TKW. Jumlah pengangguran juga masih tinggi sebesar 9,93%  atau sekitar 34.000 jiwa, disebabkan karena penyerapan kerja yang yang masih relatif kecil dimana jumlah pegawai di instansi formal hanya sebesar 185.000 jiwa dan sisanya bekerja di sektor informal, bekerja kasar dan menjadi TKW.  

Fakta kemiskinan di tengah kekayaan sumber daya alam tersebut tampak cukup memperkuat kesimpulan Helmi Rosyadi, Ketua Umum Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin bahwa fenomena kemiskinan di Kabupaten Banyuwangi tergolong kemiskinan struktural. Penyebabnya antara lain; (1) rendahnya tingkat pendidikan dan derajat kesehatan; (2) terbatasnya lapangan kerja, kalah dalam persaingan dalam kegiatan ekonomi; (3) terbatasnya kapasitas prasarana; dan (4) terbatasnya dukungan sistem dan kelembagaan sosial, ekonomi, dan politik. Salah satu akar persoalan dari semua penyebab kemiskinan struktural tersebut paling tidak dikarenakan politik investasi yang berorientasi obral sumber daya alam dengan pendekatan kebijakan pro-modal.

Orientasi politik investasi ini pada akhirnya mengakibatkan ketimpangan distribusi lahan. Bagi sebuah wilayah agraris yang mengandalkan basis produksi pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai penggerak ekonomi daerah, kecenderungan itu pada akhirnya menggeser posisi petani sebagai aktor ekonomi pedesaan yang utama. Hampir sebagian besar proyek pengembangan pembangunan pertanian dan perkebunan tidak lagi berbasis rumah tangga petani, tetapi pemilik modal.

Selain itu, ekspansi pemilik modal juga kian memicu banyaknya konversi hutan dan lahan pertanian rakyat – baik berdasarkan mekanisme pasar maupun tekanan kebijakan – menjadi areal pertambangan dan perkebunan besar. Konsekuensinya, banyak rumah tangga tani kemudian kehilangan lahan pertanian. Proletarisasi pun terniscayakan, dan sebagian petani telah menjadi buruh tani atau buruh perkebunan. Hal itu menunjukkan kekuatan ekonomi politik kaum tani kian terpinggirkan.

Kondisi ini diperparah oleh praktek korupsi yang tak kunjung reda, bahkan menunjukkan peningkatan. Jika dipetakan, pelaku korupsi yang terendus dalam lima tahun terakhir didominasi pejabat pemerintahan. Kecenderungan tersebut, secara langsung atau tidak, berdampak pada berkurangnya alokasi anggaran untuk program-program jaminan dan layanan sosial dasar, khususnya pendidikan dan kesehatan ataupun program-program pembangunan infrastruktur ekonomi masyarakat miskin, terutama di pedesaan. Akibatnya, capaian pembangunan dan kesejahteraan masyarakat miskin tak kunjung meningkat.

Menjelang dan setelah Pemilu legislatif maupun Pemilukada, orientasi politik investasi dan praktek korupsi cenderung berlanjut. Sebab, konfigurasi kekuatan politik dan elite-elite pengambil kebijakan belum banyak berubah. Pertama, di DPRD Banyuwangi, hasil Pileg 2009 masih menempatkan partai-partai lama menjadi kekuatan dominan, dan diisi elite-elite yang komitmen kerakyatannya dinilai rendah. Hal ini paling tidak tercermin dalam APBD tahun 2011. Dimana alokasi dana untuk kelompok masyarakat (Pokmas) diganti untuk jaring aspirasi masyarakat (Jasmas) dimana setiap anggota DPRD Banyuwangi yang berjumlah 50 orang mendapat dana mencapai Rp.300 juta.

Kedua, dalam 100 hari Pemerintahan Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi masa periode 2010-2015, Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko lebih mengutamakan pengembangan investasi daripada mewujudkan janji-janjinya semasa kampanye untuk sembako lebih terjangkau dan lapangan kerja lebih luas. Janji memberikan bantuan modal untuk pengusaha mikro nyatanya sampai 100 hari pemerintahannya juga tak kunjung diwujudkan.

Pemerintahan yang baru di Kabupaten Banyuwangi seyogyanya bisa memberikan harapan baru bagi perubahan konstruksi ekonomi politik yang menguntungkan masyarakat miskin. Namun dari konstelasi politik yang berkembang, tampaknya optimisme tinggi tidak patut ditumbuhkan. Kebijakan politik investasi yang eksploitatif dan menindas rakyat kecil serta konstruksi sosial politik yang manipulatif dan feodalis memunculkan riak-riak perlawanan rakyat antara lain perjuangan buruh PT. Maya - Muncar menuntut hak-hak normatifnya, Perjuangan para PKL dan pedagang pasar menentang penggusuran dan demontrasi yang dilakukan oleh GmnI, PMII, dan Aliansi Rakyat Miskin (ARM) mengkritisi 100 hari Pemerintah Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko. Riak-riak itu, boleh dibilang, respons langsung terhadap perkembangan dinamika ekonomi , sosial politik. Tidak mustahil riak-riak tersebut menjadi gelombang besar yang mampu menggulingkan pemerintahan.

Minggu, 30 Januari 2011

Turunkan Harga Sembako Sekarang!

Ditulis oleh Ndaru Prasetyananta

Rakyat di Kabupaten Banyuwangi (terutama rakyat miskin) saat ini dipusingkan oleh melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, misalnya beras, cabe, ikan laut, telur, ayam, dan lain sebagainya. Dalam sekejap, kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok seperti “balapan”; harga cabai telah naik melebihi 100%, disusul harga ikan laut dan daging antara 50 hingga 60 persen, dan harga beras yang juga bergerak naik secara konstan.

Diperhadapkan dengan kenaikan harga-harga itu, Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas hanya sanggup mengatakan bahwa janji "sembako lebih terjangkau"  bukan program 100 hari dan menganjurkan masyarakat untuk “mengencangkan ikat pinggang”, dan menyatakan bahwa faktor-faktor kenaikan tersebut berada di luar kendali pemerintah. Menurut-nya, penyebab kenaikan ini meliputi tiga hal utama; cuaca (perubahan iklim), spekulan, dan menipisnya persediaan (stock).

Itulah hobby pemerintah kita - melempar kesalahan pada faktor alam. Padahal persoalan iklim sebetulnya tidak akan masalah, jika seandainya pemerintahan Anas-Yusuf bisa menghitung kebutuhan rakyat untuk beberapa bulan dan melakukan penyimpanan (stock) berdasarkan kebutuhan tersebut. Disini, karena peran pemerintah telah menghilang, maka para “spekulan-lah” yang melakukan penyimpanan.

Selain itu, doktrin neoliberal telah memaksa pemerintah untuk tidak melakukan intervensi terhadap pasar, padahal pemerintahan Anas-Yusuf dapat melakukannya demi untuk melindungi dan mengamankan kepentingan rakyatnya.

Lebih jauh lagi, pemerintahan Anas-Yusuf pun patut dipersalahkan atas merosotnya daya beli rakyat secara umum, terutama kalangan rakyat miskin. Selama ini, pemerintahan Anas-Yusuf sangat puas untuk menjadikan “upah murah” sebagai unsur penarik investasi asing. Pemerintah Anas-Yusuf juga bertanggung jawab terhadap hancurnya usaha mikro, kecil dan menengah akibat liberalisasi ekonomi.

Selanjutnya, saat harga produk pertanian melonjak naik di pasaran, kenyataan menunjukkan bahwa para petani tidak mendapat keuntungan sedikitpun. Kenaikan harga beras tidak memperbaiki nilai tukar petani (NTP). Demikian pula dengan jenis komoditi lain. Apa yang perlu ditegaskan di sini adalah, bahwa pertanian kita sudah sedemikian terpuruknya sehingga pemerintah selalu gagal mewujudkan kedaulatan pangan. Kita sangat berkeyakinan, bahwa tanpa mewujudkan kedaulatan pangan, maka kebutuhan “perut” rakyat akan selalu tidak terpenuhi dengan baik.

Dari penjelasan di atas, kita segera mengetahui, bahwa kenaikan harga akhir-akhir ini sangat bersinggungan dengan kebijakan ekonomi-politik pemerintahan Anas-Yusuf. Sebagian besar persoalan di atas muncul akibat menyusutnya peran pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Padahal, dalam aspek-aspek tertentu, pemerintahan Anas-Yusuf harus menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi pasar agar tidak meninggalkan kesenjangan dan kesengsaraan rakyat banyak.

Pemerintahan Anas-Yusuf harus bergerak cepat untuk menurunkan harga sembako. Dalam tahap pertama, pemerintahan Anas-Yusuf harus segera memberikan perlindungan terhadap sektor-sektor ekonomi rakyat, termasuk membatasi berdirinya pasar modern seperti Indomart, Alfamart serta menghentikan penggusuran terhadap PKL dan pedagang pasar tradisional. Tidak bisa dipungkiri, terutama untuk Kabupaten Banyuwangi yang sebagian besar penduduknya miskin, mekanisme pemberian subsidi sangat berguna untuk menstimulasi daya beli dan usaha ekonomi rakyat.

Untuk menjamin kebutuhan pokok rakyat, pemerintahan Anas-Yusuf bisa mengikuti contoh mulia dari Presiden Hugo Chavez di Venezuela, dimana melalui program “mission mercal’ telah mendirikan supermarket mini di seluruh negeri yang berfungsi memastikan ketersediaan pangan murah untuk seluruh rakyat maupun Anggaran Partisipatif (Participatory Budget atau Orcamento Participativo) yang diterapkan di Porto Allerge, Brazil oleh Partido dos Trabalhadores pimpinan Presiden Lula Da Silva.

Kamis, 27 Januari 2011

100 hari & Kepercayaan Publik

Ditulis oleh Silviana (Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak)

100 hari dinilai penting karena dapat menjadi faktor positif bagi pemerintah baru dalam meningkatkan kepercayaan publik. Namun, bila dalam 100 hari tidak direncanakan dengan matang, tidak memiliki program andalan yang dapat meyakinkan publik atas kemampuan pemerintahan baru, maka justru akan menjadi “bumerang” yang akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi pemerintah.

100 hari bukan sekadar untuk menancapkan fondasi. Ada dua hal penting. Pertama, 100 hari harus memberikan landasan strategis bagi kebijakan pemerintah. Juga memberikan sinyal bagi masyarakat dan para pelaku usaha terhadap arah kebijakan ekonomi pemerintah ke depan. Kedua, 100 hari juga merupakan berbagai terobosan kebijakan untuk menyelesaikan berbagai masalah jangka pendek. Kemampuan pemerintah dalam memberikan landasan kebijakan dan solusi atas berbagai masalah inilah yang akan meningkatkan keyakinan publik atas kompetensi dan keberpihakan kebijakan dalam pemerintahan selama 5 tahun ke depan.

100 hari akan menjadi fondasi dan memberi signal arah kebijakan selanjutnya. Ternyata, hingga 28 Januari 2011, Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) yang seharusnya menjadi acuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) belum disusun.  Hal tersebut menjadi bukti bahwa penanggulangan kemiskinan bukan menjadi prioritas pemerintahan Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko.

Saat ini salah satu masalah serius yang menjadi momok masyarakat adalah ancaman dampak negatif investasi asing. Untuk meresponsnya, semestinya pemerintahan Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko mengutamakan pembagunan perekonomian masyarakat. Sayangnya, dalam program 100 hari, pemerintahan Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko tidak memiliki langkah yang jelas terhadap hal tersebut.

Kelemahan program 100 hari pemerintahan Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko, ternyata tidak hanya ketidakjelasan kebijakan fondasi tetapi juga minimnya kebijakan konkret yang dapat meyakinkan masyarakat atas kompetensi dan keberpihakan pemerintahan terhadap pelaku ekonomi lokal yang notabene pemilih (pemberi mandat) dalam Pemilukada yang lalu.

Bila dalam 100 hari tidak mampu menumbuhkan keyakinan masyarakat bahwa pemerintahan Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, rasanya kita harus mengajukan pertanyaan, Mampukah Pemerintahan Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko mewujudkan Banyuwangi yang Lebih Baik.

Rabu, 26 Januari 2011

Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko Gagal Atasi Kemiskinan

Siaran Pers (Pers Release)
100 Hari Pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko
Kamis, 27 Januari 2011

Selama 100  hari pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko terbukti gagal dalam menanggulangi kemiskinan. Artinya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Banyuwangi tidak menurun, melainkan semakin bertambah, baik secara relatif maupun absolut.

Secara umum, kegagalan ini disebabkan karena pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko tidak memiliki keberpihakan dan ketegasan sikap dalam memihak kaum miskin.  Masalah kemiskinan adalah masalah pemenuhan hak dasar warga negara.  Namun, alih-alih memperbesar belanja sosial bagi pemenuhan hak-hak tersebut, pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko masih berkutat pada pencitraan semata.  Tidak mengherankan jika Kabupaten Banyuwangi kemudian masih jatuh dalam dalam pencapaian target-target pengurangan kemiskinan global Tujuan Pembangunan Millenium (MDGs).

Pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko masih cenderung mengabaikan suara kaum miskin dalam penentuan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Kaum miskin semata merupakan obyek yang tidak dilibatkan dalam proses kebijakan dan penganggaran.  Dalam penyusunan indikator kemiskinan, sebagai contoh,  dimana indikator dirumuskan tanpa pelibatan dan suara si miskin.

Masyarakat miskin adalah aktor utama yang seharusnya dilibatkan dalam upaya penanggulangan kemiskinan.  Kajian Kemiskinan Partisipatif yang dilakukan oleh Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi bersama-sama komunitas miskin di 4 (empat) kecamatan di Banyuwangi menunjukkan bahwa kaum miskin mampu memahami kemiskinan lebih baik, mengungkap penyebab kemiskinan yang mereka alami serta merumuskan jalan keluar yang mereka inginkan.

Oleh karena itu, Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi menyerukan kepada pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko untuk kembali menata ulang kebijakan-kebijakan yang ada dalam penanggulangan kemiskinan.   Penataan kelembagaan dalam hal ini Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) juga sangatlah diperlukan mengingat wadah lintas sektoral dan lintas pemangku kepentingan bagi penanggulangan kemiskinan, yaitu Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, belum berfungsi dengan optimal.  Pemerintahan SBY-JK juga harus mampu meningkatkan peran aktif pemangku kepentingan di tingkat lokal karena mereka lah yang berhadapan dengan masalah kemiskinan  dari hari ke hari.

Kemiskinan tidak selayaknya tinggal menjadi komoditas politik yang hanya disebut dan diungkap ketika pemerintah membutuhkan dukungan politik.  Tidak seharusnya kemiskinan hanya direduksi menjadi perdebatan mengenai angka untuk mendukung popularitas pemerintah atau sebagai pembenaran dari kebijakan tertentu.  Fakta menunjukkan bahwa pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko masih belum mampu menjawab permasalahan penanggulangan kemiskinan dengan baik.  Fakta itulah yang harus menjadi pijakan untuk bergerak ke depan dan memperbaiki keadaan.

Organisasi Masyarakat Sipil & Penanggulangan Kemiskinan

Ditulis oleh Helmi Rosyadi

Saat ini, Indonesia dihadapkan pada persoalan kemiskinan. Pada tahun 2010, penduduk miskin di Indonesia berjumlah 31,02 juta orang atau 13,33% dari total penduduk. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia. Bahkan menurut Bank Dunia 108 juta (53,4%) penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Saat ini, dalam tataran internasional, upaya penanggulangan kemiskinan menemukan urgensinya seiring dengan komitmen berbagai negara di dunia bagi pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) untuk menurunkan angka kemiskinan secara global pada tahun 2015.

Di Indonesia sendiri, komitmen pemerintah diwujudkan melalui penyusunan dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan [SNPK] dan pembentukan sebuah lembaga khusus yang bertanggung jawab untuk memenuhi pencapaian target pengurangan kemiskinan tersebut dalam wadah Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). SNPK sendiri telah diadopsi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)  yang menjadi dokumen aktualisasi visi dan misi Presiden terpilih periode 2009 – 2014. SNPK merupakan sebuah dokumen strategi nasional, sehingga sebagai konsekuensinya, setiap pemerintah daerah, baik propinsi, kota maupun kabupaten diwajibkan membuat dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah [SPKD] melalui TKPK di daerah (TKPKD).

Melalui SPKD, para pemangku kepentingan di daerah diharapkan mampu merumuskan strategi dan rencana aksi penanggulangan kemiskinan yang lebih kontekstual, sesuai karakteristik masing-masing. Dengan begitu, upaya penanggulangan kemiskinan di setiap daerah dapat mencapai tujuannya secara lebih maksimal dan optimal. Sebagaimana SNPK, SPKD merupakan dokumen yang terdiri dari proses dan substansi. Dari sisi proses, SPKD haruslah taat dengan prinsip dan prasyarat seperti keterlibatan beragam pemangku kepentingan secara partisipatif (multistakeholders participation). Dari sisi substansi, SPKD harus dipastikan benar-benar memuat perumusan kebijakan yang memihak kepentingan kaum miskin.


Namun demikian, menyusun dokumen SPKD yang baik bukanlah  hal yang mudah. Banyak hal yang menjadi kendala dan tantangan yang dihadapi, baik dari sisi kapasitas, birokrasi, pengetahuan, dan political will. Dalam hal inilah, kelompok dan organisasi-organisasi masyarakat sipil memliki peran yang penting untuk melakukan advokasi bagi perumusan dokumen SPKD agar secara proses maupun substansi dapat dipastikan memihak kaum miskin.

Selasa, 25 Januari 2011

Ada Apa Dibalik Pengesahan APBD 2011?

Setelah melalui rapat paripurna Senin malam, 11 Desember 2010, pimpinan DPRD Banyuwangi mengesahkan Perda APBD 2011. Secara global dalam Peraturan Daerah (Perda) APBD 2011 pendapatan Kabupaten Banyuwangi mencapai Rp.1,211 triliun sedang anggaran belanja mencapai Rp.1,393 triliun. Pengesahan APBD 2011 “diklaim” sebagai sebuah keberhasilan karena di era kepemimpinan Ratna Ani Lestari, pengesahan APBD selalu molor.

Dibalik penyusunan anggaran itu ternyata ada "bau busuk" yang ditebarkan wakil rakyat. "bau busuk" itu adalah dana jaring aspirasi masyarakat (jasmas) para anggota dewan yang terhormat yang mencapai jumlah Rp. 300 juta setiap anggota dewan, yang berarti bila dikalikan dengan jumlah  keseluruhan anggota DPRD Banyuwangi yang berjumlah 50 orang berarti dana untuk Jasmas mencapai 1,5 milliar. Belum lagi titipan-titipan proyek para anggota DPRD kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Boleh jadi ini praktik turun temurun yang tidak bisa dihindari pihak eksekutif sendiri. Dalam mengajukan anggaran, setiap  Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) harus mendapat persetujuan dari komisi-komisi terkait di Dewan Perwakiran Rakyat Daerah. Baru setelah itu diserahkan ke Dinas Penerimaan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKD) untuk diproses lebih lanjut dan dimasukan dalam APBD.

Belum lagi, anggaran untuk study banding yang tujuan sebenarnya agar anggota dewan itu bisa jalan-jalan ke luar kota. Beban tanggung jawab perjalanan ini dilimpahkan ke APBD yang seharusnya bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan dan program-program pemberdayaan masyarakat.

Pemerintah Daerah (eksekutif) dilema menghadapi ulah DPRD (legislatif). Karena jika permintaan tidak dituruti berimbas pada berlarut-larutnya pengesahan APBD.

Sudah saatnya praktek tersebut disudahi dan sudah saatnya para wakil rakyat lebih berpihak kepada kepentingan rakyat dan tidak egois  mementingkan diri sendiri maupun partai politiknya, bila tidak rakyat akan mencabut mandat yang telah diberikannya pada pemilu legislatif 2009 lalu.

Minggu, 23 Januari 2011

Pengembangan Strategi dan Taktik Pasca Pemilu Legislatif dan Pemilukada

Ditulis oleh Helmi Rosyadi

Di Banyuwangi, tingkat kemiskinan ekstrem sebetulnya sudah cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Meskipun tidak terdokumentasi dari data resmi, sebenarnya dapat dilihat secara kasatmata, seperti banyaknya tuna wisma, pengemis, dan gelandangan.

Berbicara soal kemiskinan sebaiknya kita membahas empat hal berikut. Pertama, kejatuhan daya beli yang begitu masif, khususnya bagi kalangan kelas menengah dan bawah. Kedua, munculnya kesenjangan pendapatan yang mencolok. Ketiga, penciptaan barisan penganggur, dimana sebagian besar masyarakat terdepak keluar dari pekerjaan tetap dalam sektor industri. Gejala ini ditandai oleh meningkatnya jumlah pengangguran dan perkembangan signifikan sektor informal. Terakhir, perlu ditegaskan bahwa kemiskinan bukanlah persoalan nasib atau takdir, melainkan berhubungan dengan persoalan struktural kekuasaan, sistem ekonomi, dan kebijakan politik.

Program Penanggulangan Kemiskinan Didanai oleh Utang

Dalam beberapa tahun ke depan, pemerintahan Abdullah Azwar Anas –Yusuf  Widyatmoko masih akan “mengandalkan” program-program seperti Raskin, PNPM, PKH dan BOS. Perlu diketahui bahwa program seperti Raskin, PNPM, PKH dan BOS didanai oleh utang. Program PNPM, misalnya, untuk tahun 2008 saja Bank Dunia sudah menggelontorkan dana US$ 400 juta. Bank Dunia juga mendanai program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) senilai US$ 600 juta dan harus dibayar hingga tahun 2033. 

Meraknyanya Penggusuran

Dalam beberapa bulan terakhir kita juga menyaksikan peningkatan intensitas penggusuran di pusat-pusat aktivitas ekonomi rakyat (pasar tradisional, jalan protokol, dan sebagainya). Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan besar-besaran proyek infrastruktur. Ada korelasi antara peningkatan program proyek yang didanai International Financial Intitutions (IFIs) seperti ADB, Bank Dunia dengan peningkatan penggusuran. Hal itu juga terungkap dalam pertemuan ke-42 Annual Governor Meeting Asia Development Bank (AGM ADB) di Bali, 2-5 Mei 2010. Dalam dokumen yang dirilis pada 14 Mei 2009, diidentifikasi adanya rencana penggusuran sejumlah rumah/permukiman yang dilalui proyek ADB (termasuk proyek Jalan Lintas Selatan (JLS) yang akan melalui Kabupaten Banyuwangi). Dalam dokumen itu, ADB sama sekali tidak menyinggung soal relokasi dan pemberian ganti rugi kepada korban atau rumah tangga yang terkena proyek.

Selain itu, penggusuran juga dimotivasi oleh kebutuhan untuk peningkatan akses pasar. Meskipun sektor informal menguntungkan dalam penyerapan tenaga kerja dan mendorong berkembangnya ekonomi rakyat, namun “kurang” menguntungkan bagi ekspansi pasar kapitalis. Merajalelanya pasar modern yang seperti Giant, Ramayana, Alfamart dan Indomart, membutuhkan penghancuran pasar-pasar tradisional dan toko-toko kecil. Hal seperti ini akan dipermudah dengan kebijakan desentralisasi (otonomi daerah) yang memberikan banyak kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota .

Perlawanan Rakyat Miskin

Secara umum, perlawanan rakyat miskin masih mencirikan karakter kurang terorganisasir, sporadis dan spontan. Meskipun begitu, perlawanan rakyat miskin di Kabupaten Banyuwangi memperlihatkan peningkatan intensitas. Penggusuran oleh Satpol PP mendapatkan perlawanan yang massif oleh pedagang di Pasar Induk Banyuwangi, PKL di parkiran depan Taman Sritanjung, PKL di Jalan Ikan Cakalang yang tergabung dalam Paguyuban Pedagang Tenda Biru, dan PKL di Jalan A. Yani yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Kaki Lima Banyuwangi (APKLI). Rakyat miskin di permukiman kumuh juga memberikan perlawanan yang massif  terhadap rencana penggugusuran pemukiman warga di Lingkungan Ujung Kelurahan Kepatihan yang akan dilalui oleh proyek Jalan Lintas Selatan (JLS).

Pada level perjuangan politik, rakyat miskin di Kabupaten Banyuwangi meresponnya dengan baik. di antaranya adalah demonstrasi yang dilakukan oleh Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) dalam menolak privatisasi dan komersialisasi pendidikan, pencabutan subsidi BBM, penolakan terhadap program-program penanggulangan kemiskinan yang dibiayai oleh utang di Simpang Lima, DPRD dan Kantor Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Pada isu politik lainnya, seperti Pemilu Legislatif dan Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pemilukada), rakyat miskin menjadi kekuatan sosial yang paling sering termobilisasi, terlepas itu digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Namun, hal itu menjelaskan, kaum miskin mulai ambil bagian dalam perjuangan politik.

Problem Perlawanan Rakyat Miskin

Problem perlawanan rakyat miskin di Kabupaten Banyuwangi adalah karakter sosialnya yang tercerai berai dan terperangkap pada problem ekonomi. Meskipun berkali-kali berhasil mengadakan perlawanan, begitu mudah pula dipatahkan oleh alat-alat represif negara. Meskipun demikian, tanpa sebuah organisasi yang memberikan pedoman, massa akan bubar.

Belajar dari pengalaman gerakan rakyat miskin di beberapa negara, masalah terbesar dari gerakan semacam ini adalah pengorganisasian. Di Filipina, khususnya di kota Metro Manila, rakyat miskin yang mendiami sejumlah kawasan-kawasan padat penduduk yang kumuh diorganisasikan melalui komite-komite komunitas dan organisasi-organisasi komunitas. Organisasi terbesar rakyat miskin adalah ZOTO, sebuah federasi rakyat miskin beranggotakan 182 komite komunitas yang tersebar di 18 titik di kota Metro Manila dan sekitarnya. Tuntutan utama mereka adalah perumahan dan lapangan pekerjaan. Sementara dalam melayani komunitas (serve the people), aktivitas perjuangannya lebih beragam seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, pengadaan listrik, air bersih, unit usaha, dan bahan pangan.

Di Argentina, gerakan Piqutero justru terlahir dari respons spontan dan kemarahan rakyat akibat neoliberalisme. Mereka menggelar aksi blokade jalanan di sepanjang kota Buenos Aires. Gerakan Piqutero berhasil menumbangkan sejumlah presiden. Di Venezuela, meskipun perlawanan rakyat miskin benar-benar massif dan memimpin, pengaruh politik mereka baru benar-benar terasa setelah diorganisasikan dalam dewan-dewan komunal dan komite-komite komunitas.

Metode pengorganisasian massa melalui partisipasi demokratis menjadi hal yang penting untuk dilakukan (belajar dari keberhasilan anggaran partisipatif di Porto Allerge, Brazil dan demokrasi patisipatif yang diterapkan di Kerala, India). Partisipasi ini, dalam sejumlah praktik, hendak menjadikan setiap orang atau massa sebagai protagonis (pelaku utama) dalam perubahan. Dalam hal ini, kita tidak berbicara soal besar dan kecilnya keanggotaan organisasi atau partai, tetapi berbicara soal bagaimana menarik lebih banyak massa rakyat di belakang proposal dan pekerjaan politik kita. Tidak bisa lagi, dalam melakukan pengorganisasian, organisasi bersandar pada respons-respons kasuistik seperti penggusuran dan Perda, tetapi organisasi harus mampu melayani rakyat (serve the people).

Pada lapangan politik, rakyat miskin sudah harus senantiasa ditarik untuk terlibat dalam proses-proses politik, seperti pengambilan kebijakan, mengikuti pemilihan, dan mengontrol pemerintahan sehingga mereka lebih matang dalam berpolitik.

Jumat, 21 Januari 2011

Kebijakan Pemerintah Belum Berpihak Kepada Rakyat Miskin

Ditulis oleh M. Helmi Rosyadi

Indonesia adalah negara yang masih menghadapi persoalan kemiskinan yang serius. Pada tahun 2010, penduduk miskin di Indonesia berjumlah 31,02 juta orang atau 13,33% dari total penduduk. Satu tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin Indonesia 39,30 juta atau sebesar 17,75% dari total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut. Angka kemiskinan ini menggunakan garis kemiskinan (poverty line) dari BPS sekitar Rp 5.500,00 per kapita per hari. Jika menggunakan garis kemiskinan Bank Dunia sebesar 2 dollar per kapita per hari, jumlah orang miskin di Indonesia mencapai lebih dari 50% dari total penduduk.

Ironisnya, masih banyak kebijakan publik di Indonesia yang pro-rich, ketimbang pro-poor. Seakan-akan negara tidak pernah dirasakan kehadirannya oleh mereka yang lemah atau dilemahkan, yang miskin atau dimiskinkan. Padahal, kebijakan publik seharusnya lebih memihak orang miskin ketimbang orang kaya. Selain jumlah penduduk miskin lebih besar daripada penduduk kaya, orang kaya memiliki sumber daya untuk menolong dirinya sendiri. Tanpa ditolong negara, orang kaya mampu menolong dirinya sendiri dan bahkan menolong orang lain.

Gelagat kebijakan publik di Indonesia yang bersemangatkan “Maju tak gentar membela yang besar” telihat pada kebijakan BLBI, Bailout Bank Century, potongan pajak, dsb. Pada tingkat Pemerintah Daerah, kebijakan yang tidak memihak kaum miskin bahkan lebih jelas lagi. Menurut Hafidz Abas, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Hukum dan HAM, dari ribuan perda, 85% di antaranya dibuat untuk meningkatkan PAD, 10% untuk memutihkan aset daerah, dan hanya 5% yang pro-rakyat miskin (pro poor).

Salah satu bentuk kebijakan publik pro-rakyat miskin di negara maju adalah kebijakan sosial. Kenyataan menunjukkan, semakin maju dan demokratis suatu negara, semakin tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya kebijakan sosial. Sebaliknya, negara-negara terbelakang dan otoriter cenderung lebih memerhatikan kebijakan ekonomi dan militer, ketimbang peningkatan pelayanan sosial di bidang pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial bagi kelompok marginal.

Mengapa negara perlu berperan aktif dalam kebijakan sosial? Negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak maupun restribusi dari rakyat. Oleh karena itu, paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Dalam masyarakat yang beradab, negara tidak boleh membiarkan satu orang pun yang berada dalam posisi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Benar, negara bukanlah satu-satunya aktor yang dapat menyelenggarakan pelayanan sosial. Masyarakat, dunia usaha, dan bahkan lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, memiliki peran penting dalam penyelenggaraan pelayanan sosial. Namun, pelayanan sosial tidak dapat dan tidak boleh diserahkan begitu saja kepada masyarakat dan pihak swasta.

Sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, negara memiliki kewajiban dalam memenuhi, melindungi, dan menghargai hak-hak dasar, ekonomi, dan budaya warganya. Mandat negara untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat daripada masyarakat atau dunia usaha. Berdasarkan konvensi internasional, mandat negara dalam pelayanan sosial bersifat "wajib" (obligation). Sementara itu, mandat masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan sosial bersifat "tanggung jawab" (responsibility).

Perjuangan mengentaskan kemiskinan ternyata tidak cukup dengan hanya melakukan pendekatan ekonomis, struktural, apalagi aksi amal (charity). Jika tidak dibarengi pengubahan pola pikir, keyakinan, dan kebiasaan, program pengentasan kemiskinan yang dijalankan pemerintah justru hanya menambah deretan kemiskinan. Hal ini bisa terjadi jika kita masih berkutat pada pendekatan ekonomis struktural saja. Citra lemah dan malas adalah atribut yang kerap disematkan bagi kaum miskin. Padahal, itu adalah pola pikir dalam sistem ekonomi kapitalis, yang membuat kaum miskin mempertahankan sikap dan "kebiasaan" lemah, tak berdaya, dan pesimistis.

Di sisi lain, pemerintah belum memiliki kebijakan berparadigma pro-rakyat miskin. Isu kemiskinan selama ini lebih banyak dijadikan komoditas politik. Data kemiskinan kerap dijadikan "siasat" bagi kepentingan politik semata. Belum lagi, dana pengentasan kemiskinan selama ini bersandar pada dana utang. Pemerintah belum memiliki paradigma pro-rakyat miskin dan sering salah mengimplementasikan program penanggulangan kemiskinan. Tidak semua tingkat pemerintahan mengerti akan paradigma pro-rakyat miskin ataupun paradigma partisipatif. Selama ini kita menganggap masyarakat yang harus diberdayakan, padahal pemerintah pun belum tentu mengerti pro-rakyat miskin dan paradigma partisipatif itu seperti apa. Akibatnya, sering salah urus dan salah sasaran.

Manakala sesuatu sebab, seperti kemiskinan, membuat orang tua tidak mampu menyekolahkan anaknya, tanggung jawab orang tua tersebut gugur dengan sendirinya dan tidak dapat dikenakan sanksi. Negaralah yang kemudian harus memikul kewajiban memberikan pendidikan dasar bagi warganya yang tidak mampu. Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan sosial yang membela hak-hak dasar rakyat miskin, kebijakan "wajib belajar sembilan tahun" sebenarnya salah kaprah. Yang tepat adalah kebijakan "hak belajar sembilan tahun". 

Contoh lain, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan subsidi benih untuk petani yang pada akhirnya hanya menciptakan pola ketergantungan di kalangan petani. Selain itu, 70% petani Indonesia adalah petani yang tidak memiliki lahan. Pola industrialisasi yang semakin luas dengan ketentuan yang longgar juga semakin menggeser petani untuk menjadi buruh. Di sisi lain, keputusan pemerintah untuk mengurasi subsidi BBM menciptakan penderitaan berkepanjangan bagi masyarakat miskin.

Kebijakan-kebijakan pemerintah yang top down itu semakin menunjukkan ketidakberpihakan penguasa terhadap nasib rakyat miskin yang semakin sulit mengais rezeki. Dalam membuat kebijakan, pemerintah terkesan didikte oleh lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, ADB) dan terlalu berpihak kepada pengusaha besar. Lihat saja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM-Mandiri) yang diluncurkan pemerintah akhir 2007. PNPM dikatakan sebagai progam lanjutan penanggulangan kemiskinan sebelumnya, yaitu P2KP dan PPK. Namun, jika kita melihat latar belakangnya, PNPM dibuat semata-mata untuk memenuhi tuntutan memperoleh dana pinjaman dari luar negeri. Dan yang lebih parah, PNPM merupakan kumpulan proyek yang pada akhirnya hanya akan memperparah kondisi kemiskinan masyarakat.

Salah satu contoh, Bantuan Langsung kepada Masyarakat (BLM) yang dikucurkan PNPM, ini hanya akan memangkas kemandirian dan menciptakan budaya ketergantungan pada diri masyarakat. Demikian juga pemberdayaan dalam konsep PNPM yang dijalankan dengan banyak proyek di dalamnya. Ini hanya akan menciptakan lapangan kerja sesaat (selama proyek berlangsung. Setelah proyek selesai, maka rakyat miskin akan kembali menjadi pengangguran dan berkutat dengan kemiskinan.

Kebijakan ekonomi yang pro rakyat, tanpa anti terhadap ekonomi pro pasar merupakan jalan tengah atas persoalan ekonomi yang melilit bangsa ini. masih banyaknya kemiskinan dan pengangguran di Indonesia karena kebijakan makro pemerintah tidak berpihak kepada rakyat, tetapi lebih berpihak kepada elit penguasa dan juga pengusaha. Kebijakan pemerintah harus pro rakyat dan tidak perlu menuruti orang asing terutama AS yang terus menerus mengintervensi Indonesia dalam hal ekonomi. Pasar juga harus tetap dikontrol, supaya rakyat juga terkena dampaknya.

Dalam rangka ekonomi yang berkeadilan sosial maka perlu dilakukan restukturisasi pajak, di mana orang yang kaya dikenai pajak lebih besar dibandingkan dengan rakyat kecil (pajak progresif). Dalam rangka pengendalian pasar, perlu juga pencabutan subsidi pada BUMN yang terindikasi melakukan KKN. Selain itu, anggaran APBN juga harus pro terhadap subsidi buat rakyat miskin dan menutup birokrasi atau departemen yang dianggap telah menyebabkan biaya tinggi.

Perekonomian kita dikendalikan IMF, Bank Dunia dan negara-negara kreditor, bukan berlandaskan pada kekuatan perekonomian rakyat. Sudahkah penguasa negeri ini melakukan kebijakan yang berpihak pada pengembangan perekonomian rakyat? Mayoritas "wong cilik" pasti akan mengatakan belum. Malah justru pemerintah kita terkesan semakin otoriter dengan mengurangi subsidi BBM yang diketahui akan berdampak luas pada kenaikan harga-harga lain di segala sektor. Masyarakat yang hanya berpikiran bagaimana bisa mencari sesuap nasi untuk hidup sehari-hari semakin tercekik. Dampak kebijakan pemerintah itu lebih dirasakan oleh kaum perempuan. Mereka harus mengetatkan ikat pinggang dan menutup mata untuk mengatur uang belanja bulanan, karena harga-harga barang naik, sedangkan pendapatan mereka tidak berubah.

Namun demikian meskipun penolakan desakan untuk mengubah haluan kebijakan politik ekonomi yang neoliberal ke demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan), namun sampai saat ini sikap pemerintah bergeming dengan keputusan mereka yang sudah dianggap final. Banyak keluarga yagng tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan, ada seorang suami-istri yang rela bunuh diri bersama karena terlilit hutang. Apakah kondisi kemiskinan masyarakat kali ini akan menyadarkan para penguasa negeri ini untuk mengubah haluan politik ekonominya dan berpihak kepada rakyat miskin? tentu jawabannya terletak pada hati nurani para penguasa itu sendiri.

Mari Dukung Perjuangan Buruh PT. Maya

PT Maya yang telah berdiri sejak tahun 1978 di Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Propinsi Jawa Timur merupakan sebuah perusahaan yang bergerak diusaha pengolahan hasil perikanan dengan merek Maya, Botan, Resca dan Meta. Selama ini pihak manajemen PT Maya  telah melanggar hak-hak normatif para buruhnya, antara lain: 
  1. Manajemen PT. Maya memperkerjakan sebanyak 661 buruh, 23 buruh tetap, 47 buruh harian, 591 buruh lepas. PT. Maya membayar 449 buruh lepas dengan upah perhari Rp.28.000,- (upah per bulan = 25 hari kerja x Rp.28.000,- = Rp.700.000,- masih dibawah Upah Minimum Kabupaten Banyuwangi tahun 2010 yang sebesar Rp.824.000,- menurut Keputusan Gubernur Jawa Timur No.69 tahun 2009)  memperhatikan pasal 90 ayat (1) Undang Undang No.13 tahun 2003 bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum;
  2. Masih ada 470 buruh di PT. Maya yang belum diikutsertakan dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) mengingat Pasal 4 ayat (1) Undang Undang No.3 tahun 2002 jo. Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.14 tahun 1993, dimana perusahaan wajib mengikutsertakan buruhnya dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
  3. Manajemen di PT. Maya sewaktu-waktu memberlakukan jam kerja lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu dengan kelebihan waktu kerja lebih dari 3 (tiga) jam sehari dan 14 (empat belas) jam seminggu melanggar Pasal 3 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP-102/MEN/VI/2004 bahwa waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam sehari dan 14 (empat belas) jam seminggu;
  4. Manajemen PT. Maya tidak membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) dengan layak dan tepat waktu dan telah mengingkari kesepakan bersama di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tanggal 21 Juni 201, Manajemen PT Maya akan segera membayarkan THR;
  5. Manajemen PT. Maya mem-PHK sepihak Ketua Serikat Pekerja Serikat Pekerja Nasional (SP-SPN), Sdr Geger Setyono, dan meliburkan 107 buruhnya tanpa pemberitahuan dan alasan yang jelas. 
Dengan ini kami minta dukungan solidaritas dari kawan-kawan seperjuangan untuk mengirimkan surat/fax desakan kepada pihak manajemen PT Maya, dengan alamat Jl. Malaka II (Orpa) 17 EFG Jakarta 11230 atau Fax ke nomor 021-6927184. Kami sangat berharap dalam surat desakan tersebut kawan-kawan semua juga memberikan ancaman boikot beli produk PT. Maya bila tidak juga memenuhi tuntutan buruh untuk:
  1. Membayar gaji buruh sesuai UMK;
  2. Mendaftarkan kepesertaan seluruh buruh dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek);
  3. Membayar upah lembur;
  4. Membayarkan seluruh THR;
  5. Mempekerjakan kembali Sdr. Geger Setyono dan 107 buruh yang telah diliburkan sepihak. 
Demikian surat ini kami buat. Dukungan dan solidaritas dari kawan-kawan semua sangat berarti bagi perjuangan Buruh PT Maya. 

Senin, 17 Januari 2011

Referendum Di Tengah Masa Jabatan

Salah satu kemajuan sangat penting dalam sistim pemilihan di Indonesia, sebagaimana sering diulang-olah oleh ilmuwan politik, adalah diperkenankannya pemilihan langsung di hampir semua tingkatan pemilihan (Presiden, Gubernur, Walikota/bupati).

Oleh banyak ilmuwan politik, model pemilihan langsung ini dianggap sangat demokratis dan legitimate. Meskipun Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko dipilih secara langsung oleh rakyat dan didukung oleh Partai-partai besar yang memperoleh kursi di DPRD, tetapi itu bukan berarti bahwa “dukungan itu bersifat tetap atau absolut”. Dukungan rakyat akan bersifat dinamis, bisa bergeser diantara dua imbangan kekuatan; pro-pemerintah atau oposisi.

Saya bisa memastikan bahwa dukungan rakyat pada saat Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko terpilih sebagai bupati dan wakil bupati akan sangat berbeda saat mereka sampai saat ini tidak mampu merealisasisan janji-janjinya semasa kampanye, "Sembako lebih terjangkau dan Lapangan kerja lebih luas" yang kenyataan dimasa pemerintahan Abdullah Azwar-Yusuf Widyatmoko harga sembako semakin mahal dan PHK semakin meluas.

Sistim Delegasi

Jika demokrasi dimaknai sebagai pendelegasian kekuasaan dari rakyat kepada wakil-wakil yang dipilih secara langsung, maka seharusnya rakyat punya kekuasaan penuh untuk memastikan bagaimana kekuasaan berjalan. Pada kenyataannya, mengacu kepada demokrasi liberal yang dimpor dari barat, rakyat hanya diberi kesempatan sekali dalam lima tahun dan itupun hanya diberi waktu lima menit.

Setelah segelintir caleg terpilih menduduki kursi DPRD Banyuwangi dan satu pasangan cabup/cagup, ataupun capres terpilih menjadi kepala daerah maupun presiden, mereka bukan lagi sebagai pemegang mandat dari rakyat, tetapi secara ekslusif dan elitis memutuskan sendiri kebijakan-kebijakan. Sehingga, menurut saya, demokrasi ala barat ini bukanlah pendelegasian kekuasaan, melainkan “perampokan” kekuasaan dari rakyat.

Sistim delegasi atau sistim juru-bicara bukan temuan demokrasi liberal, tetapi sudah terbentuk sejak “Komune Paris”, yaitu sebuah sistim yang memungkinkan seluruh rakyat menjalankan kedaulatan mereka di seluruh level pemerintahan negara.

Sistim delegasi ini bukan hanya bentuk perwakilan politik, bukan pula sekedar elektoral, tetapi sebuah sistim yang seharusnya memungkinkan mayoritas, bukan segelintir elit berkuasa, yang menjalankan kekuasaan dan segala urusan publik.

Akan tetapi, demokrasi liberal menjadikan sistem delegasi menjadi kendaraan bagi segelintir elit untuk menjalankan kekuasaan, tanpa kontol langsung dari pemberi mandat, yaitu rakyat. Dalam pemilihan, seseorang kandidat menjanjikan apa saja agar dirinya terpilih sebagai perwakilan (anggota DPRD/DPR/DPD), tetapi setelah si kandidat benar-benar terpilih dan menduduki jabatannya, maka ia tidak bisa lagi dikontrol atau di pegang oleh rakyat.

Beberapa masalah dalam sistim delegasi borjuis

Dalam sistim delegasi demokrasi borjuis, seorang politisi yang terpilih bertindak secara otonom atas nama rakyat, dan tidak mekanisme yang jelas tentang cara mengontrol politisi semacam ini.

Ada beberapa kelemahan yang patut dicatat di sini:

Pertama, delegasi yang terpilih kebanyakan tidak berasal dari tempat kerja atau masyarakat pemberi suara. kebanyakan kandidat adalah mereka yang ditunjuk oleh partai tertentu dan berkampanye atas nama rakyat setempat.

Kedua, delegasi yang terpilih tidak seluruhnya mewakili basis sosial tertentu atau kelompok sosial tertentu, terutama organisasi massa dan perkumpulan2 massa. Ada banyak kandidat yang terpilih tanpa mengetahui basis sosialnya, siapa pemilihnya, dan sebagainya.

Ketiga, hak untuk mencabut mandat pejabat terpilih tidak dimiliki oleh rakyat, melainkan oleh partai politik dari pejabat bersangkutan. Akibatnya, meskipun kinerja seorang delegasi sangat buruk dan tidak mewakili aspirasi pemilih, ia tetap saja dapat bekerja dengan tenang sepanjang partai belum mengeluarkan surat recall.

Keempat, kepentingan sosial para pemilih terdistorsi dan kehilangan keasliannya, lalu kemudian digantikan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu dari partai politik dan segelintir pebisnis.

Kelima, adanya perlakuan “istimewa’ terhadap delegasi/perwakilan dalam bentuk pemberian gaji yang tinggi dan kedudukan istimewa menyebabkan jabatan ini diincar oleh banyak sekali orang. Ada banyak orang yang rela membayar ‘kursi” asalkan mereka mendapatkan nomor jadi, sehingga ketika berkuasa orientasinya pun berubah menjadi bagaimana ia harus mengembalikan duit.

Keenam, para delegasi/perwakilan dalam demokrasi liberal hanya menerima “blanko kosong” dari para pemilih, tidak disertai dengan kontrak perjanjian mengenai apa-apa yang harus dikerjakan saat menjadi parlemen. Para anggota parlemen terpilih juga tidak pernah bertanya kepada basis pemilih, tentang agenda apa yang harus dibawa dalam rapat-rapat dan harus dimenangkan.

Persoalan “elektoral” lima tahun

Menarik apa yang dikatakan oleh pemikir politik Perancis, Alexis de Tocqueville, bahwa demokrasi yang dipraktekkan di barat hanya sebatas apa yang disebut “proses demokrasi”. Akan tetapi, demokrasi ala barat ini dianggap sebagai sesuatu yang universal, dan akan cocok untuk dipraktekkan di belahan dunia lainnya.

Salah satu bentuk dari demokrasi ala barat ini adalah pelaksanaan pemilu yang reguler, yaitu biasanya 4-5 tahun sekali. Di Indonesia, demokrasi semacam ini menjadi persoalan besar, karena kesulitan untuk mengantisipasi aspirasi pemilih yang ditinggalkan oleh kandidat terpilih.

Jadi, dalam lima tahun masa jabatan pemegang mandat (ekskutif/legislatif), rakyat tidak punya ruang untuk memberikan penilaian dan memutuskan apakah melanjutkan mandat atau mencabut mandat.

Karena mekanisme semacam ini absen dalam sistim politik kita, maka seorang otoriter bisa berkuasa penuh selama lima tahun (satu periode), bahkan ada yang berkuasa hingga beberapa periode berikutnya. Seorang gubernur dan bupati/walikota penggusur bisa melaksanakan jabatannya selama lima tahun, meskipun aspirasi luas masyarakat sudah tidak puas terhadap kepemimpinannya.

Disamping itu, mekanisme elektoral ala demokrasi barat memecah belah masyarakat menjadi individu-induvidu, bukan sebagai rakyat atau sektor-sektor sosial dari rakyat banyak. Akibatnya, para individu-individu ini sulit mengartikulasikan kepentingan kolektif sektor sosialnya, tetapi mereka terpecah belah atas nama “hak pilih bebas”.

Dengan demikian, demokrasi liberal sebetulnya sangat anti dengan berbagai bentuk pengorganisasian rakyat, dan lebih memilih bentuk individu-individu bebas yang kurang politis (apolitis).

Referendum tengah jabatan

Kita perlu memikirkan sebuah mekanisme yang memungkinkan rakyat mengevaluasi kinerja politisi (eksekutif/legislatif) di tengah jabatan. Seorang politisi korup dan menindas rakyat, jikalau tidak ada mobilisasi dari gerakan rakyat yang kuat, dapat berkuasa selama lima tahun.

Oleh karena itu, saya berfikir tentang perlunya referendum di tengah masa jabatan, baik bagi eskekutif (presiden dan kepala daerah) maupun alegislatif (DPR/DPRD), untuk mempertanyakan kepada rakyat mengenai kinerja para pemegang mandat tersebut.

Dalam hal ini, ketika rakyat menilai bahwa kinerja mereka (eksekutif/legislatif) kurang sesuai dengan aspirasi pemilih, maka para penerima mandat tersebut bisa diturunkan dan digantikan dengan orang baru.

Di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat, dikenal apa yang disebut “pemilu di tengah masa jabatan”, untuk mengukur tingkat kepuasaan pemilih terhadap pemerintahan.

Ada beberapa manfaat politik referendum di tengah masa jabatan bagi rakyat:

Pertama, referendum merupakan mekanisme demokratis bagi rakyat untuk bertanya di tengah masa jabatan, sekaligus punya kesempatan untuk mengoreksi jalannya pemerintahan (presiden/kepala daerah) atau mengevaluasi kerja-kerja wakilnya (DPRD/DPR/DPD).

Kedua, rakyat mempunyai hak melalui referendum untuk menjatuhkan pejabat politik yang menghianati aspirasi rakyat, seperti koruptor, penggusur atau perampas tanah rakyat, dan lain sebagainya.

Ketiga, rakyat punya kesempatan untuk mengorganisir diri dan terlibat aktif dalam politik. Untuk mengorganisir referendum, misalnya, rakyat pula dikumpulkan tanda-tangan dan dinyatakan kesetujuannya.

Tidak sedikit diantara para politisi dan ilmuwan politik liberal yang menaruh kekhawatiran terhadap isu referendum semacam ini. Mereka mulai berkampanye bahwa pelaksanaan referendum akan menyedot anggaran baru, dan itu kurang tepat dalam situasi ekonomi negara yang sedang sulit.

Jika mau dihitung-hitung secara jujur, maka biaya referendum akan jauh lebih murah dan efisien ketimbang kerugian negara akibat praktek korupsi di seluruh level pemerintahan dan birokrasi, belum termasuk biaya politik yang ditanggung rakyat akibat kebijakan-kebijakan parlemen/eksekutif yang merugikan rakyat.

Sabtu, 15 Januari 2011

Pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko Gagal Mensejahterakan Rakyat

Pasangan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyamoko yang didukung oleh koalisi partai-partai politik mayoritas yang memperoleh kursi di parlemen muncul sebagai pemenang Pemilihan langsung kepala daerah (Pemilukada) yang berlangsung 27 Juli 2010. Walaupun dihujani berbagai kritik terhadap carut-marutnya penyelenggaraan Pemilukada dan rendahnya partisipasi pemilih serta tingginya angka golput, pasangan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyamoko dilantik pada tanggal 21 Oktober 2010.

Selama masa kampanye pasangan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyamoko mengumbar janji-janji untuk mewujudkan Banyuwangi yang lebih baik, janji sembako lebih terjangkau dan lapangan kerja lebih luas. Namun kenyataannya harga-harga sembako selama pemerintahan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyamoko justru semakin mahal. Janji lapangan pekerjaan yang lebih luas buktinya PHK yang meluas (PT Maya Muncar mem-PHK 120 karyawan, gaji karyawan Mall of Sritanjung (MOST) selama 3 bulan tidak dibayarkan).

Janji memberikan pinjaman modal lunak bagi pelaku usaha kecil (PKL) nyatanya belum diwujudkan, justru sebaliknya para PKL dipungut biaya Rp.500,-/hari bahkan ada yang Rp.1.000,-/hari dengan dalih Perda No.37/2002 tentang Restribusi Restoran. Penggusuran marak terjadi, menimpa para pedagang di Pasar Induk Banyuwangi dan  ancaman penggusuran menghantui para PKL di parkiran Taman Sritanjung maupun di jalan A.Yani.

Reformasi birokrasi belum berjalan optimal, penataan organisasi perangkat daerah belum terlaksana dan kepala dinas juga masih didominasi oleh wajah-wajah lama. Akibatnya penyerapan APBD 2010 tidak optimal, buktinya masih ada sisa anggaran 165 juta. Relokasi SMPN 4 Banyuwangi masih belum terealisasi. PAK APBD 2010 juga ada beberapa kejanggalan dalam anggaran untuk pemberantasan hama tikus yang mencapai 106 miliar.

Klaim keberhasilan disetujuinya APBD 2011 pada pertengahan Desember 2010 oleh DPRD Banyuwangi yang kemudian dirayakan oleh 50 anggota DPRD Banyuwangi dengan menghamburkan uang rakyat ( APBD 2010) “keluyuran” ke Mataram dan Yogyakarta. Selain itu komposisi APBD 2011 tidak berpihak kepada rakyat (pro poor), terbukti alokasi belanja rutin jauh lebih besar daripada untuk belanja publik.

Kebijakan ekonomi pemerintahan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyamoko yang berorientasi pada peningkatan kinerja makroekonomi berbasis finansial, dan bukan pada sektor-sektor riil dan sosial yang menyentuh kepentingan rakyat secara langsung. Kebijakan makroekonomi berbasis kinerja finansial ini merupakan cerminan dari kebijakan ekonomi neoliberal, bertumpu pada investasi dan perdagangan bebas atas barang, jasa dan keuangan yang menyatu dengan sistem kapitalisme internasional.

Pemerintahan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyamoko yang menjadikan Kabupaten Banyuwangi sebagai pasar investasi asing dengan disiapkannya iklim investasi dan ketersedian lahan, tenaga kerja yang murah dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing, pasokan energi dan infrastruktur. Sementara bidang bidang lain yang terkait kesejahteraan dan penghapusan kemiskinan, masih merupakan perhatian kosmetis. Pemerintahan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyamoko seharusnya bercermin dari realitas dan kebutuhan konkrit masyarakat Banyuwangi. pemerintahan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyamoko seharusnya bercermin juga dari kenyataan bahwa masyarakat bertahan dari krisis bukan karena fundamental makroekonomi yang kuat, tetap lebih karena resiliensi (ketahanan) sektor ekonomi rakyat.

Berdasarkan hal tersebut diatas, sudah saatnya kita membangun gerakan rakyat yang demokratik, guna bersama-sama mendesak pemerintahan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyamoko untuk lebih memprioritas program/kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Selain itu kita juga harus bersama-sama mendesak kepada pemerintahan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyamoko untuk merubah haluan kebijakan politik ekonominya yang neoliberal (bertumpu pada investasi asing) ke ekonomi kerakyatan (bertumpuk kepada pembangunan ekonomi rakyat yang kuat). Sehingga pada tanggal 28 Januari 2011, Ayo bersama-sama turun ke jalan (demontrasi) memperingati 100 hari kegagalan pemerintahan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyamoko mensejahterakan rakyat.
 

Kamis, 13 Januari 2011

PNPM Mandiri Bukan Jawaban Penghapusan Kemiskinan

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, yang diluncurkan Presidan pada 30 April 2007 di Palu diklaim sebagai jawaban atas masalah kemiskinan yang dihadapi 39,05 jiwa penduduk Indonesia. Benarkah PNPM merupakan jawaban Penghapusan Kemiskinan di Indonesia?

Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi memandang, bahwa apa yang disebut sebagai PNPM Mandiri tidak lebih dari sebuah megaproyek dari berbagai proyek departemen, kementerian, maupun lembaga yang diklaim memberdayakan dan diberi label PNPM Mandiri. PNPM Mandiri mulai dilaksanakan tahun 2007 oleh Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang notabene merupakan proyek-proyek lama yang hadir pada saat krisis terjadi. Sejak tahun 2008 selain PPK dan P2KP, proyek yang termasuk PNPM Mandiri adalah P2PDT (Program Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus), PPIP (Proyek Pembangunan Infrastruktur Pedesaan), dan PUAP (Program Usaha Agribisnis Pedesaan).Serta sejak tahun 2009 berubah menjadi PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan

Jika PNPM Mandiri dikatakan sebagai strategi penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah, Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi justru menyimpulkan sebaliknya, bahwa PNPM Mandiri bukanlah jawaban strategis bagi upaya penghapusan kemiskinan baik di Banyuwangi maupun di Indonesia. PNPM Mandiri menjauhi intervensi pada penyebab kemiskinan itu sendiri, yakni struktur dan kebijakan yang selama ini menghambat kaum miskin keluar dari kemiskinannya. Seandainya benar, PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan merupakan strategi terbaik dalam penanggulangan kemiskinan, maka dapat dipastikan jumlah penduduk miskin akan turun signifikan pada tahun 2009 dan 2010. Namun hal ini tidak terjadi. Ini semakin membuktikan bahwa PNPM Mandiri hanyalah proyek besar yang tidak mampu menjawab penyebab kemiskinan. Setidaknya argumen tersebut didasarkan pada bukti-bukti:

Pertama, target sasaran terbesar PNPM Mandiri ternyata bukanlah kaum miskin sesuai ukuran BPS, melainkan didominasi oleh memiliki usaha dan mereka yang berkepentingan pada infrastruktur. Kondisi ini menyebabkan kaum miskin akan menikmati manfaat langsung lebih kecil daripada yang bukan miskin. Itupun lebih didominasi sebagai tetesan efek dari manfaat yang diterima oleh kelompok-kelompok yang tidak miskin.

Kedua, program-program PNPM Mandiri lebih didominasi oleh infrastruktur dan bantuan modal. Orientasi kedua bidang tersebut jelas bukan penyebab utama terjadinya kemiskinan. Bagaimana mungkin kaum miskin lebih dominan memiliki usaha dan kemudahan dalam mengakses pasar? Sementara untuk hak-hak dasar dalam keseharian saja tidak terpenuhi. Jika mendasarkan pada kemiskinan pedesaan, jelas faktanya bahwa sekitar 13 juta rumah tangga merupakan petani gurem. Demikian pula pada kemiskinan perkotaan, yang dibutuhkan adalah jaminan dan perlindungan dalam bekerja, seperti pedagang kaki lima dan buruh. Di sinilah masalahnya, PNPM Mandiri tidak memiliki komitmen dalam memastikan struktur dan kebijakan yang menghambat kaum miskin untuk diintervensi. Orientasi pada dua bidang tersebut jelas menunjukkan bahwa penanggulangan kemiskinan akan berjalan lambat, itupun terjadi jika ada tetesan efek.

Ketiga, PNPM Mandiri bukanlah pemberdayaan sebagaimana namanya. Bagaimana mungkin terjadi pemberdayaan jika dilakukan melalui proyek yang didominasi oleh infrastruktur dan bantuan modal? Dalam konteks penghapusan kemiskinan, pemberdayaan kaum miskin semestinya diarahkan pada perubahan struktur dan kebijakan yang menghambat kaum miskin untuk mendapatkan dan mengaktualisasi hak-haknya. Ruang tersebut tampaknya kecil atau bahkan tidak ada dalam PNPM Mandiri, dan lebih didominasi oleh semangat usaha dalam kerangka pertumbuhan ekonomi.

Keempat, PNPM Mandiri mengklaim bahwa setiap kecamatan akan menciptakan lapangan kerja bagi 250 orang. Namun penciptaan lapangan kerja itu hanya bersifat sementara karena hanya berbentuk cash for work. Padahal apa yang disuguhkan oleh PNPM Mandiri adalah lapangan kerja semu yang tidak berorientasi jangka panjang. Setelah proyek selesai para pekerja pun akan menganggur lagi, miskin lagi. Namun, secara politis strategi ini akan diklaim sebagai sebuah prestasi yang bisa dijual bahwa pemerintah telah mengurangi pengangguran sehingga memperbaiki data pengangguran BPS.

Kelima, pendanaan PNPM Mandiri secara dominan dibiayai dari utang luar negeri, yang sampai saat ini tetap menjadi masalah dalam APBN. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihakan, dan menyerahkan penanggulangan kemiskinan kepada pihak luar untuk mengurusi kaum miskin. PNPM Mandiri sejak tahun 2009 telah mencakup seluruh kecamatan dengan anggaran 1 – 3 miliar. Itu artinya, penarikan utang akan terjadi lebih besar lagi. Utang luar negeri jelas menjadi beban dan menguras banyak keuangan negara yang semestinya dapat diarahkan pada penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Di sinilah utang luar negeri menjadi sumber pemiskinan bagi bangsa ini. Dan bagaimana mungkin menanggulangi kemiskinan, sementara utang luar negeri terus kita perbesar?

Keenam, PNPM Mandiri tidak konsisten dengan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang telah diluncurkan pada tahun 2005, dan diadopsi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) SBY-Boediono. SNPK yang mestinya menjadi acuan semua pihak dalam penanggulangan kemiskinan justru diabaikan dalam PNPM Mandiri. Pengabaian itu terbukti pada paradigma hak, pemisahan kelembagaan Tim Pengendali yang berdiri sendiri, koordinasi dan sinkronisasi antar departemen/kementerian dan lembaga yang masih bekerja diluar tugas pokok dan fungsi. Misalnya, bagaimana mungkin Depdagri, Departemen Pekerjaan Umum, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Departemen mempunyai proyek infrastruktur dan saling menyalurkan kredit usaha kecil? Jika demikian, apakah tidak sebaiknya Kementerian Usaha Kecil dan Menengah dibubarkan saja?

Dalam konteks penghapusan kemiskinan di Indonesia, Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi menuntut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk konsisten dengan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Dalam SNPK, sangat jelas bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya (meliputi hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih dan sanitasi, tanah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan hak untuk berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan) untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Berdasar pada SNPK sebagai acuan dalam penanggulangan kemiskinan, adalah kewajiban bagi SBY-Budiono untuk merumuskan program penanggulangan kemiskinan yang benar-benar menjawab penyebab utama kemiskinan, jaminan dan perlindungan atas hak pekerjaan, berorientasi jangka panjang, berbasis pembiayaan dalam negeri, sinkronisasi dan koordinasi aparat yang lebih baik, tentu saja tidak seperti PNPM Mandiri.


Jumat, 07 Januari 2011

Rekomendasi terhadap Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin)

Program Raskin yang sudah berjalan selama sembilan tahun telah menggunakan dana yang cukup besar dan melibatkan banyak pihak, namun hingga saat ini kinerjanya masih belum efektif. Oleh karena itu, Program Raskin hanya bisa dilanjutkan jika memenuhi semua persyaratan berikut:
  1. Program Raskin perlu direvitalisasi, antara lain dengan melakukan sosialisasi nasional secara terarah untuk memberikan kesadaran dan pemahaman yang benar mengenai hakekat program ini kepada semua pemangku kepentingan, baik aparat pelaksana maupun masyarakat. Kegiatan sosialisasi tersebut harus diatur secara tegas dalam Pedum;
  2. Pagu jumlah rumah tangga penerima di tingkat nasional harus ditetapkan secara tegas dan sesuai dengan jumlah kelompok sasaran rumah tangga. Kategori rumah tangga sasaran harus didefinisikan secara jelas, apakah hanya dibatasi untuk kelompok sangat miskin saja, memasukkan kelompok miskin juga, atau menjangkau kelompok hampir miskin juga;
  3. Penanggung jawab distribusi beras mulai dari pengadaan sampai penyaluran kepada masyarakat harus dipegang oleh satu lembaga sehingga tugas, tanggung jawab, dan penilaian kinerjanya menjadi jelas;
  4. Pemda harus bertanggung jawab terhadap pembagian alokasi dan menjamin ketepatan target penerima. Untuk menjamin ketepatan target penerima, pemda melakukan verifikasi dengan mengacu pada data RTM BPS atau data lain yang menjadi acuan penetapan target di tingkat nasional;
  5. Jumlah rumah tangga penerima hasil verifikasi di tingkat desa/kelurahan maksimal sama dengan pagu yang diperoleh, supaya menjamin jumlah beras per rumah tangga sesuai dengan ketentuan. Pengesahan dan penentuan validitas daftar nama target dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab kecamatan;
  6. Perlu pengaturan titik distribusi yang dapat menunjang harga sesuai ketentuan. Letak titik distribusi perlu didekatkan dengan penerima manfaat sehingga bisa sekaligus menjadi titik bagi;
  7. Perlu kebijakan yang dapat memaksa pemda untuk mendukung pelaksanaan Program Raskin secara serius, baik dalam hal dukungan dana (APBD) maupun target keberhasilan program;
  8. Sistem penghargaan dan hukuman perlu diperkenalkan dan diberlakukan untuk menunjang pelaksanaan program sesuai dengan ketentuan. Penghargaan diberikan kepada wilayah atau pelaksana program yang berhasil melaksanakan program sesuai aturan dengan mengacu pada indikator tertentu. Penghargaan antara lain dapat berbentuk pemberian anugerah. Adapun hukuman dapat berbentuk pengumuman wilayah yang tidak berhasil di media, pencopotan, pengalihan tugas, dan penurunan pangkat bagi pejabat pelaksana;
  9. Untuk menjamin pelaksanaan Program Raskin yang sesuai dengan aturan dan untuk mendukung pelaksanaan sistem penghargaan dan hukuman, monitoring dan evaluasi harus dilakukan secara serius, terencana, dan bertanggung gugat oleh lembaga eksternal yang independen dan memiliki kredibilitas. Hasil pemantauan harus disampaikan kepada berbagai pihak termasuk publik secara luas dan dimanfaatkan secara secara sistematis untuk perbaikan pelaksanaan program;
  10. Semua ketentuan mengenai pelaksanaan program, seperti tentang sosialisasi, penargetan (verifikasi dan acuan data), monitoring dan evaluasi harus diatur secara jelas dan tegas dalam pedoman program.
Jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka Program Raskin perlu dihentikan dan kajian mendalam perlu dilakukan, antara lain terhadap aspek:
  1. Dampak penghapusan Program Raskin terhadap ketahanan pangan rumah tangga miskin;
  2. Pengalihan dana Program Raskin ke program lain yang lebih membantu rumah tangga miskin;
  3. Peran Bulog dalam pengadaan dan stabilisasi harga pangan nasional karena selama ini lebih dari 80% beras pengadaan Bulog disalurkan melalui Program Raskin.