Senin, 21 Maret 2011

Pernyataan Sikap

Batalkan RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
Karena Akan Melegalkan Perampasan Tanah Serta Kekerasan Kepada Masyarakat

Pada tahun 2005 Pemerintah menerbitkan Perpres No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum yang kemudian dirubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Rupanya tidak hanya berhenti disitu, pemerintah justru meningkatkan dasar hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum menjadi Rancangan Undang – Undang tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (RUU PTUP). Lebih tragis lagi, pada bagian ketiga khususnya Pasal 11 dan 12, RUU PTUP membuka lebar peran dan legitimasi swasta untuk turut mengambil tanah masyarakat atas nama kepentingan umum.

RUU PTUP berpotensi menjadi alat legitimasi bagi negara maupun swasta untuk mengambil alih tanah rakyat baik yang beralaskan hak  sebagai tanah adat maupun kepemilikan pribadi dengan sertifikat, letter c dll. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 RUU PTUP bahwa setidaknya terdapat 17 legitimasi atau alasan yang dapat digunakan oleh negara untuk mengambil alih tanah rakyat atas nama kepentingan umum dan pembangunan.

Munculnya RUU ini akan menjadi legitimasi tindakan kekerasan bagi para pemilik modal serta pemerintah kepada para kelompok rentan terkait definisi ”kepentingan umum.” Hal ini terkait posisi ”kepentingan umum” dalam RUU PTUP tidak memberikan definisi yang cukup jelas dan ketiadaan keberpihakan kepada masyarakat luas (pasal 13). Bahkan, RUU PTUP  ini memberikan posisi yang kuat bagi negara untuk mengambil tanah masyarakat demi kepentingan umum dan sebaliknya memperlemah posisis tawar masyarakat  atas nama pembangunan dan kepentingan umum. (Pasal 14). 

Belajar dari beberapa kasus terkait kekerasan Agraria, pengambilalihan tanah pada kenyatannya memunculkan banyak tindakan kekerasan. Seperti yang oleh Petani Malangsari Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi, Penggusuran rumah warga di Lingkungan Ujung Kelurahan Kepatihan Kecamatan Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi yang rumahnya dilewati oleh Proyek Jalan Lintas Timur (JLT), Penggusuran terhadap PKL di Benculuk Kecamatan Cluring Kabupaten , Pemasangan patok secara sepihak oleh di lahan-lahan pertanian milik warga oleh panitia pengadaan lahan untuk proyek pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) di desa Badean Kecamatan Kabat Kabupaten Banyuwangi.

Kondisi yang dialami petani Marules telah menjadi kekerasan dalam konflik SDA. Meski tidak sedikit masyarakat yang mampu menunjukan bukti kepemilikan, namun hal itu tidak banyak berpengaruh, bahkan sebaliknya dalam kasus–kasus tersebut masyarakat justru rentan menjadi obyek kekerasan dan kriminalisasi dengan berbagai tuduhan, antara lain pencemaran nama baik, melawan petugas, penghasutan, perusakan, penyerobotan dan perbuatan tidak menyenangkan.

Sejauh ini, praktis belum ada solusi konkrit atau jaminan kepastian hukum dari negara khususnya kepada masyarakat yang tanah, bangunan dan aset-asetnya di klaim oleh negara maupun swasta,  untuk itu, terkait RUU PTUP tersebut, kami mendesak untuk;
  1. Panitia Khusus DPR RI untuk RUU PTUP segera membatalkan pembahasan RUU PTUP karena pengesahan RUU ini hanya akan menambah ruwetnya persoalan agraria dan berpotensi melegalkan perampasan tanah serta kekerasan terhadap masyarakat diseluruh wilayah Republik Indonesia;
  2. Panitia Khusus RUU PTUP DPR RI segera mencabut RUU ini karena tidak mempertimbangkan berbagai aspek filosofis, historis, yuridis, serta pertimbangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
  3. Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan konkrit terkait reforma agraria;
  4. Pemerintah membuka ruang partisipasi dan konsultasi publik seluas-luasnya dalam merumuskan kebijakan terkait pertanahan dan kepentingan umum;
  5. Pemerintah dan khususnya aparat keamanan agar mengedepankan mediasi untuk menyelesaikan konflik agraria dan menghindari kekerasan serta kriminalisasi terhadap masyarakat.
 Banyuwangi, 21 Maret 2011

Serikat Marhaen (SEMAR)
Komite Pembebasan Rakyat (KOBAR)
Lingkar Study Kerakyatan (LASKAR)
Serikat Perempuan Banyuwangi (SEKARWANGI)
Satu Kedaulatan Rakyat (SAKERA)
Gerakan Rakyat Anti Pemiskinan (GARAP)
Aliansi Rakyat Miskin (ARM) Kabupaten Banyuwangi

Rabu, 09 Maret 2011

Dengarkanlah Suara Kami

Sebagaimana kita ketahui, Kabupaten Banyuwangi mempunyai APBD yang cukup besar. Namun sudahkah itu dinikmati oleh rakyat dan kesejahteraan rakyat menjadi urusan utama Pemerintah Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko?

Pada saat kampanye Pilbup kemarin, Pasangan  Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko mengusung jargon kampanye/slogan Mewujudkan Banyuwangi Yang Lebih Baik. Terus terang saja sebagai rakyat Banyuwangi, kami masih ingat dengan slogan tersebut. Maka setelah seratus hari menjabat, apakah jargon kampanye/slogan tersebut diusahakan untuk diwujudkan?

Kami tahu pasti kehidupan rakyat miskin di Kabupaten Banyuwang. Pemukiman kumuh adalah tempat kawan-kawan kami tinggal. Rakyat miskin di Lingkungan Ujung RT.03 RW.01 Kelurahan Kepatihan Kecamatan Banyuwangi (yang tinggal dekat muara) mengeluh tentang rencana penggusuran karena adanya proyek jalan lintas timur (JLT). Penggusuran merupakan perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan. Sebab perlakuan semena-mena terhadap rakyat miskin rasanya terlalu keji. Bukan apa-apa, jika disadari, pemerintah selama ini belum maksimal dalam membangun perumahan untuk rakyatnya, termasuk rakyat yang digusur.

Pembangunan (tidak terkecuali pembangunan perumahan) tidak lagi bersandar pada nilai-nilai Pancasila dan amanat UUD 1945. Selama ini, yang terlihat bahwa pembangunan perumahan justru berjalan di atas nilai-nilai materialistis. Maka konsekuensinya, mereka yang memiliki uang (berduit) yang mampu membeli perumahan.

Solusi atas perumahan yang dapat kami sarankan diantaranya: peran pemda sebagai pembangun, fasilitator, atau pengendali pembangunan perumahan, harus maksimal. Pemda harus memiliki bank tanah. Dalam rencana umum tata ruang harus ada pemetaan yang jelas dan tegas, misalnya, ada wilayah yang ditetapkan untuk pembangunan rumah bagi orang miskin. Selain itu alokasi anggaran perumahan untuk rakyat dalam APBD harus ditingkatkan hingga 15%.

Urusan pedagang kaki lima dan asongan. Sampai saat ini belum ada kebijakan yang cukup berarti bagi perbaikan nasib sektor Informal (PKL & asongan). Janji menata sektor informal hanya janji belaka. Faktanya bukan penataan yang didapatkan oleh sektor informal (PKL & Asongan), melainkan penggusuran. Terus terang kami tak habis pikir, Pemerintah Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko seperti tak memiliki kecerdasan untuk meningkatkan kesejahteraan PKL & asogan. Ketiadaan program pemberdayaan PKL juga telah menjadikan PKL sebagai sasaran pemerasan oleh oknum petugas  melalui penarikan retribusi setiap hari.

Dari tahun ke tahun lowongan kerja di Kabupaten Banyuwangi tidak sebanding dengan pencari pekerjaan. Fakta ini menunjukan bahwa tidak ada kemajuan yang sangat penting dalam hal penyediaan lapangan kerja bagi pengangguran. Pantas saja jika pemuda-pemuda miskin yang tak bermodal untuk membuka usaha kaki lima atau asongan maupun menjadi pengamen di lampu merah dan bus.

Pedekatan Pemerintah Kabupaten Banyuwang untuk mengatasi pengamen tak jauh berbeda seperti pemukiman kumuh dan PKL. Bukannya menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya malah menangkapi dan menggaruk. Cara demikian jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Untuk mengatasi pengamen sederhananya bisa saja Bupati memberlakukan peraturan kepada pengelola pasar moder, tempat hiburan/wisata, pengelola bus dan kapal feri agar ikut bekerja membantu memberdayakan pengamen dengan meningkatkan skil para pengamen dan menyediakan ruang untuk mengamen.

Urusan Kesehatan. Kebijakan kesehatan yang pro rakyat miskin merupakan strategi dalam pengentasan kemiskinan di daerah perkotaan. Meski Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menyelenggarakan program kesehatan gratis sejak era Pemerintahan Bupati Ratna Ani Lestari. Namun faktanya masih banyak warga miskin yang dipungut biaya dan kesulitan berobat.

Urusan Pendidikan. Setelah lebih dari enam puluh lima tahun merdeka, pendidikan ternyata masih belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh masyarakat Banyuwangi. Bahkan beberapa tahun ini pendidikan yang bermutu dirasakan semakin mahal, tidak terjangkau oleh sebagaian besar warga miskin. Pemerintah Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko masih mendukung privatisasi pendidikan dengan mendorong sekolah-sekolah negeri menjadi RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dan SBI (Sekolah Berstandar Internasional). Meski Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menyelenggarakan program pendidikan gratis sejak era Pemerintahan Bupati Ratna Ani Lestari, tetapi perjalanan program ini dapat dikatakan belum sepenuhnya berhasil.

Komitmen mewujudkan pendidikan gratis tak cukup hanya menggratiskan biaya pendidikan dari jenjang SD sampai SMU tetapi Bupati bersama DPRD perlu menyusun regulasi pendidikan gratis bagi anak-anak rakyat miskin dari mulai pendidikan anak usia dini (PAUD/TK) hingga perguruan tinggi.

Kritik kami terhadap Pemerintah Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko sederhana: Berhentilah berpikir bahwa rakyat miskin terlalu bodoh untuk diajak berbicara. Sekali dua kali mungkin mereka diam saja ketika mendapatkan perlakuan yang tidak adil sebagai warga negara. Tetapi entah yang selanjutnya. Mereka mungkin akan mendatangi Kantor Pemkab meminta bertemu dengan Pak Abdullah Azwar Anas ataupun Pak Yusuf Widyatmoko untuk berbincang, berkeluh kesah, memprotes dan sebagainya.

Senin, 07 Maret 2011

Pernyataan Sikap: Memperingati Hari Perempuan Sedunia

Pernyataan Sikap
Aliansi Rakyat Miskin (ARM) Kabupaten Banyuwangi
Memperingati 1 Abad Hari Perempuan Sedunia
 
Tanggal 8 Maret kita peringati sebagai Hari Perempuan Internasional, dimana dengan merayakannya kita berusaha mengkaitkan ingatan dan penghargaan kita terhadap perjuangan perempuan untuk menghilangkan berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi yang dialami – tidak hanya yang dialaminya sendiri tetapi juga oleh masyarakat. Dalam sejarahnya Hari Perempuan Internasional dipelopori oleh inisiatif perayaan Hari Perempuan oleh Partai Sosialis Amerika sejak 1909 yang terkait kuat dengan semangat menolak kondisi kerja yang buruk yang dialami pekerja terutama perempuan.  Perayaan  disepakati secara internasional dimulai sejak dirumuskan oleh Kongres Sosialis Internasional pada 1910.
 
Perayaan Hari Perempuan Internasional telah mampu menggerakkan aksi massa yang penting menjadi bagian dari gerakan anti perang yang menolak pecahnya Perang Dunia I, juga membangkitkan keberanian menyuarakan dengan terbuka tuntutan memberikan hak sipil politik yang setara bagi perempuan. Kaum perempuan di Rusia pada tahun 1917 bergerak melakukan demonstrasi besar-besaran menyuarakan tuntutan “Roti dan Perdamaian” sebagai reaksi atas kemiskinan dan perang yang menyengsarakan rakyat. Penguasa berusaha menentang aksi itu tapi tidak berhasil menghentikannya, bahkan 4 hari kemudian Kekuasaan Tzar tumbang dan pemerintah sementara yang menggantikan memberikan hak pilih secara politik bagi perempuan. Sejarah mencatat bahwa aksi perempuan Rusia itu terjadi pada tanggal 8 Maret, sejarah juga yang mengingatkan bahwa perjuangan perempuan adalah bagian penting perjuangan rakyat.
 
Namun, ketika kita melihat kondisi perempuan di Indonesia saat ini, kekerasan dan penindasan terhadap perempuan terus terjadi. Kebijakan pemerintah mencabut subsidi kesehatan, pendidikan, BBM dan Tarif Dasar Listrik, dan semakin menguatnya budaya patriarkhi telah  membawa dampak yang luas pada sendi-sendi kehidupan perempuan, khususnya dari kalangan buruh, petani dan kaum miskin lainnya. Realitas tersebut menyebabkan perempuan  menerima ketidakadilan ganda, kaum perempuan miskin tidak hanya mengalami ketidakadilan jender atau kekerasan yang terwujud dalam bentuk subordinasi, domestifikasi, marginalisasi dan beban kerja berlebih yang terjadi di berbagai tingkatan, tetapi juga mengalami ketidakadilan karena posisi sosial mereka yang berada pada lapisan bawah masyarakat.
 
Kelas bawah secara struktural cenderung kurang atau bahkan tidak memiliki akses di segala bidang baik ekonomi, kesehatan maupun pendidikan. Tingkat ekonomi maupun tingkat pendidikan umumnya rendah. Faktor minimnya akses yang mereka miliki membuat perempuan miskin lemah dalam daya tawar politik bahkan sangat banyak yang tidak dapat  masuk dalam kerja sektor formal. Mereka akhirnya mengisi  ranah pekerjaan yang selama ini dianggap oleh masyarakat bukanlah bagian dari kerja produksi yaitu bekerja di sektor domestik alias Pekerja rumahtangga. ILO memperkirakan ada 2,6 juta perempuan yang bekerja sebagai  pekerja rumah tangga di Indonesia, 688.000 di antaranya adalah anak-anak, termasuk 640.000 anak-anak perempuan berusia di bawah 18 tahun. Bagi perempuan miskin, bekerja sebagai pekerja rumah tangga merupakan jalan yang mudah untuk dapat memenuhi kehidupan keluarga.
 
Namun peran besar perempuan tersebut dalam menghidupi keluarganya ternyata tidak disertai oleh perlindungan hukum yang merupakan kewajiban negara. Sampai saat ini UU ketenagakerjaan yang ada di Indonesia tidak memasukkan PRT sebagai bagian dari kelas pekerja. Hal tersebut menyebabkan perempuan dan anak perempuan rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan di dalam bekerja antara lain: gaji yang tidak dibayar, kekerasan seksual, jam kerja yang panjang, perbudakan, bekerja tanpa hari libur, kekerasan psikis, dan penyiksaan fisik seperi pemukulan sampai pembunuhan. Jala PRT mengungkapkan sejak tahun 2000-2006 terdapat 206 kasus kekerasan terhadap PRT yang terungkap. Dari berbagai kasus tindak kekerasan tersebut, ternyata kondisi PRT masih tetap sama, mereka harus hidup dengan berbagai ancaman kekerasan yang menanti mereka.
 
Sesungguhnya payung hukum untuk melindungi PRT (baca=perempuan) telah ada antara lain: Amandemen UUD 1945, khususnya amandemen kedua Pasal 28 UUD 1945 yang mencantumkan ketentuan bahwa setiap orang harus bebas dari diskriminasi atas dasar apapun, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Perempuan (CEDAW), UU No. 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan. Adanya berbagai payung hukum tersebut ternyata tidak membuat Pemerintah  mampu memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap PRT dari berbagai ancaman kekerasan yang dialami mereka. Pemerintah seolah-olah diam dan membiarkan kekerasan tersebut tetap terjadi.
 
Berdasarkan kondisi tersebut Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi, pada perayaan Hari Perempuan Internasional 2007 ini mendesak kepada pemerintah untuk:
  1. Membuat UU tentang perlindungan terhadap  PRT dan mereka yang melakukan kerja domestik.
  2. Melakukan revisi terhadap defenisi pekerja dalam UU ketenagakerjaan yang memasukkan  PRT dan kerja domestik atau sektor informal lainnya sebagai bagian dari pekerja.
  3. Memberikan pelayanan yang maksimal terhadap korban kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak perempuan.
  4. Memastikan di tengah situasi BENCANA (Gempa, Tsunami, Banjir, Angin Puting Beliung, Gizi Buruk, dll)  yang tidak berkesudahan ini, Perempuan mendapat subsidi langsung khusus untuk Kesehatan peremupuan, ibu dan Anak.
  5. Penyaluran Subsidi bagi Perempuan harus dilakukan di lingkungan tempat tinggal dengan mendorong kaum perempuan bersama kelompok gerakan sosial yang peduli untuk membangun “Posko Kesehatan dan Pengasuhan Anak/Daycare”. Dengan demikian ancaman kesehatan dan gizi buruk bisa ditanggulangi secara sosial dan tidak melulu tergantung berapa banyak uang yang dimiliki tiap orang untuk membayar kesehatan dan pengasuhan anak. Posko ini terutama mengatasi kurangnya perhatian terhadap perempuan yang bekerja di luar rumah dan kehilangan kesempatan mengasuh anak. 
Semangat perayaan Hari Perempuan Internasional adalah bicara tentang hak perempuan dan cita-cita perubahan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Selamat Hari Perempuan Internasional 2011, Bangkit dan Majulah Perempuan Indonesia.

Minggu, 06 Maret 2011

Pernyataan Sikap Bersama Atas Kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

Pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko sebagai Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi lebih sibuk pada pencitraan dan lebih berpihak kepada investor daripada kesejahteraan rakyat.

Buktinya persoalan ketenagakerjaan di PT.Maya-Muncar tidak kunjung diselesaikan. Justru di Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten saat ini ada pergantian jabatan. Pak Dirma sebagai Kepala Bidang Ketenagakerjaan yang telah lama menangani persoalan ketenagakerjaan di PT. Maya - Muncar diganti oleh Pak Puji Utomo yang sebelumnya menjabat Rehabilitasi Sosial. Anehnya lagi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengijinkan Pak Dodi (Pengawas Ketenagakerjaan) umroh.

Kenyataan tersebut menjadi wajah Pemerintahan Banyuwangi hari ini. Kebijakan pro investasi yang membela kepentingan pemilik modal tentu tidak akan pernah memikirkan kesejahterahan buruh. Artinya buruh yang notabene rakyat Banyuwangi akan dibiarkan melarat dan tertindas.

Kaum buruh merupakan penggerak utama perekonomian, namun nasib kaum buruh jauh dari sejahtera. Kaum buruh di Kabupaten Banyuwangi terperangkap dalam jerat upah murah, semakin tertindas dalam hubungan kerja yang fleksibel yaitu kerja kontrak (PKWT) dan outsourcing.

Pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko telah gagal mensejahterakan rakyat dan sangat tunduk pada investor dan pemilik modal dengan melakukan:

1. Pembiaran terhadap PHK massal;
2. Pembiaran terhadap anti serikat buruh (union busting );
3. Pembiaran terhadap praktek kerja kontrak (PKWT) dan outsourcing;
4. Pembiaran terhadap pemberlakukan upah murah;
5. Pembiaran terhadap penjualan manusia ke luar negeri;
6. Pembiaran terhadap penjualan asset kepada investor;
7. Pembiaran terhadap pengrusakan dan pengurasan sumber daya alam;
8. Pembiaran terhadap nasib petani yang semakin miskin, nelayan yang semakin suram dan miskin kota yang terus digusur.

Sudah saatnya Pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko mengubah haluan kebijakan politik ekonominya. Bila tidak, maka yang akan terjadi adalah kesengsaraan, kemiskinan dan keterpurukan rakyat.

Disampaikan dengan rasa keprihatinan kepada seluruh rakyat.

Banyuwangi, 7 Maret 2011,

Aliansi Rakyat Miskin (ARM) Kabupaten Banyuwangi 
Serikat Pekerja PT. Maya-Muncar 
Satu Kedaulatan Rakyat (SAKERA)  
Serikat Perempuan Banyuwangi (SEKARWANGI)
Lingkar Study Kerakyatan (LASKAR) 
Komite Pembebasan Rakyat (KOBAR)  
Kelompok Musisi Jalanan (KEMULAN)  
Paguyuban PKL Seputaran Taman Sritanjung dan Taman Blambangan  
Serikat Marhaen (SEMAR)

Sabtu, 05 Maret 2011

Perjuangkan Hak Kesehatan Bagi Rakyat Miskin

KPKRM atau Komite Pelayanan Kesehatan Rakyat Miskin adalah komite kerja dibidang kesehatan yang dibentuk oleh Aliansi Rakyat Miskin Kab. Banyuwangi dalam rangka mengorganisasikan masyarakat untuk mendiskusikan permasalahan-permasalahan dan hambatan-hambatan yang dirasakan selama ini dalam bidang kesehatan, dan melakukan kerja-kerja pendampingan (pembelaan) atas persoalan-persoalan kesehatan yang ada di wilayahnya masing-masing (bisa tingkat Kecamatan, Kelurahaan/Desa, RW/RT) yang bertujuan mencari jalan keluar bagi rakyat miskin untuk memperoleh hak-hak dasar kesehatannya.

Prinsip KPKRM adalah solidaritas, yakni membantu tanpa pamrih, yang kuat membantu yang lemah, yang punya uang membantu yang tidak punya uang. Belajar bersama-sama dan bekerja untuk kesehatan warga.

Tujuan KPKRM adalah sepenuhnya untuk memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi oleh warga, mengawasi dan mengontrol jalannya program pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah dalam bidang kesehatan (Jamkesmas) dan mendorong Pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, RSUD / Puskesmas dan rakyat Banyuwangi untuk mengupayakan terselenggaranya Jaminan Kesehatan yang Gratis, Adil, Massal dan Berkualitas.

Kerja-kerja KPKRM bisa dimulai dengan melakukan pendataan bagi warga miskin yang belum memiliki kartu Jamkesmas, mendata warga yang memiliki penyakit di tingkat RT/RW, melakukan pendampingan bagi warga yang sedang sakit, membuat pertemuan reguler untuk membahas kesehatan di lingkungannya masing-masing, memperbaiki posyandu dan melaporkan permasalahan-permasalahan yang ditemukan ke Dinas Kesehatan terkait.

Program Mendesak KPKRM-ARM:
  1. Menggratiskan seluruh layanan kesehatan yang diperoleh dari pajak progresif, penyitaan harta koruptor, penghapusan utang luar negeri dan nasionalisasi industry, perbankan dan pertambangan asing;
  2. Menambah dan memeratakan jumlah dan kualitas infrastruktur pelayanan kesehatan dan institusi pendidikannya (fakultas kedokteran, sekolah farmasi, fakultas kesehatan masyarakat, akademi perawat, dll) di seluruh Indonesia dengan tidak lupa meningkatkan pembangunan kualitas lingkungan hidup- terutama di wilayah yang rentan penyebaran penyakit;
  3. Meningkatkan insentif bagi dokter, perawat, apoteker, ahli gizi, dan sanitarian;
  4. Menerapkan sistem dokter keluarga secara utuh di wilayah Indonesia sebagai bagian dari pemassalan pelayanan kesehatan;
  5. Mewajibkan penggunaan obat generik bagi seluruh fasilitas kesehatan publik beserta menerapkan hukuman yang berat bagi dokter yang berkolusi dengan apotek dan korporasi farmasi;
  6. Membangun industri farmasi nasional yang besar dan mandiri- dalam tahap awal (sampai dapat memanfaatkan sendiri kekayaan tanaman medisinal) penghapusan pajak impor bahan baku dan PPN dapat dilakukan.
Untuk itu Kepada seluruh masyarakat kami serukan :
  1. Bila ada diantara saudara/ri anda yang mengalami kesulitan pembiayaaan untuk berobat ke rumah sakit segera laporkan kejadian tersebut ke posko kami di Jl. Musi Gg Mawar No. 22 RT.02 RW.02 Kel. Penganjuran Kec. Banyuwangi.        Telp: 0333-428865/085236033331;
  2. Segera dirikan posko-posko pengaduan untuk terus mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan;
  3. Laporkan segala bentuk penyelewengan yang terjadi dalam bidang kesehatan ke posko kami;
  4. Bersatu kita tuntut Layanan Kesehatan Gratis (Bebas Biaya Obat, Rawat inap, Perawatan dan Mobil ambulans);
  5. Segera bergabung dengan Posko kami.

Kamis, 03 Maret 2011

Memanfaatkan RT/RW Untuk Transfer Kekuasaan Ke Tangan Rakyat

Ditulis oleh Ndaru Prasetyananta, Ketua III DPK-ARM Kab. Banyuwangi

Selama ini, keberadaan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) hanya sebagai alat penguasa menundukkan rakyat, terutama diakar rumput (grassroot). Pengumuman-pengumuman yang sering kita jumpai, diantaranya berbunyi “setiap tamu wajib lapor 1x 24 jam”, dalam hal ini melapor pada RT/RW, hanya sebagai alat kekuasaan untuk menciptakan ketertiban dan stabilitas. Hal ini seharusnya ditanggalkan ketika Orde Baru runtuh, hanya saja terus dipertahankan; karena berguna pada bentuk kekuasaan manapun yang menghendaki stabilitas.

System kerukunan warga merupakan system kelembagaan non-politik, yang sudah muncul di Indonesia sejak jaman feudal. Dilihat secara administratif, suatu desa di Jawa biasanya disebut kelurahan dan dikepalai oleh seorang lurah. Lurah dibantu oleh carik, jagabaya, jagatirto, bayan, dan modin. Kemudian, desa itu masih dibagi atas dusun-dusun yang dikepalai oleh kepala dusun. Tidak cukup sampai disini, setelah dusun dibagi lagi atas Rukun warga. Dan Rukun Warga ini terdiri atas Rukun Tetangga. Ketika Kolonialisme masuk, sistem administratif ini turut mengalami perombakan. Mereka beralih fungsi sesuai dengan kebutuhan.

Pada Masa Orde baru, sistem kekuasaan yang sentralistik dan otoritarian, menghendaki kepatuhan dari segenap warga negara, segenap komponen politik, dan aliran-aliran politik/ideologis/keagamaan. Kepatuhan tersebut, selain dimaksudkan untuk memastikan kepatuhan rakyat pada bapak (konsep Jawa), juga bermakna pencegahan terhadap kekuatan politik, aliran apapun, yang berpotensi menentang pemerintah. Konsep RT/RW pada jaman Orde Baru dimodifikasi menganut konsep Tonarigumi yang dikembangkan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam konsep fasisme Jepang, sistem ini digunakan sebagai bentuk mobilisasi dan kontrol atas penduduk dengan cara membagi wilayah kependudukan berdasarkan RT dan RW. Dalam Tonarigumi, fungsi keamanan menjadi penting karena dasar pembentukannya memang untuk meningkatkan kontrol pemerintah Jepang terhadap rakyat Indonesia pada era penjajahan tahun 1940-an. sistem RT/RW memiliki koneksi dengan badan intelijen ditingkatan kampung/dusun, yakni Babinsa/Koramil/Kodim.

Tahun 1998, Orde Baru runtuh. Ada reformasi terhadap TNI dan peran dwi-fungsinya, termasuk peran intelijen mereka. Meski tidak serefresif jaman Orba, keberadaan RT/RW masih terus dipakai untuk mengendalikan ketertiban, agar tak mengancam stabilitas. RT/RW dimata penguasa sekarang, dipandang efektif sebagai ”penjaga keamanan”, mata-mata penguasa, sekaligus garda depan dalam sosialisasi kebijakan pemerintah. Hanya saja tidak persis sama dengan jaman orba, di jaman ini, afiliasi politik RT/RW juga lebar dan tidak homogen. Hal itu menjadikan RT/RW tidak melulu jadi alat kekuasaan.

Demokrasi Partisipatif dan Transfer Kekuasaan

Para pemikir Marxis berkali-kali menyatakan keterkaitan pencapaian sosialisme dengan demokrasi. Demokrasi dan sosialisme tak dapat dipisahkan. Bagi Rosa Luxemburg, demokrasi merupakan batu alas berdirinya sosialisme, demikian sebaliknya. Komitmen Rosa ini dituangkannya, dalam salah satu ungkapannya yang paling terkenal, “tidak ada sosialisme tanpa demokrasi; tidak ada demokrasi tanpa sosialisme.” Lenin berpandangan lebih jauh dan memperkuat posisi Luxemburg. Lenin menganggap Demokrasi sebagai prasyarat politik bagi kebangkitan kekuatan pekerja dan sekaligus merupakan senjata untuk memenangkan kekuasaan politik lebih luas bagi proletar. Setidaknya, Amartya Sen sudah merumuskan, bahwa kemiskinan terkait erat dengan ketidakadaan demokrasi; rejim otoriter memiliki potensi lebih besar menghadirkan kemiskinan, ketimbang rejim demokratik.

Setiap perjuangan klas haruslah perjuangan politik, dan perjuangan politik haruslah bermuara pada perebutan kekuasaan politik, demikian inti dasar Marxisme. Proses pengakumulasian kekuatan untuk perebutan kekuasaan memiliki banyak metode, bisa melalui perang bersenjata, insureksi, parlementer, dan lain-lain, yang intinya adalah politik klas yang melahirkan pemerintahan revolusioner kaum buruh dan kaum Tani.

Di Amerika latin, yang tidak saja terkenal dengan permainan bolanya, tarian-tariannya, atau gadis-gadisnya (becanda), juga merupakan laboratorium dan perpustakaan yang kaya dengan pengalaman perjuangan, dan begitu berharga bagi kaum kiri di berbagai belahan dunia. Ada pengalaman Partai Buruh di Brazil dan Broad Front (Frente Amplio) di Uruguay, yang memenangkan kekuasan dengan cara “memanjat” kekuasaan dari tingkat lokal, ke level provinsi, dan akhirnya level nasional. ketika PT memanjat kekuasaannya, tangga yang digunakannya adalah sukses penerapan model Anggaran Partisipatif (AP). Model ini untuk pertama kalinya, diterapkan di kotamadya Porto Alegre, pada 1989. Sukses Porto Alegre, kemudian ditiru oleh kota-kota lain yang dikuasai oleh PT dan aliansinya. Tak lama setelahnya, PT memanjat ke kekuasaan yang lebih tinggi dengan merebut kekuasaan di propinsi Rio Grande do Sul.

Pada tahun 1988, PT memenangkan pemilu walikota di Porto Alegre, Medianeira Horizonte, dan BelĂ©m, tiga daerah kotamadya yang berpenduduk di atas satu jiwa. Kemenangan ini segera dimanfaatkan oleh PT untuk berbuat praktis; memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi rakyat, yang sifatnya sangat mendesak. Argenis Lorito, seorang Gubernur Bolivarian, mengeluarkan pendapat menarik soal ini; “Jika kamu mau menyerukan Sosialisme, maka, yang pertama kali harus dilakukan adalah memenuhi kebutuhan mendesak rakyat, seperti air bersih untuk rumah mereka, akses kesehatan, pendidikan, kemudahan mendapatkan perumahan, dan bahan pokok.

PT mengombinasikan antara demokrasi langsung dengan demokrasi perwakilan. Harus dikawinkan, karena demokrasi perwakilan tetap dipandang penting tapi, tidak memadai dalam proses pendalaman demokrasi guna meningkatkan dan mengelola pencapaian terbesar umat manusia;

Di Venezuela, Revolusi melahirkan proses transfer kekuasaan kepada rakyat, terutama lewat dewan-dewan komunal. Dewan komunal lebih luas dari lingkaran Bolivarian, mereka yang bukan pendukung pemerintah boleh terlibat didalamnya, tetapi prinsipnya adalah solidaritas; bekerja untuk komunitas, dan mencari penyelesaian terhadap persoalan bersama. Dewan komunitas, merupakan majelis yang melibatkan 200 sampai 400 keluarga di pemukiman kota, 20 keluarga setiap desa, dan 10 keluarga masyarakat adat. Dari situ, akan ditunjuk eksekutif, manajemen finansial/dewan anggaran, dan komite monitorin. Hal yang sangat penting lainnya adalah, Dewan Komunitas berkesempatan memilih pemimpin yang baru. Pemimpin ini harus dipilih dalam majelis umum di mana siapapun dapat diusulkan. Para jurubicara bukanlah majelis, mereka bukanlah organisasi. Majelis harus terlebih dulu mensahkan usulan-usulan, baik dari komite untuk perumahan atau komite kesehatan. Jika seseorang yang menjadi jurubicara tidak disetujui oleh majelis, maka Dewan Komunal tidak akan jalan.

Dewan komunal akan menyelesaikan persoalan-persoalan yang merupakan problem komunitas, yang sifatnya urgent, seperti persoalan pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan, keamanan, rekreasi, dll). Support dana/anggaran sepenuhnya dari pemerintah dan donor-donor yang tidak mengikat.

Dewan komunal memiliki perspektif politik, berbeda dengan Budget Partisipatif, mereka mengajarkan kerjasama dan pengorganisan pemecahan masalah, yang bertentangan dengan logika neoliberal.

Bagaimana Mentransformasikan RT/RW di Indonesia

Di jaman sekarang, kedudukan dan afialisi politik RT/RW cukup luas dan tidak homogen. Hal itu dimungkinkan karena adanya keterbukaan politik, yang memaksa mereka memilih partai yang tidak harus sama dengan partai yang dianut oleh pemerintahan berkuasa. Berbeda dengan hirarki politik yang diatas, dimonopoli oleh kaum oligharkis dan pemilik modal, jabatan RT/RW justru melalui mekanisme demokratik. Kedudukan mereka sangat kuat, karena memiliki dukungan langsung dari barisan pemilih dibelakangnya, dan merupakan mandat langsung.

Perubahan situasi politik melahirkan gairah berdemokrasi di tingkatan massa. Gairah berdemokrasi ini, justru besar dan kuat ditingkatan bawah—---pemilihan RT/RW/kades, sangat berbeda dengan ditingkatan atas—parlemen/presiden, yang memperlihakan kelesuan dan ketidakpercayaan. Masyarakat begitu antusias memilih RT/RT/kades ketimbang pemilihan pilkada, legislatif dan presiden. Dengan sendirinya, gejolak demokrasi dibawah menaruh legitimasi yang begitu kuat, dalam hal kekuasaan dan kewenangan.

Dengan demikian, RT/RW, dewan kelurahan,dll) akan dapat diubah, dengan memanfaatkan situasi sekarang, untuk kepentingan-kepentingan gerakan yang sifatnya taktik (pengorganisiran dan pengorganisasian) ataupun strategis (perebutan kekuasaan). Neoliberalisme yang begitu gencar, menghilangkan peran negara dalam menciptakan kemakmuran, dan menghilangkan tanggung jawab sosial negara terhadap rakyat miskin. Kapitalisme di masa sekarang, memang telah berhasil mengurangi peran negara, lebih dari itu, menginplementasikan ”kehidupan indiviualis” yang sangat merusak, terutama bagi kalangan menengah dan lapisan bawah.

Itu harus dipotong. Cengkraman neoliberal dapat didesak dan diganggu pada level-level itu, sembari tidak meninggalkan pertarungan penting dipusat kekuasaan. Terkadang kita menganggap, ini tak lebih taktik mengorganisir dan mengorganisasikan massa dan memberikan mereka pelajaran-pelajaran akan arti perjuangan yang berbuah pada kemenangan kecil. Tapi, metode-metode semacam ini sangat terbukti memiliki jangkauan yang luas dan keuntungan politik yang dapat dipanen partai politik kiri.

Setidaknya, ada beberapa hal yang membuat hal ini menjadi mungkin, diantaranya; pertama, proses pemilihan RT/RW berbasiskan dukungan lansung dan demokratik; terbuka kepada siapapun untuk bertarung dan memenangkannya, serta memiliki legitimasi politik lebih kuat. Kedua, banyak program pemerintah, terutama yang berbau penanggulangan kemiskinan, menjadi kandas ditengah jalan; karena diselewengkan oleh birokrat-birokrat ditingkatan kotamadya, kecamatan, kelurahan, hingga RT/RW. Ketiga, Rakyat merasakan besarnya beban ekonomi yang ditimpukkan oleh neoliberal dan hilangnya tanggung jawab negara, terutama pada pelayanan sosial untuk publik. Kemenangan-kemenangan kecil yang bersinggungan dengan kebutuhan sosial dan ekonomi mereka, akan memberi dampak politis yang lebih luas; keempat, dalam derajat tertentu, pemerintah akan susah menghambat proses itu, karena memiliki akar yang kuat dan potensi mobilisasi politik yang luas, serta celah politik yang konstitusional; karena tuntutan kita berbasiskan konstitusi dan program pemerintah sendiri.

Untuk itu, perjuangan merebut dan mentransformasikan RT/RW/dll, dapat dilakukan dengan cara-cara berikut; pertama, mulai menganggap penting mendudukkan kader kita atau anggota termaju dari basis kita, dari berbagai teritorial, dalam jabatan-jabatan tersebut. Merebut kepemimpinan RT/RW harus menjadi agenda penting, terutama yang berbasikan miskin kota. Agenda perebutan kekuasaan RT/RW akan berbarengan dengan perjuangan kader-kader kita menduduki posisi-posisi di pemerintahan kotamadya/kabupaten, seperti legislatif, walikota, lurah, camat, dan lain-lain. Kedua, mulai mengorganisasikan RT-RW yang ada (tinggal dihitung), berdasarkan basis teritorialnya, semacam komite-komite atau dewan-dewan yang berbasiskan rumah tangga. RT/RW akan dialihfungsikan semacam perwakilan dari majelis-majelis tadi. Dibuatkan pertemuan-pertemuan reguler yang menghadirkan seluruh warga dan mendiskusikan kebutuahan2 yang mendesak. Rekomendasi dari pertemua itu akan menjadi proposal, dan diserahkan kepada pemerintah lokal. Ketiga, watak dan fungsi RT/RW akan diubah, sehingga menyerupai wakil komunitas, yang akan menyampaikan proposal-proposal kita (persoalan warga; pendidikan, kesehatan, jalan, rumah ibadah, keamanan, administrasi, dll). Keempat, memperjuangkan dibentuknya semacam dewan anggaran (perwakilan pemerintah dan warga) di tingkatan kota/kab, atau bisa pula mendirikan Bank Umum yang berfungsi menyalurkan dana pada para pengaju proposal. Hal ini, akan memotong tangan birokrasi dan memperkecil korupsi.

Hal ini akan mendapat tantangan dan perlawanan. Penentangan paling utama akan dari penguasa lokal dan aparatus keamanan, yang tidak menghendaki hal tersebut. Tindakan semacam itu, merupakan hukum alam yang senantiasa menghambat kemajuan yang sifatnya revolusioner. Akan tetapi, hal semacam itu tak dapat dibiarkan, dan harus ditemukan jalan keluarnya. Kita dapat mengatasinya dengan membangun koordinasi bersama jajaran pemerintahan diatasnya. Proposal yang diajukan, harus realistis (tidak bertele-tele dan mengada-ngada), dan berkaitan dengan program pemerintah yang sudah ada atau sudah diatur oleh konstitusi.

PNPM-Mandiri, misalnya, yang berisikan program penganggulangan kemiskinan yang tersebar dibanyak sub-kementerian, dapat dijadikan pijakan dalam pengajuan proposal warga. Program ini harus diambil alih dari tangan birokrat, dan sepenuhnya dikelola dan jalankan oleh warga. Belum lagi, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), Raskin, BOS, Jamkesmas dan BLT, dapat dimanfaatkan oleh warga dengan berbasiskan kepada kerukunan warga dan kerukunan tetangga tadi. Program yang berserakan tadi, seharusnya menjadi program yang berjalan dan dikelola sendiri oleh masyarakat, sepanjang ada pewadahan terhadap komunitas yang legitimate.

Di Kelurahan Tukang Kayu dan Pengajuran, Kecamatan Banyuwang, warga dapat mengkritisi pengelolaan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan. Beberapa NGO berusaha menerapkan model-model pengelolaan anggaran berbasis komunitas, dan ada yang cukup berhasil. Hanya saja, karena ditangan NGO, sehingga mereka tidak berupaya memperluasnya dan cenderung terlokalisir.

Akan tetapi, ukuran-ukuran perjuangan ini tak dapat disetarakan dengan keberhasilan dewan komunal di venezuela. Kesuksesan perjuangan semacam ini, begitu tergantung dari pos anggaran publik pemerintah. Daerah/kotamadya yang relatif lebih kaya dan punya anggaran besar, tentu lebih mudah dalam menjalankan proyek semacam ini, meskipun ini bukan hukum baku.

Dana KUR, yang bernilai 300 ribu-5 juta, dapat dikelolah untuk kepentingan warga. Modelnya tidak boleh individu, tetapi berkelompok (dananya dikumpulkan), dan dikelola menjadi semacam unit usaha bersama; warung, toko sembako, dll.