Sabtu, 26 Februari 2011

BUBARKAN SATPOL PP

Ditulis oleh Samsul Hadi*

Menurut sejarahwan Geoffrey Robinson, Indonesia pada era tahun 50-an hidup dalam sebuah masa yang gemilang, masa dimana kekuatan masyarakat sipil begitu berdaya. Pergerakan politik dan massa rakyat kala itu begitu maju. Hal itu tercermin dalam partisipasi politik yang kuat. Pergerakan masyarakat sipil cukup diperhitungkan pada saat itu.

Setelah tiga puluh dua tahun kekuasaan Orde Baru berbagai bentuk kekerasan negara, tidak menurun, justru meningkat. Bagi rakyat miskin, intensitas represi negara meningkat pada dekade terakhir ini. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satol PP) meningkat tajam. Korban tewas terus bertambah. Sementara itu, Pemda kerap melindungi oknum Satpol PP meski terbukti melanggar hukum.

Satpol PP merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda yang berwatak otoriter-militeristik dan fasis. Dewasa ini, keberadaan mereka telah menyedot anggaran belanja negara begitu besar. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum keberadaan Satpol PP pun cacat moral. Sehingga, melahirkan kasus-kasus kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, Satpol PP harus segera dibubarkan!

Pandangan tentang fungsi dan peran Satpol PP dalam menegakkan Peraturan Daerah (Perda) untuk membantu kepolisian mungkin saja dapat dibenarkan. Tetapi, logika Ketertiban Umum dan Penegakan Perda yang berulangkali dipakai sejak pemerintahan Orde Baru hingga Orde Reformasi terkesan hanya dalih dari tindakan kekerasan yang dilakukan selama ini. Pemda sesungguhnya menyembunyikan ketidakmampuannya dalam tata kelola pemerintahan yang baik dengan melegitimasi kekuasaannya secara represif dan manipulatif.

Ada sesat logika yang sengaja dibangun selama ini untuk membenarkan keberadaan Satpol PP. Kondisi itu memunculkan anggapan bahwa rakyat miskin selalu membangkang karena wataknya yang selalu tidak tertib. Lantaran logika sesat itu, Pemda menempuh pendekatan yang represif, otoriter, dan militeristik. Pendekatan yang tidak bedanya saat masa kolonial Belanda dengan dalih menegakkan ketertiban bagi kaum pribumi. Maraknya razia-razia yang digelar, dipaksakan menjadi sebuah kebenaran umum atas dasar legitimasi di atas. Misalkan, penangkapan paksa warga, penyitaan harta benda, dan penggusuran paksa kampung-kampung miskin.

Menurut catatan Aliansi Rakyat Miskin (ARM), sejak tahun 2007 - 2010 enam orang meninggal karena brutalitas Satpol PP. Mereka yang meninggal dunia meliputi Irfan Maulana (14), Joki 3 in 1, meninggal pada Januari 2007. Ia dikeroyok dan dianiyaya oleh sembilan anggota Satpol PP; Pekerja Waria, Eli Suzanna yang tewas di Banjir Kanal Timur (2007) karena menghindari kejaran Satpol PP; Balita Siti Khoiyaroh (4,5) akhirnya tewas setelah tersiram kuah panas gerobak bakso orang tuanya saat razia (2008); Pengamen Muhammad Faisal (17) dan Rini (12) tewas tertabrak truk karena menghindari razia di Jalan Ahmad Yani, Bypass, Jakarta (2010); Pengamen Ari Susanto (17) tewas di Banjir Kanal Timur (2010) terpeleset ke sungai karena menghindari kejaran Satpol PP.

Situasi ketakukan, rasa teror, hingga berbagai kekerasan struktural lainnya terhadap warga sipil sengaja diciptakan bagi rakyat miskin. Semua itu menunjukkan bukti nyata brutalitas oknum-oknum Satpol PP dan Pemda.

Ditinjau dari sisi anggaran negara, alokasi dana untuk operasional penertiban dan kebutuhan Satpol PP sangat tidak wajar dan tidak proposional jika disandingkan dengan alokasi kebutuhan rakyat lainnya. Dana pembinaan dan operasional Satpol PP (PP No.6 Tahun 2010) menyedot begitu banyak uang rakyat. Pembiayaan itu telah menggembosi anggaran APBD yang dibayar oleh pembayar pajak tanpa hasil yang membanggakan dan dapat dipertangungjawabkan secara politik dan etika.

Jika Pemda memang serius ingin menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi warganya, dana pembinaan Satpol PP itu harus segera dialihkan untuk program-program pemberdayaan ekonomi, seperti program microcredit (kredit mikro) untuk rakyat miskin. Kesuksesan program itu dengan sendirinya akan mewujudkan perubahan sosial-ekonomi yang signifikan. Paling tidak, kegiatan ekonomi di jalan raya yang selalu dan sejak dulu dianggap mengganggu “ketertiban umum” akan berkurang karena intervensi program pemberdayaan ekonomi rakyat miskin itu.

Satpol PP seringkali melanggar Peraturan Pemerintah yang menjadi pedomannya sendiri. Di dalam Pasal 7 (a) PP No.32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP, Satpol PP diwajibkan menjunjung norma sosial, agama, hak asasi manusia yang juga termaktub di dalam PP No.6 Tahun 2010 Pasal 8. Selain itu, pada Pasal 6 (a) PP No.6 Tahun 2010, menyebutkan Wewenang, Hak, dan Tanggung Jawab Satpol PP. Di pasal itu berbunyi, Satpol PP berwenang melakukan tindakan penertiban Non Yusticial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas perda dan/peraturan kepala daerah. Pada kenyataannya, ayat itu menjadi hiasan belaka pada dinding-dinding kantor Pemda. Realitas di lapangan, mulai dari komandan hingga anggota biasa Satpol PP telah menyalahi aturan itu. Satpol PP lebih sering menangkap, menahan, merampas dan menyita harta benda orang lain, dan memenjarakan banyak warga miskin ke dalam panti-panti sosial (layaknya penjara) secara paksa.

Melihat kondisi seperti itu, Satpol PP bukan hanya melampaui kewenangannya yang telah diatur di dalam Undang-Undang, juga telah bertindak melampaui fungsi Kepolisian Republik Indonesia. Penyalahgunaan wewenang secara terang-teranganan telah menerobos dan menghancurkan sistem hukum dan keadilan. Sesungguhnya, tindakan Satpol PP telah menyesatkan publik dan merusak ketertiban umum yang sejati.

Atas dasar tersebut sangat beralasan agar Satpol PP dibubarkan demi hukum, keadilan, dan hak asasi manusia.

------------------------------------

* Penulis adalah seorang PKL yang berjualan Es Cincau di sisi barat Taman Sritanjung (depan Mall of Sritanjung) juga ketua urusan PKL di Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar