Selasa, 01 Februari 2011

Sektor Pendidikan di Kabupaten Banyuwangi Tidak Pro-Rakyat Miskin

Ditulis oleh Wuna H. Kusuma

Selama 100 hari pemerintahan Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko sulit rasanya menemukan perkembangan positif dalam sektor pendidikan di Kabupaten Banyuwangi. Masih banyak fasilitas pendidikan yang tidak memadai dan biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk bisa mendapatkan pendidikan layak kerap tidak rasional.

Keberpihakan terhadap sektor ini dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baru sebatas penganggaran. Masih segar dalam ingatan, sejumlah orangtua murid sekolah dasar negeri (SDN) dan sekolah menengah pertama negeri (SMPN) mengeluhkan berbagai pungutan sebelum dan setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) ditetapkan komite sekolah.

Beragam kebutuhan dijadikan alasan untuk mengenakan pungutan. Mulai dari pembelian seragam, buku, sumbangan perbaikan gedung, penambahan sarana, fasilitas sekolah, studi banding, hingga ke pos yang tak ada kaitan dengan pendidikan. Berbagai pungutan ini kerap terjadi di SDN dan SMPN berstatus percontohan—belakangan berubah menjadi sekolah standar nasional (SSN) dan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI).

Pungutan berdalih dana sukarela orangtua sebagai donatur tetap sekolah untuk melengkapi fasilitas pendukung pembelajaran anak di sekolah. Besaran pungutan uang pembangunan mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 10 juta per siswa baru. Pungutan lainnya ditentukan tiap komite sekolah dan kepala sekolah.

Sesungguhnya, pungutan tak resmi atas kesepakatan komite sekolah dan kepala sekolah itu memberatkan orangtua murid. Survei Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi (SOMASI) pada Desember 2010-Januari 2011 yang melibatkan responden orangtua murid menunjukkan sebagian besar orangtua murid tidak tahu mengenai komite sekolah. Sebanyak 67,9 persen mengaku tidak dilibatkan sama sekali dalam pemilihan komite sekolah. Sisanya, sebanyak 32,1 persen orangtua menyatakan terlibat dalam pembentukan komite sekolah.

Komite sekolah ternyata diisi orangtua yang ditunjuk langsung oleh kepala sekolah dan bukan perwakilan orangtua siswa baru. Wajar jika kepala sekolah bisa mengatur komite sekolah dalam menyusun APBS. ”Peluang korupsi sekolah cenderung meningkat seiring dengan semakin rendahnya tingkat partisipasi orangtua dalam menyusun APBS,” kata peneliti SOMASI, Fenti Nurrahmawati.

Namun, kepala sekolah dan komite sekolah memiliki pandangan dan argumentasi soal itu. Mereka beralasan, pungutan dilakukan karena anggaran pendidikan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat sangat kecil. Anggaran itu tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan.

Namun, apa pun alasannya tetap saja orangtua murid keberatan dan mempertanyakan dasar alasan pungutan tersebut. Gugatan ini muncul karena tidak ada satu pun aturan yang membolehkan  adanya pungutan.

Selain pungutan, wajah pendidikan juga tercoreng dengan buruknya fasilitas dan layanan. Survei SOMASI menyatakan, ruangan perpustakaan, laboratorium, buku pelajaran pokok yang dipinjamkan secara gratis minim tersedia. Kalaupun ada, buku pelajaran gratis yang dipinjamkan dalam kondisi buruk.

Survei lalu menunjukkan, sebagian besar atau 56 persen sarana dan prasarana pendidikan di SDN dan 62 persen di SMPN tidak lengkap dan dalam kondisi rusak. Memprihatinkannya lagi, relokasi SMPN 4 Banyuwangi belum terealisasi padahal tanah sudah disiapkan di depan Lapas Banyuwangi. Selain itu sisa anggaran APBD 2010 sebesar 165 milyar sebagian besar berasal dari pos anggaran di Dinas Pendidikan.

Kini waktu sudah berlalu. pemerintahan Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko sudah 100 hari, tetapi wajah pendidikan tetap penuh dengan persoalan. Pungutan tetap marak, kondisi gedung sekolah banyak yang masih memprihatinkan, fasilitas perpustakaan minim buku, dan pengembangan kompetensi guru masih jauh dari harapan. Janji mengembalikan keberadaan UPTD juga tak kunjung diwujudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar