Senin, 21 Maret 2011

Pernyataan Sikap

Batalkan RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
Karena Akan Melegalkan Perampasan Tanah Serta Kekerasan Kepada Masyarakat

Pada tahun 2005 Pemerintah menerbitkan Perpres No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum yang kemudian dirubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Rupanya tidak hanya berhenti disitu, pemerintah justru meningkatkan dasar hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum menjadi Rancangan Undang – Undang tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (RUU PTUP). Lebih tragis lagi, pada bagian ketiga khususnya Pasal 11 dan 12, RUU PTUP membuka lebar peran dan legitimasi swasta untuk turut mengambil tanah masyarakat atas nama kepentingan umum.

RUU PTUP berpotensi menjadi alat legitimasi bagi negara maupun swasta untuk mengambil alih tanah rakyat baik yang beralaskan hak  sebagai tanah adat maupun kepemilikan pribadi dengan sertifikat, letter c dll. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 RUU PTUP bahwa setidaknya terdapat 17 legitimasi atau alasan yang dapat digunakan oleh negara untuk mengambil alih tanah rakyat atas nama kepentingan umum dan pembangunan.

Munculnya RUU ini akan menjadi legitimasi tindakan kekerasan bagi para pemilik modal serta pemerintah kepada para kelompok rentan terkait definisi ”kepentingan umum.” Hal ini terkait posisi ”kepentingan umum” dalam RUU PTUP tidak memberikan definisi yang cukup jelas dan ketiadaan keberpihakan kepada masyarakat luas (pasal 13). Bahkan, RUU PTUP  ini memberikan posisi yang kuat bagi negara untuk mengambil tanah masyarakat demi kepentingan umum dan sebaliknya memperlemah posisis tawar masyarakat  atas nama pembangunan dan kepentingan umum. (Pasal 14). 

Belajar dari beberapa kasus terkait kekerasan Agraria, pengambilalihan tanah pada kenyatannya memunculkan banyak tindakan kekerasan. Seperti yang oleh Petani Malangsari Kecamatan Kalibaru Kabupaten Banyuwangi, Penggusuran rumah warga di Lingkungan Ujung Kelurahan Kepatihan Kecamatan Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi yang rumahnya dilewati oleh Proyek Jalan Lintas Timur (JLT), Penggusuran terhadap PKL di Benculuk Kecamatan Cluring Kabupaten , Pemasangan patok secara sepihak oleh di lahan-lahan pertanian milik warga oleh panitia pengadaan lahan untuk proyek pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) di desa Badean Kecamatan Kabat Kabupaten Banyuwangi.

Kondisi yang dialami petani Marules telah menjadi kekerasan dalam konflik SDA. Meski tidak sedikit masyarakat yang mampu menunjukan bukti kepemilikan, namun hal itu tidak banyak berpengaruh, bahkan sebaliknya dalam kasus–kasus tersebut masyarakat justru rentan menjadi obyek kekerasan dan kriminalisasi dengan berbagai tuduhan, antara lain pencemaran nama baik, melawan petugas, penghasutan, perusakan, penyerobotan dan perbuatan tidak menyenangkan.

Sejauh ini, praktis belum ada solusi konkrit atau jaminan kepastian hukum dari negara khususnya kepada masyarakat yang tanah, bangunan dan aset-asetnya di klaim oleh negara maupun swasta,  untuk itu, terkait RUU PTUP tersebut, kami mendesak untuk;
  1. Panitia Khusus DPR RI untuk RUU PTUP segera membatalkan pembahasan RUU PTUP karena pengesahan RUU ini hanya akan menambah ruwetnya persoalan agraria dan berpotensi melegalkan perampasan tanah serta kekerasan terhadap masyarakat diseluruh wilayah Republik Indonesia;
  2. Panitia Khusus RUU PTUP DPR RI segera mencabut RUU ini karena tidak mempertimbangkan berbagai aspek filosofis, historis, yuridis, serta pertimbangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
  3. Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan konkrit terkait reforma agraria;
  4. Pemerintah membuka ruang partisipasi dan konsultasi publik seluas-luasnya dalam merumuskan kebijakan terkait pertanahan dan kepentingan umum;
  5. Pemerintah dan khususnya aparat keamanan agar mengedepankan mediasi untuk menyelesaikan konflik agraria dan menghindari kekerasan serta kriminalisasi terhadap masyarakat.
 Banyuwangi, 21 Maret 2011

Serikat Marhaen (SEMAR)
Komite Pembebasan Rakyat (KOBAR)
Lingkar Study Kerakyatan (LASKAR)
Serikat Perempuan Banyuwangi (SEKARWANGI)
Satu Kedaulatan Rakyat (SAKERA)
Gerakan Rakyat Anti Pemiskinan (GARAP)
Aliansi Rakyat Miskin (ARM) Kabupaten Banyuwangi

Rabu, 09 Maret 2011

Dengarkanlah Suara Kami

Sebagaimana kita ketahui, Kabupaten Banyuwangi mempunyai APBD yang cukup besar. Namun sudahkah itu dinikmati oleh rakyat dan kesejahteraan rakyat menjadi urusan utama Pemerintah Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko?

Pada saat kampanye Pilbup kemarin, Pasangan  Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko mengusung jargon kampanye/slogan Mewujudkan Banyuwangi Yang Lebih Baik. Terus terang saja sebagai rakyat Banyuwangi, kami masih ingat dengan slogan tersebut. Maka setelah seratus hari menjabat, apakah jargon kampanye/slogan tersebut diusahakan untuk diwujudkan?

Kami tahu pasti kehidupan rakyat miskin di Kabupaten Banyuwang. Pemukiman kumuh adalah tempat kawan-kawan kami tinggal. Rakyat miskin di Lingkungan Ujung RT.03 RW.01 Kelurahan Kepatihan Kecamatan Banyuwangi (yang tinggal dekat muara) mengeluh tentang rencana penggusuran karena adanya proyek jalan lintas timur (JLT). Penggusuran merupakan perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan. Sebab perlakuan semena-mena terhadap rakyat miskin rasanya terlalu keji. Bukan apa-apa, jika disadari, pemerintah selama ini belum maksimal dalam membangun perumahan untuk rakyatnya, termasuk rakyat yang digusur.

Pembangunan (tidak terkecuali pembangunan perumahan) tidak lagi bersandar pada nilai-nilai Pancasila dan amanat UUD 1945. Selama ini, yang terlihat bahwa pembangunan perumahan justru berjalan di atas nilai-nilai materialistis. Maka konsekuensinya, mereka yang memiliki uang (berduit) yang mampu membeli perumahan.

Solusi atas perumahan yang dapat kami sarankan diantaranya: peran pemda sebagai pembangun, fasilitator, atau pengendali pembangunan perumahan, harus maksimal. Pemda harus memiliki bank tanah. Dalam rencana umum tata ruang harus ada pemetaan yang jelas dan tegas, misalnya, ada wilayah yang ditetapkan untuk pembangunan rumah bagi orang miskin. Selain itu alokasi anggaran perumahan untuk rakyat dalam APBD harus ditingkatkan hingga 15%.

Urusan pedagang kaki lima dan asongan. Sampai saat ini belum ada kebijakan yang cukup berarti bagi perbaikan nasib sektor Informal (PKL & asongan). Janji menata sektor informal hanya janji belaka. Faktanya bukan penataan yang didapatkan oleh sektor informal (PKL & Asongan), melainkan penggusuran. Terus terang kami tak habis pikir, Pemerintah Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko seperti tak memiliki kecerdasan untuk meningkatkan kesejahteraan PKL & asogan. Ketiadaan program pemberdayaan PKL juga telah menjadikan PKL sebagai sasaran pemerasan oleh oknum petugas  melalui penarikan retribusi setiap hari.

Dari tahun ke tahun lowongan kerja di Kabupaten Banyuwangi tidak sebanding dengan pencari pekerjaan. Fakta ini menunjukan bahwa tidak ada kemajuan yang sangat penting dalam hal penyediaan lapangan kerja bagi pengangguran. Pantas saja jika pemuda-pemuda miskin yang tak bermodal untuk membuka usaha kaki lima atau asongan maupun menjadi pengamen di lampu merah dan bus.

Pedekatan Pemerintah Kabupaten Banyuwang untuk mengatasi pengamen tak jauh berbeda seperti pemukiman kumuh dan PKL. Bukannya menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya malah menangkapi dan menggaruk. Cara demikian jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Untuk mengatasi pengamen sederhananya bisa saja Bupati memberlakukan peraturan kepada pengelola pasar moder, tempat hiburan/wisata, pengelola bus dan kapal feri agar ikut bekerja membantu memberdayakan pengamen dengan meningkatkan skil para pengamen dan menyediakan ruang untuk mengamen.

Urusan Kesehatan. Kebijakan kesehatan yang pro rakyat miskin merupakan strategi dalam pengentasan kemiskinan di daerah perkotaan. Meski Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menyelenggarakan program kesehatan gratis sejak era Pemerintahan Bupati Ratna Ani Lestari. Namun faktanya masih banyak warga miskin yang dipungut biaya dan kesulitan berobat.

Urusan Pendidikan. Setelah lebih dari enam puluh lima tahun merdeka, pendidikan ternyata masih belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh masyarakat Banyuwangi. Bahkan beberapa tahun ini pendidikan yang bermutu dirasakan semakin mahal, tidak terjangkau oleh sebagaian besar warga miskin. Pemerintah Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko masih mendukung privatisasi pendidikan dengan mendorong sekolah-sekolah negeri menjadi RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) dan SBI (Sekolah Berstandar Internasional). Meski Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menyelenggarakan program pendidikan gratis sejak era Pemerintahan Bupati Ratna Ani Lestari, tetapi perjalanan program ini dapat dikatakan belum sepenuhnya berhasil.

Komitmen mewujudkan pendidikan gratis tak cukup hanya menggratiskan biaya pendidikan dari jenjang SD sampai SMU tetapi Bupati bersama DPRD perlu menyusun regulasi pendidikan gratis bagi anak-anak rakyat miskin dari mulai pendidikan anak usia dini (PAUD/TK) hingga perguruan tinggi.

Kritik kami terhadap Pemerintah Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko sederhana: Berhentilah berpikir bahwa rakyat miskin terlalu bodoh untuk diajak berbicara. Sekali dua kali mungkin mereka diam saja ketika mendapatkan perlakuan yang tidak adil sebagai warga negara. Tetapi entah yang selanjutnya. Mereka mungkin akan mendatangi Kantor Pemkab meminta bertemu dengan Pak Abdullah Azwar Anas ataupun Pak Yusuf Widyatmoko untuk berbincang, berkeluh kesah, memprotes dan sebagainya.

Senin, 07 Maret 2011

Pernyataan Sikap: Memperingati Hari Perempuan Sedunia

Pernyataan Sikap
Aliansi Rakyat Miskin (ARM) Kabupaten Banyuwangi
Memperingati 1 Abad Hari Perempuan Sedunia
 
Tanggal 8 Maret kita peringati sebagai Hari Perempuan Internasional, dimana dengan merayakannya kita berusaha mengkaitkan ingatan dan penghargaan kita terhadap perjuangan perempuan untuk menghilangkan berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi yang dialami – tidak hanya yang dialaminya sendiri tetapi juga oleh masyarakat. Dalam sejarahnya Hari Perempuan Internasional dipelopori oleh inisiatif perayaan Hari Perempuan oleh Partai Sosialis Amerika sejak 1909 yang terkait kuat dengan semangat menolak kondisi kerja yang buruk yang dialami pekerja terutama perempuan.  Perayaan  disepakati secara internasional dimulai sejak dirumuskan oleh Kongres Sosialis Internasional pada 1910.
 
Perayaan Hari Perempuan Internasional telah mampu menggerakkan aksi massa yang penting menjadi bagian dari gerakan anti perang yang menolak pecahnya Perang Dunia I, juga membangkitkan keberanian menyuarakan dengan terbuka tuntutan memberikan hak sipil politik yang setara bagi perempuan. Kaum perempuan di Rusia pada tahun 1917 bergerak melakukan demonstrasi besar-besaran menyuarakan tuntutan “Roti dan Perdamaian” sebagai reaksi atas kemiskinan dan perang yang menyengsarakan rakyat. Penguasa berusaha menentang aksi itu tapi tidak berhasil menghentikannya, bahkan 4 hari kemudian Kekuasaan Tzar tumbang dan pemerintah sementara yang menggantikan memberikan hak pilih secara politik bagi perempuan. Sejarah mencatat bahwa aksi perempuan Rusia itu terjadi pada tanggal 8 Maret, sejarah juga yang mengingatkan bahwa perjuangan perempuan adalah bagian penting perjuangan rakyat.
 
Namun, ketika kita melihat kondisi perempuan di Indonesia saat ini, kekerasan dan penindasan terhadap perempuan terus terjadi. Kebijakan pemerintah mencabut subsidi kesehatan, pendidikan, BBM dan Tarif Dasar Listrik, dan semakin menguatnya budaya patriarkhi telah  membawa dampak yang luas pada sendi-sendi kehidupan perempuan, khususnya dari kalangan buruh, petani dan kaum miskin lainnya. Realitas tersebut menyebabkan perempuan  menerima ketidakadilan ganda, kaum perempuan miskin tidak hanya mengalami ketidakadilan jender atau kekerasan yang terwujud dalam bentuk subordinasi, domestifikasi, marginalisasi dan beban kerja berlebih yang terjadi di berbagai tingkatan, tetapi juga mengalami ketidakadilan karena posisi sosial mereka yang berada pada lapisan bawah masyarakat.
 
Kelas bawah secara struktural cenderung kurang atau bahkan tidak memiliki akses di segala bidang baik ekonomi, kesehatan maupun pendidikan. Tingkat ekonomi maupun tingkat pendidikan umumnya rendah. Faktor minimnya akses yang mereka miliki membuat perempuan miskin lemah dalam daya tawar politik bahkan sangat banyak yang tidak dapat  masuk dalam kerja sektor formal. Mereka akhirnya mengisi  ranah pekerjaan yang selama ini dianggap oleh masyarakat bukanlah bagian dari kerja produksi yaitu bekerja di sektor domestik alias Pekerja rumahtangga. ILO memperkirakan ada 2,6 juta perempuan yang bekerja sebagai  pekerja rumah tangga di Indonesia, 688.000 di antaranya adalah anak-anak, termasuk 640.000 anak-anak perempuan berusia di bawah 18 tahun. Bagi perempuan miskin, bekerja sebagai pekerja rumah tangga merupakan jalan yang mudah untuk dapat memenuhi kehidupan keluarga.
 
Namun peran besar perempuan tersebut dalam menghidupi keluarganya ternyata tidak disertai oleh perlindungan hukum yang merupakan kewajiban negara. Sampai saat ini UU ketenagakerjaan yang ada di Indonesia tidak memasukkan PRT sebagai bagian dari kelas pekerja. Hal tersebut menyebabkan perempuan dan anak perempuan rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan di dalam bekerja antara lain: gaji yang tidak dibayar, kekerasan seksual, jam kerja yang panjang, perbudakan, bekerja tanpa hari libur, kekerasan psikis, dan penyiksaan fisik seperi pemukulan sampai pembunuhan. Jala PRT mengungkapkan sejak tahun 2000-2006 terdapat 206 kasus kekerasan terhadap PRT yang terungkap. Dari berbagai kasus tindak kekerasan tersebut, ternyata kondisi PRT masih tetap sama, mereka harus hidup dengan berbagai ancaman kekerasan yang menanti mereka.
 
Sesungguhnya payung hukum untuk melindungi PRT (baca=perempuan) telah ada antara lain: Amandemen UUD 1945, khususnya amandemen kedua Pasal 28 UUD 1945 yang mencantumkan ketentuan bahwa setiap orang harus bebas dari diskriminasi atas dasar apapun, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Perempuan (CEDAW), UU No. 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan. Adanya berbagai payung hukum tersebut ternyata tidak membuat Pemerintah  mampu memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap PRT dari berbagai ancaman kekerasan yang dialami mereka. Pemerintah seolah-olah diam dan membiarkan kekerasan tersebut tetap terjadi.
 
Berdasarkan kondisi tersebut Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi, pada perayaan Hari Perempuan Internasional 2007 ini mendesak kepada pemerintah untuk:
  1. Membuat UU tentang perlindungan terhadap  PRT dan mereka yang melakukan kerja domestik.
  2. Melakukan revisi terhadap defenisi pekerja dalam UU ketenagakerjaan yang memasukkan  PRT dan kerja domestik atau sektor informal lainnya sebagai bagian dari pekerja.
  3. Memberikan pelayanan yang maksimal terhadap korban kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak perempuan.
  4. Memastikan di tengah situasi BENCANA (Gempa, Tsunami, Banjir, Angin Puting Beliung, Gizi Buruk, dll)  yang tidak berkesudahan ini, Perempuan mendapat subsidi langsung khusus untuk Kesehatan peremupuan, ibu dan Anak.
  5. Penyaluran Subsidi bagi Perempuan harus dilakukan di lingkungan tempat tinggal dengan mendorong kaum perempuan bersama kelompok gerakan sosial yang peduli untuk membangun “Posko Kesehatan dan Pengasuhan Anak/Daycare”. Dengan demikian ancaman kesehatan dan gizi buruk bisa ditanggulangi secara sosial dan tidak melulu tergantung berapa banyak uang yang dimiliki tiap orang untuk membayar kesehatan dan pengasuhan anak. Posko ini terutama mengatasi kurangnya perhatian terhadap perempuan yang bekerja di luar rumah dan kehilangan kesempatan mengasuh anak. 
Semangat perayaan Hari Perempuan Internasional adalah bicara tentang hak perempuan dan cita-cita perubahan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Selamat Hari Perempuan Internasional 2011, Bangkit dan Majulah Perempuan Indonesia.

Minggu, 06 Maret 2011

Pernyataan Sikap Bersama Atas Kebijakan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

Pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko sebagai Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi lebih sibuk pada pencitraan dan lebih berpihak kepada investor daripada kesejahteraan rakyat.

Buktinya persoalan ketenagakerjaan di PT.Maya-Muncar tidak kunjung diselesaikan. Justru di Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten saat ini ada pergantian jabatan. Pak Dirma sebagai Kepala Bidang Ketenagakerjaan yang telah lama menangani persoalan ketenagakerjaan di PT. Maya - Muncar diganti oleh Pak Puji Utomo yang sebelumnya menjabat Rehabilitasi Sosial. Anehnya lagi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengijinkan Pak Dodi (Pengawas Ketenagakerjaan) umroh.

Kenyataan tersebut menjadi wajah Pemerintahan Banyuwangi hari ini. Kebijakan pro investasi yang membela kepentingan pemilik modal tentu tidak akan pernah memikirkan kesejahterahan buruh. Artinya buruh yang notabene rakyat Banyuwangi akan dibiarkan melarat dan tertindas.

Kaum buruh merupakan penggerak utama perekonomian, namun nasib kaum buruh jauh dari sejahtera. Kaum buruh di Kabupaten Banyuwangi terperangkap dalam jerat upah murah, semakin tertindas dalam hubungan kerja yang fleksibel yaitu kerja kontrak (PKWT) dan outsourcing.

Pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko telah gagal mensejahterakan rakyat dan sangat tunduk pada investor dan pemilik modal dengan melakukan:

1. Pembiaran terhadap PHK massal;
2. Pembiaran terhadap anti serikat buruh (union busting );
3. Pembiaran terhadap praktek kerja kontrak (PKWT) dan outsourcing;
4. Pembiaran terhadap pemberlakukan upah murah;
5. Pembiaran terhadap penjualan manusia ke luar negeri;
6. Pembiaran terhadap penjualan asset kepada investor;
7. Pembiaran terhadap pengrusakan dan pengurasan sumber daya alam;
8. Pembiaran terhadap nasib petani yang semakin miskin, nelayan yang semakin suram dan miskin kota yang terus digusur.

Sudah saatnya Pemerintahan Abdullah Azwar Anas - Yusuf Widyatmoko mengubah haluan kebijakan politik ekonominya. Bila tidak, maka yang akan terjadi adalah kesengsaraan, kemiskinan dan keterpurukan rakyat.

Disampaikan dengan rasa keprihatinan kepada seluruh rakyat.

Banyuwangi, 7 Maret 2011,

Aliansi Rakyat Miskin (ARM) Kabupaten Banyuwangi 
Serikat Pekerja PT. Maya-Muncar 
Satu Kedaulatan Rakyat (SAKERA)  
Serikat Perempuan Banyuwangi (SEKARWANGI)
Lingkar Study Kerakyatan (LASKAR) 
Komite Pembebasan Rakyat (KOBAR)  
Kelompok Musisi Jalanan (KEMULAN)  
Paguyuban PKL Seputaran Taman Sritanjung dan Taman Blambangan  
Serikat Marhaen (SEMAR)

Sabtu, 05 Maret 2011

Perjuangkan Hak Kesehatan Bagi Rakyat Miskin

KPKRM atau Komite Pelayanan Kesehatan Rakyat Miskin adalah komite kerja dibidang kesehatan yang dibentuk oleh Aliansi Rakyat Miskin Kab. Banyuwangi dalam rangka mengorganisasikan masyarakat untuk mendiskusikan permasalahan-permasalahan dan hambatan-hambatan yang dirasakan selama ini dalam bidang kesehatan, dan melakukan kerja-kerja pendampingan (pembelaan) atas persoalan-persoalan kesehatan yang ada di wilayahnya masing-masing (bisa tingkat Kecamatan, Kelurahaan/Desa, RW/RT) yang bertujuan mencari jalan keluar bagi rakyat miskin untuk memperoleh hak-hak dasar kesehatannya.

Prinsip KPKRM adalah solidaritas, yakni membantu tanpa pamrih, yang kuat membantu yang lemah, yang punya uang membantu yang tidak punya uang. Belajar bersama-sama dan bekerja untuk kesehatan warga.

Tujuan KPKRM adalah sepenuhnya untuk memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi oleh warga, mengawasi dan mengontrol jalannya program pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah dalam bidang kesehatan (Jamkesmas) dan mendorong Pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, RSUD / Puskesmas dan rakyat Banyuwangi untuk mengupayakan terselenggaranya Jaminan Kesehatan yang Gratis, Adil, Massal dan Berkualitas.

Kerja-kerja KPKRM bisa dimulai dengan melakukan pendataan bagi warga miskin yang belum memiliki kartu Jamkesmas, mendata warga yang memiliki penyakit di tingkat RT/RW, melakukan pendampingan bagi warga yang sedang sakit, membuat pertemuan reguler untuk membahas kesehatan di lingkungannya masing-masing, memperbaiki posyandu dan melaporkan permasalahan-permasalahan yang ditemukan ke Dinas Kesehatan terkait.

Program Mendesak KPKRM-ARM:
  1. Menggratiskan seluruh layanan kesehatan yang diperoleh dari pajak progresif, penyitaan harta koruptor, penghapusan utang luar negeri dan nasionalisasi industry, perbankan dan pertambangan asing;
  2. Menambah dan memeratakan jumlah dan kualitas infrastruktur pelayanan kesehatan dan institusi pendidikannya (fakultas kedokteran, sekolah farmasi, fakultas kesehatan masyarakat, akademi perawat, dll) di seluruh Indonesia dengan tidak lupa meningkatkan pembangunan kualitas lingkungan hidup- terutama di wilayah yang rentan penyebaran penyakit;
  3. Meningkatkan insentif bagi dokter, perawat, apoteker, ahli gizi, dan sanitarian;
  4. Menerapkan sistem dokter keluarga secara utuh di wilayah Indonesia sebagai bagian dari pemassalan pelayanan kesehatan;
  5. Mewajibkan penggunaan obat generik bagi seluruh fasilitas kesehatan publik beserta menerapkan hukuman yang berat bagi dokter yang berkolusi dengan apotek dan korporasi farmasi;
  6. Membangun industri farmasi nasional yang besar dan mandiri- dalam tahap awal (sampai dapat memanfaatkan sendiri kekayaan tanaman medisinal) penghapusan pajak impor bahan baku dan PPN dapat dilakukan.
Untuk itu Kepada seluruh masyarakat kami serukan :
  1. Bila ada diantara saudara/ri anda yang mengalami kesulitan pembiayaaan untuk berobat ke rumah sakit segera laporkan kejadian tersebut ke posko kami di Jl. Musi Gg Mawar No. 22 RT.02 RW.02 Kel. Penganjuran Kec. Banyuwangi.        Telp: 0333-428865/085236033331;
  2. Segera dirikan posko-posko pengaduan untuk terus mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam bidang kesehatan;
  3. Laporkan segala bentuk penyelewengan yang terjadi dalam bidang kesehatan ke posko kami;
  4. Bersatu kita tuntut Layanan Kesehatan Gratis (Bebas Biaya Obat, Rawat inap, Perawatan dan Mobil ambulans);
  5. Segera bergabung dengan Posko kami.

Kamis, 03 Maret 2011

Memanfaatkan RT/RW Untuk Transfer Kekuasaan Ke Tangan Rakyat

Ditulis oleh Ndaru Prasetyananta, Ketua III DPK-ARM Kab. Banyuwangi

Selama ini, keberadaan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) hanya sebagai alat penguasa menundukkan rakyat, terutama diakar rumput (grassroot). Pengumuman-pengumuman yang sering kita jumpai, diantaranya berbunyi “setiap tamu wajib lapor 1x 24 jam”, dalam hal ini melapor pada RT/RW, hanya sebagai alat kekuasaan untuk menciptakan ketertiban dan stabilitas. Hal ini seharusnya ditanggalkan ketika Orde Baru runtuh, hanya saja terus dipertahankan; karena berguna pada bentuk kekuasaan manapun yang menghendaki stabilitas.

System kerukunan warga merupakan system kelembagaan non-politik, yang sudah muncul di Indonesia sejak jaman feudal. Dilihat secara administratif, suatu desa di Jawa biasanya disebut kelurahan dan dikepalai oleh seorang lurah. Lurah dibantu oleh carik, jagabaya, jagatirto, bayan, dan modin. Kemudian, desa itu masih dibagi atas dusun-dusun yang dikepalai oleh kepala dusun. Tidak cukup sampai disini, setelah dusun dibagi lagi atas Rukun warga. Dan Rukun Warga ini terdiri atas Rukun Tetangga. Ketika Kolonialisme masuk, sistem administratif ini turut mengalami perombakan. Mereka beralih fungsi sesuai dengan kebutuhan.

Pada Masa Orde baru, sistem kekuasaan yang sentralistik dan otoritarian, menghendaki kepatuhan dari segenap warga negara, segenap komponen politik, dan aliran-aliran politik/ideologis/keagamaan. Kepatuhan tersebut, selain dimaksudkan untuk memastikan kepatuhan rakyat pada bapak (konsep Jawa), juga bermakna pencegahan terhadap kekuatan politik, aliran apapun, yang berpotensi menentang pemerintah. Konsep RT/RW pada jaman Orde Baru dimodifikasi menganut konsep Tonarigumi yang dikembangkan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam konsep fasisme Jepang, sistem ini digunakan sebagai bentuk mobilisasi dan kontrol atas penduduk dengan cara membagi wilayah kependudukan berdasarkan RT dan RW. Dalam Tonarigumi, fungsi keamanan menjadi penting karena dasar pembentukannya memang untuk meningkatkan kontrol pemerintah Jepang terhadap rakyat Indonesia pada era penjajahan tahun 1940-an. sistem RT/RW memiliki koneksi dengan badan intelijen ditingkatan kampung/dusun, yakni Babinsa/Koramil/Kodim.

Tahun 1998, Orde Baru runtuh. Ada reformasi terhadap TNI dan peran dwi-fungsinya, termasuk peran intelijen mereka. Meski tidak serefresif jaman Orba, keberadaan RT/RW masih terus dipakai untuk mengendalikan ketertiban, agar tak mengancam stabilitas. RT/RW dimata penguasa sekarang, dipandang efektif sebagai ”penjaga keamanan”, mata-mata penguasa, sekaligus garda depan dalam sosialisasi kebijakan pemerintah. Hanya saja tidak persis sama dengan jaman orba, di jaman ini, afiliasi politik RT/RW juga lebar dan tidak homogen. Hal itu menjadikan RT/RW tidak melulu jadi alat kekuasaan.

Demokrasi Partisipatif dan Transfer Kekuasaan

Para pemikir Marxis berkali-kali menyatakan keterkaitan pencapaian sosialisme dengan demokrasi. Demokrasi dan sosialisme tak dapat dipisahkan. Bagi Rosa Luxemburg, demokrasi merupakan batu alas berdirinya sosialisme, demikian sebaliknya. Komitmen Rosa ini dituangkannya, dalam salah satu ungkapannya yang paling terkenal, “tidak ada sosialisme tanpa demokrasi; tidak ada demokrasi tanpa sosialisme.” Lenin berpandangan lebih jauh dan memperkuat posisi Luxemburg. Lenin menganggap Demokrasi sebagai prasyarat politik bagi kebangkitan kekuatan pekerja dan sekaligus merupakan senjata untuk memenangkan kekuasaan politik lebih luas bagi proletar. Setidaknya, Amartya Sen sudah merumuskan, bahwa kemiskinan terkait erat dengan ketidakadaan demokrasi; rejim otoriter memiliki potensi lebih besar menghadirkan kemiskinan, ketimbang rejim demokratik.

Setiap perjuangan klas haruslah perjuangan politik, dan perjuangan politik haruslah bermuara pada perebutan kekuasaan politik, demikian inti dasar Marxisme. Proses pengakumulasian kekuatan untuk perebutan kekuasaan memiliki banyak metode, bisa melalui perang bersenjata, insureksi, parlementer, dan lain-lain, yang intinya adalah politik klas yang melahirkan pemerintahan revolusioner kaum buruh dan kaum Tani.

Di Amerika latin, yang tidak saja terkenal dengan permainan bolanya, tarian-tariannya, atau gadis-gadisnya (becanda), juga merupakan laboratorium dan perpustakaan yang kaya dengan pengalaman perjuangan, dan begitu berharga bagi kaum kiri di berbagai belahan dunia. Ada pengalaman Partai Buruh di Brazil dan Broad Front (Frente Amplio) di Uruguay, yang memenangkan kekuasan dengan cara “memanjat” kekuasaan dari tingkat lokal, ke level provinsi, dan akhirnya level nasional. ketika PT memanjat kekuasaannya, tangga yang digunakannya adalah sukses penerapan model Anggaran Partisipatif (AP). Model ini untuk pertama kalinya, diterapkan di kotamadya Porto Alegre, pada 1989. Sukses Porto Alegre, kemudian ditiru oleh kota-kota lain yang dikuasai oleh PT dan aliansinya. Tak lama setelahnya, PT memanjat ke kekuasaan yang lebih tinggi dengan merebut kekuasaan di propinsi Rio Grande do Sul.

Pada tahun 1988, PT memenangkan pemilu walikota di Porto Alegre, Medianeira Horizonte, dan Belém, tiga daerah kotamadya yang berpenduduk di atas satu jiwa. Kemenangan ini segera dimanfaatkan oleh PT untuk berbuat praktis; memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi rakyat, yang sifatnya sangat mendesak. Argenis Lorito, seorang Gubernur Bolivarian, mengeluarkan pendapat menarik soal ini; “Jika kamu mau menyerukan Sosialisme, maka, yang pertama kali harus dilakukan adalah memenuhi kebutuhan mendesak rakyat, seperti air bersih untuk rumah mereka, akses kesehatan, pendidikan, kemudahan mendapatkan perumahan, dan bahan pokok.

PT mengombinasikan antara demokrasi langsung dengan demokrasi perwakilan. Harus dikawinkan, karena demokrasi perwakilan tetap dipandang penting tapi, tidak memadai dalam proses pendalaman demokrasi guna meningkatkan dan mengelola pencapaian terbesar umat manusia;

Di Venezuela, Revolusi melahirkan proses transfer kekuasaan kepada rakyat, terutama lewat dewan-dewan komunal. Dewan komunal lebih luas dari lingkaran Bolivarian, mereka yang bukan pendukung pemerintah boleh terlibat didalamnya, tetapi prinsipnya adalah solidaritas; bekerja untuk komunitas, dan mencari penyelesaian terhadap persoalan bersama. Dewan komunitas, merupakan majelis yang melibatkan 200 sampai 400 keluarga di pemukiman kota, 20 keluarga setiap desa, dan 10 keluarga masyarakat adat. Dari situ, akan ditunjuk eksekutif, manajemen finansial/dewan anggaran, dan komite monitorin. Hal yang sangat penting lainnya adalah, Dewan Komunitas berkesempatan memilih pemimpin yang baru. Pemimpin ini harus dipilih dalam majelis umum di mana siapapun dapat diusulkan. Para jurubicara bukanlah majelis, mereka bukanlah organisasi. Majelis harus terlebih dulu mensahkan usulan-usulan, baik dari komite untuk perumahan atau komite kesehatan. Jika seseorang yang menjadi jurubicara tidak disetujui oleh majelis, maka Dewan Komunal tidak akan jalan.

Dewan komunal akan menyelesaikan persoalan-persoalan yang merupakan problem komunitas, yang sifatnya urgent, seperti persoalan pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan, keamanan, rekreasi, dll). Support dana/anggaran sepenuhnya dari pemerintah dan donor-donor yang tidak mengikat.

Dewan komunal memiliki perspektif politik, berbeda dengan Budget Partisipatif, mereka mengajarkan kerjasama dan pengorganisan pemecahan masalah, yang bertentangan dengan logika neoliberal.

Bagaimana Mentransformasikan RT/RW di Indonesia

Di jaman sekarang, kedudukan dan afialisi politik RT/RW cukup luas dan tidak homogen. Hal itu dimungkinkan karena adanya keterbukaan politik, yang memaksa mereka memilih partai yang tidak harus sama dengan partai yang dianut oleh pemerintahan berkuasa. Berbeda dengan hirarki politik yang diatas, dimonopoli oleh kaum oligharkis dan pemilik modal, jabatan RT/RW justru melalui mekanisme demokratik. Kedudukan mereka sangat kuat, karena memiliki dukungan langsung dari barisan pemilih dibelakangnya, dan merupakan mandat langsung.

Perubahan situasi politik melahirkan gairah berdemokrasi di tingkatan massa. Gairah berdemokrasi ini, justru besar dan kuat ditingkatan bawah—---pemilihan RT/RW/kades, sangat berbeda dengan ditingkatan atas—parlemen/presiden, yang memperlihakan kelesuan dan ketidakpercayaan. Masyarakat begitu antusias memilih RT/RT/kades ketimbang pemilihan pilkada, legislatif dan presiden. Dengan sendirinya, gejolak demokrasi dibawah menaruh legitimasi yang begitu kuat, dalam hal kekuasaan dan kewenangan.

Dengan demikian, RT/RW, dewan kelurahan,dll) akan dapat diubah, dengan memanfaatkan situasi sekarang, untuk kepentingan-kepentingan gerakan yang sifatnya taktik (pengorganisiran dan pengorganisasian) ataupun strategis (perebutan kekuasaan). Neoliberalisme yang begitu gencar, menghilangkan peran negara dalam menciptakan kemakmuran, dan menghilangkan tanggung jawab sosial negara terhadap rakyat miskin. Kapitalisme di masa sekarang, memang telah berhasil mengurangi peran negara, lebih dari itu, menginplementasikan ”kehidupan indiviualis” yang sangat merusak, terutama bagi kalangan menengah dan lapisan bawah.

Itu harus dipotong. Cengkraman neoliberal dapat didesak dan diganggu pada level-level itu, sembari tidak meninggalkan pertarungan penting dipusat kekuasaan. Terkadang kita menganggap, ini tak lebih taktik mengorganisir dan mengorganisasikan massa dan memberikan mereka pelajaran-pelajaran akan arti perjuangan yang berbuah pada kemenangan kecil. Tapi, metode-metode semacam ini sangat terbukti memiliki jangkauan yang luas dan keuntungan politik yang dapat dipanen partai politik kiri.

Setidaknya, ada beberapa hal yang membuat hal ini menjadi mungkin, diantaranya; pertama, proses pemilihan RT/RW berbasiskan dukungan lansung dan demokratik; terbuka kepada siapapun untuk bertarung dan memenangkannya, serta memiliki legitimasi politik lebih kuat. Kedua, banyak program pemerintah, terutama yang berbau penanggulangan kemiskinan, menjadi kandas ditengah jalan; karena diselewengkan oleh birokrat-birokrat ditingkatan kotamadya, kecamatan, kelurahan, hingga RT/RW. Ketiga, Rakyat merasakan besarnya beban ekonomi yang ditimpukkan oleh neoliberal dan hilangnya tanggung jawab negara, terutama pada pelayanan sosial untuk publik. Kemenangan-kemenangan kecil yang bersinggungan dengan kebutuhan sosial dan ekonomi mereka, akan memberi dampak politis yang lebih luas; keempat, dalam derajat tertentu, pemerintah akan susah menghambat proses itu, karena memiliki akar yang kuat dan potensi mobilisasi politik yang luas, serta celah politik yang konstitusional; karena tuntutan kita berbasiskan konstitusi dan program pemerintah sendiri.

Untuk itu, perjuangan merebut dan mentransformasikan RT/RW/dll, dapat dilakukan dengan cara-cara berikut; pertama, mulai menganggap penting mendudukkan kader kita atau anggota termaju dari basis kita, dari berbagai teritorial, dalam jabatan-jabatan tersebut. Merebut kepemimpinan RT/RW harus menjadi agenda penting, terutama yang berbasikan miskin kota. Agenda perebutan kekuasaan RT/RW akan berbarengan dengan perjuangan kader-kader kita menduduki posisi-posisi di pemerintahan kotamadya/kabupaten, seperti legislatif, walikota, lurah, camat, dan lain-lain. Kedua, mulai mengorganisasikan RT-RW yang ada (tinggal dihitung), berdasarkan basis teritorialnya, semacam komite-komite atau dewan-dewan yang berbasiskan rumah tangga. RT/RW akan dialihfungsikan semacam perwakilan dari majelis-majelis tadi. Dibuatkan pertemuan-pertemuan reguler yang menghadirkan seluruh warga dan mendiskusikan kebutuahan2 yang mendesak. Rekomendasi dari pertemua itu akan menjadi proposal, dan diserahkan kepada pemerintah lokal. Ketiga, watak dan fungsi RT/RW akan diubah, sehingga menyerupai wakil komunitas, yang akan menyampaikan proposal-proposal kita (persoalan warga; pendidikan, kesehatan, jalan, rumah ibadah, keamanan, administrasi, dll). Keempat, memperjuangkan dibentuknya semacam dewan anggaran (perwakilan pemerintah dan warga) di tingkatan kota/kab, atau bisa pula mendirikan Bank Umum yang berfungsi menyalurkan dana pada para pengaju proposal. Hal ini, akan memotong tangan birokrasi dan memperkecil korupsi.

Hal ini akan mendapat tantangan dan perlawanan. Penentangan paling utama akan dari penguasa lokal dan aparatus keamanan, yang tidak menghendaki hal tersebut. Tindakan semacam itu, merupakan hukum alam yang senantiasa menghambat kemajuan yang sifatnya revolusioner. Akan tetapi, hal semacam itu tak dapat dibiarkan, dan harus ditemukan jalan keluarnya. Kita dapat mengatasinya dengan membangun koordinasi bersama jajaran pemerintahan diatasnya. Proposal yang diajukan, harus realistis (tidak bertele-tele dan mengada-ngada), dan berkaitan dengan program pemerintah yang sudah ada atau sudah diatur oleh konstitusi.

PNPM-Mandiri, misalnya, yang berisikan program penganggulangan kemiskinan yang tersebar dibanyak sub-kementerian, dapat dijadikan pijakan dalam pengajuan proposal warga. Program ini harus diambil alih dari tangan birokrat, dan sepenuhnya dikelola dan jalankan oleh warga. Belum lagi, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), Raskin, BOS, Jamkesmas dan BLT, dapat dimanfaatkan oleh warga dengan berbasiskan kepada kerukunan warga dan kerukunan tetangga tadi. Program yang berserakan tadi, seharusnya menjadi program yang berjalan dan dikelola sendiri oleh masyarakat, sepanjang ada pewadahan terhadap komunitas yang legitimate.

Di Kelurahan Tukang Kayu dan Pengajuran, Kecamatan Banyuwang, warga dapat mengkritisi pengelolaan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan. Beberapa NGO berusaha menerapkan model-model pengelolaan anggaran berbasis komunitas, dan ada yang cukup berhasil. Hanya saja, karena ditangan NGO, sehingga mereka tidak berupaya memperluasnya dan cenderung terlokalisir.

Akan tetapi, ukuran-ukuran perjuangan ini tak dapat disetarakan dengan keberhasilan dewan komunal di venezuela. Kesuksesan perjuangan semacam ini, begitu tergantung dari pos anggaran publik pemerintah. Daerah/kotamadya yang relatif lebih kaya dan punya anggaran besar, tentu lebih mudah dalam menjalankan proyek semacam ini, meskipun ini bukan hukum baku.

Dana KUR, yang bernilai 300 ribu-5 juta, dapat dikelolah untuk kepentingan warga. Modelnya tidak boleh individu, tetapi berkelompok (dananya dikumpulkan), dan dikelola menjadi semacam unit usaha bersama; warung, toko sembako, dll.

Sabtu, 26 Februari 2011

BUBARKAN SATPOL PP

Ditulis oleh Samsul Hadi*

Menurut sejarahwan Geoffrey Robinson, Indonesia pada era tahun 50-an hidup dalam sebuah masa yang gemilang, masa dimana kekuatan masyarakat sipil begitu berdaya. Pergerakan politik dan massa rakyat kala itu begitu maju. Hal itu tercermin dalam partisipasi politik yang kuat. Pergerakan masyarakat sipil cukup diperhitungkan pada saat itu.

Setelah tiga puluh dua tahun kekuasaan Orde Baru berbagai bentuk kekerasan negara, tidak menurun, justru meningkat. Bagi rakyat miskin, intensitas represi negara meningkat pada dekade terakhir ini. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satol PP) meningkat tajam. Korban tewas terus bertambah. Sementara itu, Pemda kerap melindungi oknum Satpol PP meski terbukti melanggar hukum.

Satpol PP merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda yang berwatak otoriter-militeristik dan fasis. Dewasa ini, keberadaan mereka telah menyedot anggaran belanja negara begitu besar. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum keberadaan Satpol PP pun cacat moral. Sehingga, melahirkan kasus-kasus kekerasan dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, Satpol PP harus segera dibubarkan!

Pandangan tentang fungsi dan peran Satpol PP dalam menegakkan Peraturan Daerah (Perda) untuk membantu kepolisian mungkin saja dapat dibenarkan. Tetapi, logika Ketertiban Umum dan Penegakan Perda yang berulangkali dipakai sejak pemerintahan Orde Baru hingga Orde Reformasi terkesan hanya dalih dari tindakan kekerasan yang dilakukan selama ini. Pemda sesungguhnya menyembunyikan ketidakmampuannya dalam tata kelola pemerintahan yang baik dengan melegitimasi kekuasaannya secara represif dan manipulatif.

Ada sesat logika yang sengaja dibangun selama ini untuk membenarkan keberadaan Satpol PP. Kondisi itu memunculkan anggapan bahwa rakyat miskin selalu membangkang karena wataknya yang selalu tidak tertib. Lantaran logika sesat itu, Pemda menempuh pendekatan yang represif, otoriter, dan militeristik. Pendekatan yang tidak bedanya saat masa kolonial Belanda dengan dalih menegakkan ketertiban bagi kaum pribumi. Maraknya razia-razia yang digelar, dipaksakan menjadi sebuah kebenaran umum atas dasar legitimasi di atas. Misalkan, penangkapan paksa warga, penyitaan harta benda, dan penggusuran paksa kampung-kampung miskin.

Menurut catatan Aliansi Rakyat Miskin (ARM), sejak tahun 2007 - 2010 enam orang meninggal karena brutalitas Satpol PP. Mereka yang meninggal dunia meliputi Irfan Maulana (14), Joki 3 in 1, meninggal pada Januari 2007. Ia dikeroyok dan dianiyaya oleh sembilan anggota Satpol PP; Pekerja Waria, Eli Suzanna yang tewas di Banjir Kanal Timur (2007) karena menghindari kejaran Satpol PP; Balita Siti Khoiyaroh (4,5) akhirnya tewas setelah tersiram kuah panas gerobak bakso orang tuanya saat razia (2008); Pengamen Muhammad Faisal (17) dan Rini (12) tewas tertabrak truk karena menghindari razia di Jalan Ahmad Yani, Bypass, Jakarta (2010); Pengamen Ari Susanto (17) tewas di Banjir Kanal Timur (2010) terpeleset ke sungai karena menghindari kejaran Satpol PP.

Situasi ketakukan, rasa teror, hingga berbagai kekerasan struktural lainnya terhadap warga sipil sengaja diciptakan bagi rakyat miskin. Semua itu menunjukkan bukti nyata brutalitas oknum-oknum Satpol PP dan Pemda.

Ditinjau dari sisi anggaran negara, alokasi dana untuk operasional penertiban dan kebutuhan Satpol PP sangat tidak wajar dan tidak proposional jika disandingkan dengan alokasi kebutuhan rakyat lainnya. Dana pembinaan dan operasional Satpol PP (PP No.6 Tahun 2010) menyedot begitu banyak uang rakyat. Pembiayaan itu telah menggembosi anggaran APBD yang dibayar oleh pembayar pajak tanpa hasil yang membanggakan dan dapat dipertangungjawabkan secara politik dan etika.

Jika Pemda memang serius ingin menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi warganya, dana pembinaan Satpol PP itu harus segera dialihkan untuk program-program pemberdayaan ekonomi, seperti program microcredit (kredit mikro) untuk rakyat miskin. Kesuksesan program itu dengan sendirinya akan mewujudkan perubahan sosial-ekonomi yang signifikan. Paling tidak, kegiatan ekonomi di jalan raya yang selalu dan sejak dulu dianggap mengganggu “ketertiban umum” akan berkurang karena intervensi program pemberdayaan ekonomi rakyat miskin itu.

Satpol PP seringkali melanggar Peraturan Pemerintah yang menjadi pedomannya sendiri. Di dalam Pasal 7 (a) PP No.32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP, Satpol PP diwajibkan menjunjung norma sosial, agama, hak asasi manusia yang juga termaktub di dalam PP No.6 Tahun 2010 Pasal 8. Selain itu, pada Pasal 6 (a) PP No.6 Tahun 2010, menyebutkan Wewenang, Hak, dan Tanggung Jawab Satpol PP. Di pasal itu berbunyi, Satpol PP berwenang melakukan tindakan penertiban Non Yusticial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas perda dan/peraturan kepala daerah. Pada kenyataannya, ayat itu menjadi hiasan belaka pada dinding-dinding kantor Pemda. Realitas di lapangan, mulai dari komandan hingga anggota biasa Satpol PP telah menyalahi aturan itu. Satpol PP lebih sering menangkap, menahan, merampas dan menyita harta benda orang lain, dan memenjarakan banyak warga miskin ke dalam panti-panti sosial (layaknya penjara) secara paksa.

Melihat kondisi seperti itu, Satpol PP bukan hanya melampaui kewenangannya yang telah diatur di dalam Undang-Undang, juga telah bertindak melampaui fungsi Kepolisian Republik Indonesia. Penyalahgunaan wewenang secara terang-teranganan telah menerobos dan menghancurkan sistem hukum dan keadilan. Sesungguhnya, tindakan Satpol PP telah menyesatkan publik dan merusak ketertiban umum yang sejati.

Atas dasar tersebut sangat beralasan agar Satpol PP dibubarkan demi hukum, keadilan, dan hak asasi manusia.

------------------------------------

* Penulis adalah seorang PKL yang berjualan Es Cincau di sisi barat Taman Sritanjung (depan Mall of Sritanjung) juga ketua urusan PKL di Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi

Rabu, 09 Februari 2011

Belajar Kepada Kota Pekalongan Mengatasi Kemiskinan

Ditulis oleh Santi Dewi (Ketua Bidang Kajian dan Advokasi)

Meskipun tidak begitu mengenal agenda Forum Habitat, di mana Indonesia terikat pada komitmen untuk memenuhi hak atas perumahan bagi warga miskin dan memperbaiki kondisi hidup komunitas miskin, namun Walikota Pekalongan telah mencanangkan dan menjalankan program pemukiman perkotaan yang aman dan layak huni seperti yang diagendakan dalam Forum Habitat. Targetnya juga tak main-main yaitu, menjadikan kota Pekalongan bebas rumah tidak layak huni pada tahun 2008 dan bebas kawasan kumuh pada tahun 2010. Lalu bagaimana program itu dijalankan oleh sang walikota?

Strategi Sapu Lidi

Kota Pekalongan yang berada di Provinsi Jawa Tengah, dikenal dengan industri batiknya. Jumlah keluarga miskin di kota ini 22.913 KK atau 36,4 persen dari jumlah total keluarga. Dari jumlah KK miskin yang ada, terdapat 5.068 KK (22,12 persen) yang mendiami rumah tidak layak huni. Selain KK miskin, juga terdapat 800 PNS golongan rendah (golongan I dan II) dan 8.000 buruh yang terdaftar di Surat Perbendaharaan Negara (SPN)/Jamsostek. Dari jumlah tersebut, 465 PNS (58,12 persen) dan 2.985 buruh (37,35 persen) belum memiliki rumah.

Untuk menjalankan program rumah aman bagi warga miskin di kota itu, Walikota Pekalongan mengaku tidak bisa hanya mengandalkan dana APBD. Bila hanya mengandalkan APBD, kota yang PAD-nya pada tahun 2006 senilai Rp 20 milyar itu, ia perkirakan baru bisa mewujudkan kota yang bebas dari rumah tidak layak huni 21 tahun kemudian. Karena itulah sebagai walikota, A.M. Basyir menempuh strategi “sapu lidi” guna mendapatkan pendanaan di luar APBD.

Dengan strategi itu, Walikota Pekalongan memadukan dan menyinergikan dana penanggulangan kemiskinan yang berasal dari berbagai sumber. Dengan cara ini program rumah aman dibiayai bukan hanya dari dana APBD Kota Pekalongan, tetapi juga dari APBD provinsi Jawa Tengah, APBN, pihak swasta atau sektor privat, swadaya masyarakat dan potensi-potensi sah lainnya. Dengan beragam sumber pendanaan tersebut, walikota Pekalongan membangun rumah inti tumbuh, memugar rumah, dan menata lingkungan pemukiman. Dalam membangun rumah inti, 20 persen biaya pembangunan didanai sendiri oleh masyarakat secara swadaya.

Strategi sapu lidi ini ditempuh dengan pertimbangan, selama ini banyak program dari pusat yang berasal dari berbagai departemen tidak terkoordinasi dan campur aduk. Program-program itu juga dijalankan dengan beragam sistem sehingga, menyulitkan pelaksanaan di lapangan. Selain itu, program peningkatan kualitas rumah (pemugaran) dari pusat, juga belum diikuti oleh program peningkatan kualitas prasarana dan sarana umum di lingkungan komunitas miskin.

Dengan mengoptimalkan dana dari Kementrian Perumahan Rakyat (Menpera), Walikota Pekalongan berhasil memperluas target program rumah aman, dari 400 rumah menjadi 1.000 rumah. Pemkot Pekalongan juga memberikan bantuan untuk ‘plesterisasi,’ pembangunan jamban, dan pembuatan sumur gali. Sistem bantuan untuk rumah aman bagi komunitas miskin dijalankan dengan dua skema untuk dua kelompok sasaran. Bagi keluarga miskin yang produktif (keluarga miskin yang punya usaha produktif), Pemkot memberikan dana stimulan dalam bentuk kredit lunak dengan bunga enam persen.

Sementara untuk keluarga miskin yang tidak produktif, diberikan dana dalam bentuk bantuan hibah. Program untuk keluarga miskin produktif didanai dari program rumah swadaya yang berasal dari Menpera. Sementara bantuan hibah bagi keluarga miskin tak produktif didanai dari berbagai sumber: APBD provinsi, APBD Kota Pekalongan, P2KP (DPU) dan KUBE (Depsos). Dalam waktu empat bulan di tahun 2007, Pemkot Pekalongan berhasil memugar 946 rumah dengan dana Rp2 milyar dan membangun 50 rumah baru dengan dana Rp500 juta.

Program rumah aman bagi komunitas miskin dijalankan secara terpadu dengan program pemberdayaan masyarakat dan program penanggulangan kemiskinan, yang salah satunya diwujudkan melalui pengembangan dan pemberdayaan lembaga keuangan mikro di tingkat komunitas. Dengan cara demikian, komunitas berpenghasilan rendah dapat mengakses dana stimulan yang ditujukan pada keluarga tersebut. Untuk menjalankan program ini, Walikota Pekalongan mengoptimalkan peran dan fungsi dari “Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan” dan berbagai lembaga masyarakat yang ada, seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di kelurahan-kelurahan.

Dikukuhkan dengan Peraturan Walikota

Keberhasilan Pekalongan dalam menjalankan program pengembangan rumah aman yang dipadukan dengan penanggulangan kemiskinan, membuat Pekalongan dijadikan sebagai Proyek Pilot Menpera dan konsep Kota Pekalongan dipilih untuk mewakili Indonesia pada seminar di Nairobi.

Keberhasilan kota Pekalongan dalam menjalankan program rumah aman yang dipadukan dengan program penanggulangan kemiskinan, tak terlepas dari kehadiran sosok walikotanya yang memang punya visi yang baik dalam membangun kota. Sebelum menjadi walikota, A.M. Basyir sehari-harinya dikenal sebagai salah satu dokter terlaris di Pekalongan. Sebagai dokter, ia dikenal dekat dengan masyarakat dan karenanya tahu apa yang mesti dilakukan ketika menjabat sebagai walikota. Berbeda dengan para pejabat pada umumnya yang berhasrat melanggengkan kekuasaan, A.M. Basyir justru tidak ingin berlama-lama jadi walikota. Ia hanya ingin satu periode saja menjabat sebagai walikota, dengan tujuan utamanya membangun sistem yang baik dalam hal pengembangan kota. Dengan adanya sistem yang baik, pengembangan kota tidak lagi bergantung pada sosok walikotanya.

Bukan hanya sistem yang baik yang dikembangkan Walikota Pekalongan, tapi juga birokrat yang baik. Dalam hal ini, Walikota Pekalongan membuat program pendidikan kewirausahaan sosial (social entrepreneurship)  bagi segenap jajaran birokrasi di kota Pekalongan. Dengan program ini diharapkan, segenap jajaran birokrasi memiliki visi melayani rakyat dan bukan sebaliknya, menuntut pelayanan dari rakyat. A.M. Basyir juga menyiapkan kader-kader pembangunan kota dari lingkungan birokrasi, yang nantinya siap meneruskan apa yang sudah ia bangun. Dengan mengembangkan kader-kader ini ia berharap, apa yang sudah ia bangun bisa terus berlanjut dan tidak hilang begitu saja setelah ia tidak menjabat. Apa yang ia lakukan ini adalah cerminan dari prinsipnya sebagai walikota: “Menjadi walikota satu periode saja, namun hasilnya bisa dirasakan rakyat untuk selamanya”. Karena itulah, selain membuat program-program konkrit yang langsung bisa dirasakan rakyat, A.M. Basyir juga membangun sistem yang lebih jangka panjang dampaknya.

Salah satu sistem yang dibangun Walikota Pekalongan adalah penanggulangan kemiskinan. Sistem ini ia kukuhkan dalam bentuk Peraturan Walikota Pekalongan Nomor 19 tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat. Ada lima misi yang hendak dicapai dengan peraturan itu: 1) mewujudkan keluarga miskin bersekolah, 2) mewujudkan keluarga miskin sehat, 3) mewujudkan keluarga miskin berusaha, 4) membangun sarana dan prasarana lingkungan, 5) menguatkan kapasitas kelembagaan masyarakat. Dengan percepatan ini diharapkan pada tahun 2015 keluarga miskin di Kota Pekalongan menjadi berdaya, mandiri dan sejahtera. Ini jauh melampaui target Millennium Development Goals (MDGs) yang hendak mengurangi jumlah orang miskin menjadi separuhnya pada tahun 2015.

Apa yang dilakukan Walikota Pekalongan, dalam menanggulangi kemiskinan memang patut dijadikan contoh bagi daerah lain, termasuk Kabupaten Banyuwangi. Bahkan, semestinya pemerintah pusat pun belajar dari Pekalongan, yang terbukti mampu menanggulangi kemiskinan dengan perspektif struktural (tidak sekadar menjalankan program yang karitatif atau charity sifatnya), partisipatif, dan mengedepankan koordinasi, baik dalam kerja maupun dalam pendanaan atau pembiayaan. Berikut adalah beberapa pasal penting dari Peraturan Walikota Pekalongan tentang penanggulangan kemiskinan.

Pasal 4 : Strategi Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat kota Pekalongan adalah:
1) mendorong partisipasi dan kemitraan strategis antar-stakeholders pembangunan,
2) mengoptimalkan peran dan potensi pilar-pilar utama pembangunan kelurahan,
3) berperspektif jangka menengah dengan kerangka target yang jelas dan terukur,
4) mengutamakan pengembangan kelembagaan dan sistem untuk keberlanjutan program,
5) mengutamakan keswadayaan dan pengembangan kapasitas,
6) asistensi dan pendampingan pelaksanaan program.

Pasal 5: Tujuan Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan adalah mendorong percepatan pencapaian keluarga miskin menjadi berdaya, mandiri dan sejahtera tahun 2015.

Pasal 6: Sasaran Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan meliputi:
a. anak warga miskin menyelesaikan pendidikan menengah
b. warga miskin bebas buta aksara
c. rumah warga miskin layak huni (jamban, plesterisasi, ventilasi, penyekat, penerangan, air bersih)
d. bebas kawasan kumuh
e. warga miskin memperoleh jaminan layanan kesehatan
f. balita warga miskin bebas gizi buruk
g. ibu hamil warga miskin mendapatkan layanan pemeriksaan kehamilan dan melahirkan
h. ibu hamil warga miskin mendapatkan makanan tambahan
i. warga miskin bebas penyakit menular
j. penumbuhan UMKM bagi warga miskin
k. warga miskin mendapatkan pelatihan ketrampilan
l. warga miskin mendapatkan kemudahan fasilitas permodalan
m. angkatan kerja warga miskin mendapatkan kesempatan kerja dan peluang berusaha

Pasal 7: Prinsip-prinsip Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan adalah keadilan, demokratis, partisipatif, kesetaraan, saling percaya dan tertib hukum.

Pasal 8: Kriteria keluarga miskin Kota Pekalongan terdiri dari 23 variabel sebagaimana tercantum dalam lampiran.

Pasal 9:
(1) Penetapan keluarga miskin berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan dengan survey
(2) Validasi data berdasarkan hasil survey sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap 1 (satu) tahun sekali

Pasal 10: Keluarga miskin yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) merupakan sasaran utama Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan.

Pasal 11: Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan dilakukan melalui program-program pokok sebagai berikut:
a. percepatan keluarga miskin bersekolah
b. percepatan keluarga miskin sehat
c. percepatan keluarga miskin berusaha
d. percepatan pembangunan sarana dan prasarana lingkungan
e. penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat mandiri

Pasal 12: Percepatan Keluarga Miskin Bersekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a meliputi:
a. gerakan peduli anak sekolah keluarga miskin
b. penyediaan skema pembiayaan bagi keluarga miskin untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
c. pengembangan kelompok pendidikan luar sekolah
d. peningkatan penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF)

Pasal 13: Percepatan Keluarga Miskin Sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b dilaksanakan melalui:
a. pengembangan sistem Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM),
b. pemberian makanan tambahan untuk balita, ibu hamil dan melahirkan,
c. penanggulangan penyebaran penyakit menular,
d. pemugaran rumah tidak layak huni(jamban, plesterisasi, ventilasi, penyekat, penerangan, air bersih).

Pasal 14: Percepatan Keluarga Miskin Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c meliputi:
a. fasilitasi pelatihan ketrampilan,
b. fasilitasi kemudahan permodalan,
c. advokasi dan atau pendampingan.

Pasal 15: Percepatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d diselenggarakan melalui Percepatan Pembangunan Kawasan Kumuh (drainase dan jalan lingkungan).

Pasal 16: Penguatan Kapasitas Kelembagaan Masyarakat Mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf e diselenggarakan melalui fasilitasi Lembaga Keswadayaan Masyarakat.

Pasal 17: Pedoman operasional pelaksanaan program-program pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 akan ditetapkan dengan Keputusan Walikota.

Pasal 18: Pembiayaan untuk program-program pokok Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan disediakan melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Pekalongan dan sumber dana lainnya yang sah dan tidak mengikat, serta melibatkan swadaya masyarakat.

Pasal 19:
(1) Dalam rangka pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan dibentuk Komisi Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan yang diketuai oleh walikota.
(2) Komisi Percepatan Pembangunan Keluarga Sejahtera Berbasis Masyarakat Kota Pekalongan meliputi:
a. Sekretariat Komisi yang diketuai oleh Sekretaris Daerah Kota Pekalongan,
b. Tim Percepatan Keluarga Miskin Bersekolah dengan koordinator Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekalongan,
c. Tim Percepatan Keluarga Miskin Sehat dengan koordinator Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekalongan,
d. Tim Percepatan Keluarga Miskin Berusaha dengan koordinator Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Pekalongan,
e. Tim Percepatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Lingkungan dengan koordinator Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Pekalongan,
f. Tim Penguatan Kapasitas Kelembagaan Masyarakat Mandiri dengan koordinator Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Pekalongan.
(3) Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Walikota.
(4) Keputusan lebih lanjut mengenai sistem dan mekanisme monitoring dan evaluasi akan ditetapkan dalam Keputusan Walikota.

Apa yang dilakukan Pemkot Pekalongan merupakan upaya menjalankan amanat UUD 1945, khususnya pasal 28 H ayat 1: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Kenyataan ini sangatlah menggembirakan. Di tengah situasi krisis kepemimpinan dan maraknya korupsi, ternyata masih ada sosok seperti Walikota Pekalongan yang menggunakan kekuasaan untuk melayani kemanusiaan. 

Senin, 07 Februari 2011

Permasalahan Ketenagakerjaan di PT. Maya Harus Segera Diselesaikan

PT Maya yang telah berdiri sejak tahun 1978 di Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi Propinsi Jawa Timur merupakan sebuah perusahaan yang bergerak diusaha pengolahan hasil perikanan dengan merek Maya, Botan, Resca dan Meta.

Keadaan ketenagakerjaan di PT. Maya:
  1. Jumlah tenaga kerja: 661 orang yang terdiri dari: karyawan tetap = 23 orang, karyawan harian = 47 orang, karyawan lepas = 591 orang;
  2. Pelaksanaan pengupahan: 449 orang karyawan menerima upah perhari Rp. 28.000,- (perhitungan upah perbulan = 25 hari kerja x Rp.28.000,- = Rp. 700.000,-), upah minimum yang berlaku sesuai Peraturan Gubernur No.69 tahun 2009 untuk Kabupaten Banyuwangi adalah Rp. 824.000,- yang berlaku sejak 1 Januari 2010 (melanggar Pasal 90 ayat (1) UU. No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);
  3. Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), 470 orang karyawan belum diikutsertakan dalam program Jamsostek (Melanggar UU No.3 tahun 1992 tentang Jamsostek);
  4. Pelaksanaan upah kelebihan jam kerja (lembur) perhitungannya tidak sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Keputusan Menakertrans No. 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu kerja lembur dan upah kerja lembur;
  5. Pihak pengusaha/manajemen PT.Maya tidak membayarkan THR sesuai ketentuan yang berlaku dan mem-PHK ketua Serikat Pekerja Serikat Pekerja Nasional (SP-SPN), Sdr. Geger Setyono secara sepihak dan meliburkan sepihak 107 karyawan tanpa alasan yang jelas.
Langkah-langkah penanganan terhadap permasalahan ketenagakerjaan di PT. Maya

Tanggal 10 Mei 2010 bertempat di ruang rapat PT. Maya dilakukan perundingan antara pihak pengusaha/manajemen PT. Maya dengan karyawan yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) disaksikan oleh Kepala Bidang Ketenagakerjaan, Pejabat Fungsional Ketenagakerjaan, Kapolsek Muncar, Danramil Muncar, Sekwilcam Muncar dan menghasilkan persetujuan bersama yang isinya:
  1. Upah karyawan yang dibawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) akan dinaikkan walaupun kenaikannya masih di bawah UMK tahun 2010;
  2. Dimohon perusahaan menstabilkan produksi agar sumber nafkah para karyawan tidak terganggu kecuali ada kompensasi dari perusahaan;
  3. Bahwa upah lembur akan dibicarakan lebih lanjut antara pihak perusahaan dengan karyawan;
  4. Kepesertaan Jamsostek akan dilakukan penambahan secara bertahap;
  5. Rencana mogok kerja yang akan dilaksanakan pada tanggal 18 s/d 29 Mei 2010 dan seterusnya ditiadakan.
Pada saat itu juga sesuai kewenangan petugas fungsional Pengawas Ketenagakerjaan dan berdasarkan UU. No. 3 tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan  mengadakan pemeriksaan dan hasilnya dituangkan dalam nota pemeriksaan sebagai pembinaan sekaligus peringatan bagi perusahaan. Hal tersebut sesuai juklak tindak lanjut hasil pemeriksaan di perusahaan berdasarkan Permenakertrans No. PER.03/MEN/1984 Tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu.
 
Tanggal 17 Mei 2010, Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Propinsi Jawa Timur mengadakan pemeriksaan tentang pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan mengeluarkan nota pemeriksaan yang intinya menyebutkan telah terjadi pelanggaran-pelanggaran tentang upah, kepesertaan Jamsostek, pelaksanaan perhitungan upah lembur dan tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak pada Sdr. Geger Setyono yang juga sebagai ketua Serikat Pekerja Nasional unit PT. Maya.
 
Pihak manajemen PT. Maya menjawab nota pemeriksaan dari Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyuwangi namun isi jawaban belum bisa meniadakan pelanggaran normatif yang terjadi di PT. Maya. Terhadap jawaban tersebut Pengawas Ketenagakerjaan mengeluarkan nota pemeriksaan sebagai peringatan ke-II pada tanggal 24 Mei 2010.
 
Hari Senin, 21 Juni 2010 diadakan perundingan ke-II antara pengusaha dan pekerja PT. Maya bertempat di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyuwangi yang disaksikan oleh Bagian Perekonomian Setda Kab. Kab. Banyuwangi, Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyuwangi, Mediator dan Pengawas Ketenagakerjaan yang menghasilkan perjanjian bersama sebagai berikut: 
  1. Pihak perusahaan akan merealisasikan isi persetujuan bersama tanggal 10 Mei 2010 termasuk Tunjangan Hari Raya (THR) sebelum berakhirnya tahun  2010;
  2. Dengan ditandatangani persetujuan bersama, mulai tanggal 22 Juni 2010 seluruh karyawan/pekerja bekerja kembali dan tidak melakukan kegiatan mogok kerja yang telah direncanakan dan pihak perusahaan tidak melakukan intimidasi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun;
  3. Masalah PHK akan diselesaikan tersendiri secara hukum.
Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyuwangi mengeluarkan Nota Pemeriksanaan ke-III (terakhir) pada tanggal 17 September 2010 yang kemudian dijawab oleh pihak pengusaha/manajemen PT. Maya melalui kuasa hukumnya (M. Fahim, SH., MH.) yang intinya perusahaan belum dapat melaksanakannya dan cenderung mengalihkannya ke perkara perdata.

Bahwa Nota Pemeriksaan ke-I, II, III sudah merupakan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan dan jelas terdapat indikasi pelanggaran norma ketenagakerjaan khususnya menyangkut perihal upah, Jamsostek, upah lembur, pembayaran THR, dan kebebasan berserikat bagi pekerja. Maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang ketenagakerjaan mengambil langkah penyidikan (Pro yustitia).
Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh PPNS adalah: 
  1. Membuat berkas perkara permulaan (Laporan Kejadian, Surat Perintah Penyidikan dan Surat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui Penyidik Polres Banyuwangi);
  2. Memanggil petugas PT. Jamsostek dan 7 (tujuh) orang karyawan dan Kepala Bagian Personalia PT. Maya untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Namun Kepala Bagian Personalia PT. Maya tidak mau hadir walaupun sudah dipanggil 3 (tiga) kali;
  3. Kesimpulan sementara bahwa telah terjadi pelanggaran normatif ketenagakerjaan di PT. Maya.
PPNS mengadakan koordinasi dengan Pihak Kepolisian dan mendapatkan arahan agar terlebih dahulu mengumpulkan alat bukti berupa daftar hadir karyawan, buku/bukti pembayaran/penerimaan upah karyawan, daftar karyawan peserta Jamsostek dan bukti penunjang lainnya sehingga dengan alat bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terang tindak pidana yang terjadi, kemudian terlebih dahulu akan diadakan gelar perkara di Polres Banyuwangi.

Tanggal 3 Januari 2011, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyuwangi berkirim surat ke Ketua Pengadilan Negeri Banyuwangi perihal Permintaan Ijin Penggeledahan dan Penyitaan Alat Bukti.
 
Kemudian ada penawaran dari Pihak Polres Banyuwangi, apabila PPNS mengalami kesulitan, penanganan proses penyidikan akan diambil alih oleh Penyidik Kepolisian.
 
Tanggal 24 Januari 2011 diadakan dengar pendapat (hearing) di Komisi II DPRD Kabupaten Banyuwangi yang dihadiri oleh pekerja PT. Maya yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN), Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyuwangi, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Banyuwangi, sedangkan dari pihak manajemen PT. Maya tidak hadir. Adapun hasil hearing tersebut:
  1. Mendesak kepada pihak manajemen PT. Maya untuk merealisasikan isi persetujuan bersama tanggal 21 Juni 2010 di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyuwangi.
  2. Apabila dalam 14 (empat belas hari) sejak hearing tersebut pihak manajemen PT. Maya tidak merealisasikan isi persetujuan bersama tanggal 21 Juni 2010 di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyuwangi merekomendasikan kepada Bupati Banyuwangi untuk meninjau ulang ijin usaha PT. Maya.
Demikian. Sampai saat ini permasalahan ketenagakerjaan di PT. Maya belum selesai.

Sabtu, 05 Februari 2011

Kemiskinan Struktural dan Kegagalan Demokrasi Prosedural

Ditulis oleh Helmi Rosyadi

Kegagalan Demokrasi Prosedural

Kemiskinan itu terjadi tidak hanya karena ketidakmampuannya tapi juga kesempatan untuk merubah kehidupannya kearah yang lebih baik juga sangat sulit, karena ketidakmampuan pemerintah dalam membuka peluang kerja bagi mereka. Harus diakui bahwa ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan bagi masyarakat bukan karena disebabkan oleh kekurangan sumber dana untuk pembangunan, namun ketidakmampuan pada sumber daya manusia yang mengelolanya yang mengakibatkan kemiskinan terus menerus dialami oleh rakyat.

Seperti yang pernah ditulis oleh peraih hadiah Nobel ekonomi dari India, Amartya Sen (Development as Freedom, 1996), “kelaparan dan kemiskinan di negara berkembang terjadi bukan karena tidak tersedianya bahan makanan, tetapi karena masyarakat tidak memiliki kebebasan dalam memperoleh akses itu”. Akibatnya, masyarakat kemudian terjebak pada "ketidakberuntungan ganda" (coupling disadvantage) antara kemiskinan dan hilangnya hak-hak sosial, politik dan ekonomi mereka.

Kebebasan memperoleh akses pada terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat sebenarnya juga bisa terwujud melalui kerangka demokrasi yang sehat. Sebab, hanya dengan demokrasi yang sehat yang bisa membuka akuntabilitas bagi pelaksanaan sebuah pembangunan. Demokrasi saat ini hanya sampai pada tataran prosedural, belum menyentuh substansi demokrasi.

Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural adalah sebuah kemiskinan yang hadir dan muncul bukan karena takdir, bukan karena kemalasan, atau bukan karena karena keturunannya miskin. Namun kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang muncul dari suatu usaha pemiskinan. Pemiskinan yang dilakukan oleh sebuah sistem Negara. Para pakar strukturalis menyatakan bawah kemiskinan ini timbul karena adanya hegemoni dan karena adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa.

Harus diakui bahwa siapa pun tak ada yang menghendaki dirinya bodoh, terbelakang dan miskin. Setiap manusia berharap bisa hidup berkecukupan. Namun, dalam realitas harapan tersebut terkubur dan kandas oleh kondisi yang sulit.

Secara sosiologis, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan ditentukan oleh tiga faktor; yakni kesadaran manusia, struktur yang menindas, dan fungsi struktur yang tidak berjalan semestinya. Dalam konteks kesadaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan biasanya merujuk pada kesadaran fatalistik dan menyerah pada "takdir". Suatu kondisi diyakini sebagai pemberian Tuhan yang harus diterima, dan perubahan atas nasib yang dialaminya hanya mungkin dilakukan oleh Tuhan. Tak ada usaha manusia yang bisa mengubah nasib seseorang, jika Tuhan tak berkehendak. Kesadaran fatalistik bersifat pasif dan pasrah serta mengabaikan kerja keras.

Faktor penyebab lain yang menyebabkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan karena otoritas struktural yang dominan. Kemiskinan, misalnya, bisa disebabkan oleh ulah segelintir orang di struktur pemerintahan yang berlaku tidak adil atau tidak mahir dalam mengelola amanah sebagai pemimpin. Kemiskinan yang diakibatkan oleh problem struktural disebut "kemiskinan struktural". Yaitu kemiskinan yang sengaja diciptakan oleh kelompok struktural untuk tujuan-tujuan politik tertentu.

Persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan juga disebabkan karena tidak berfungsinya sistem yang ada. Sebab orang-orang yang berada dalam sistem tidak memiliki kemampuan sesuai dengan posisinya. Akibatnya sistem berjalan tersendat-sendat, bahkan kacau. Kesalahan menempatkan orang tidak sesuai dengan kompetensinya (one man in the wrong place).

Pada umumnya kemiskinan yang menimpa masyarakat disebabkan oleh kekeliruan sistem, dalam hal ini peranan penguasa negara. Selama ini, kebijakan ekonomi pemerintah bertumpu pada pertumbuhan ekonomi bukan pada distribusi ekonomi. Sehingga meskipun berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah gagal mengurangi kesenjangan apalagi menciptakan distribusi ekonomi yang adil.

Selasa, 01 Februari 2011

Sektor Pendidikan di Kabupaten Banyuwangi Tidak Pro-Rakyat Miskin

Ditulis oleh Wuna H. Kusuma

Selama 100 hari pemerintahan Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko sulit rasanya menemukan perkembangan positif dalam sektor pendidikan di Kabupaten Banyuwangi. Masih banyak fasilitas pendidikan yang tidak memadai dan biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk bisa mendapatkan pendidikan layak kerap tidak rasional.

Keberpihakan terhadap sektor ini dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) baru sebatas penganggaran. Masih segar dalam ingatan, sejumlah orangtua murid sekolah dasar negeri (SDN) dan sekolah menengah pertama negeri (SMPN) mengeluhkan berbagai pungutan sebelum dan setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) ditetapkan komite sekolah.

Beragam kebutuhan dijadikan alasan untuk mengenakan pungutan. Mulai dari pembelian seragam, buku, sumbangan perbaikan gedung, penambahan sarana, fasilitas sekolah, studi banding, hingga ke pos yang tak ada kaitan dengan pendidikan. Berbagai pungutan ini kerap terjadi di SDN dan SMPN berstatus percontohan—belakangan berubah menjadi sekolah standar nasional (SSN) dan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI).

Pungutan berdalih dana sukarela orangtua sebagai donatur tetap sekolah untuk melengkapi fasilitas pendukung pembelajaran anak di sekolah. Besaran pungutan uang pembangunan mulai dari Rp 500.000 hingga Rp 10 juta per siswa baru. Pungutan lainnya ditentukan tiap komite sekolah dan kepala sekolah.

Sesungguhnya, pungutan tak resmi atas kesepakatan komite sekolah dan kepala sekolah itu memberatkan orangtua murid. Survei Solidaritas Masyarakat Anti Korupsi (SOMASI) pada Desember 2010-Januari 2011 yang melibatkan responden orangtua murid menunjukkan sebagian besar orangtua murid tidak tahu mengenai komite sekolah. Sebanyak 67,9 persen mengaku tidak dilibatkan sama sekali dalam pemilihan komite sekolah. Sisanya, sebanyak 32,1 persen orangtua menyatakan terlibat dalam pembentukan komite sekolah.

Komite sekolah ternyata diisi orangtua yang ditunjuk langsung oleh kepala sekolah dan bukan perwakilan orangtua siswa baru. Wajar jika kepala sekolah bisa mengatur komite sekolah dalam menyusun APBS. ”Peluang korupsi sekolah cenderung meningkat seiring dengan semakin rendahnya tingkat partisipasi orangtua dalam menyusun APBS,” kata peneliti SOMASI, Fenti Nurrahmawati.

Namun, kepala sekolah dan komite sekolah memiliki pandangan dan argumentasi soal itu. Mereka beralasan, pungutan dilakukan karena anggaran pendidikan dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat sangat kecil. Anggaran itu tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan.

Namun, apa pun alasannya tetap saja orangtua murid keberatan dan mempertanyakan dasar alasan pungutan tersebut. Gugatan ini muncul karena tidak ada satu pun aturan yang membolehkan  adanya pungutan.

Selain pungutan, wajah pendidikan juga tercoreng dengan buruknya fasilitas dan layanan. Survei SOMASI menyatakan, ruangan perpustakaan, laboratorium, buku pelajaran pokok yang dipinjamkan secara gratis minim tersedia. Kalaupun ada, buku pelajaran gratis yang dipinjamkan dalam kondisi buruk.

Survei lalu menunjukkan, sebagian besar atau 56 persen sarana dan prasarana pendidikan di SDN dan 62 persen di SMPN tidak lengkap dan dalam kondisi rusak. Memprihatinkannya lagi, relokasi SMPN 4 Banyuwangi belum terealisasi padahal tanah sudah disiapkan di depan Lapas Banyuwangi. Selain itu sisa anggaran APBD 2010 sebesar 165 milyar sebagian besar berasal dari pos anggaran di Dinas Pendidikan.

Kini waktu sudah berlalu. pemerintahan Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko sudah 100 hari, tetapi wajah pendidikan tetap penuh dengan persoalan. Pungutan tetap marak, kondisi gedung sekolah banyak yang masih memprihatinkan, fasilitas perpustakaan minim buku, dan pengembangan kompetensi guru masih jauh dari harapan. Janji mengembalikan keberadaan UPTD juga tak kunjung diwujudkan.

Senin, 31 Januari 2011

Gelora Perlawanan Rakyat di 100 Hari Pemerintahan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko

Ditulis oleh Sutikno, Ketua SAKERA (Satu Kedaulatan Rakyat) 

Kabupaten Banyuwangi sebagai wilayah yang berada di ujung timur Pulau Jawa secara umun mempunyai potensi alam yang cukup besar. Mulai dari lahan pertanian, perkebunan, pertambangan dan wilayah pantai yang membentang luas. Artinya daerah ini memiliki banyak potensi untuk kesejahteraan penduduknya.

Ditengah banyaknya potensi alam, jumlah penduduk miskin di Banyuwangi menurut data BPS tahun 2007 sebesar 157.347 KK atau sekitar 460.000 jiwa yang tersebar di 24 kecamatan dengan rincian; hampir miskin 64.649 KK, miskin 65.451 KK dan sangat miskin 27.247 KK. Jika dihitung kasar, angka kemiskinan di Banyuwangi relatif tinggi sebesar 28,75% dari total keseluruhan jumlah penduduk Banyuwangi 1,6 juta jiwa.

Lemahnya sumber daya manusia (SDM) semakin memperparah kemiskinan. Minimnya lulusan pendidikan formal juga memicu banyaknya angka kemiskinan. Data tahun 2006, penduduk Banyuwangi kebayakan hanya tamatan SD/MI yang mencapai 33,93%, tamatan SMP/MTS/sederajat 17,09%, tamatan SMA 9,37%, tamatan SMK 5,15% dan tamatan Perguruan Tinggi hanya 1,56%, sisanya banyak yang tidak tamat atau tidak pernah mengenyam pendidikan formal.

Jumlah pengangguran juga masih tinggi sebesar 9,93%  atau sekitar 34.000 jiwa, disebabkan karena penyerapan kerja yang yang masih relatif kecil dimana jumlah pegawai di instansi formal hanya sebesar 185.000 jiwa dan sisanya bekerja di sektor informal, bekerja kasar dan menjadi TKW. Jumlah pengangguran juga masih tinggi sebesar 9,93%  atau sekitar 34.000 jiwa, disebabkan karena penyerapan kerja yang yang masih relatif kecil dimana jumlah pegawai di instansi formal hanya sebesar 185.000 jiwa dan sisanya bekerja di sektor informal, bekerja kasar dan menjadi TKW.  

Fakta kemiskinan di tengah kekayaan sumber daya alam tersebut tampak cukup memperkuat kesimpulan Helmi Rosyadi, Ketua Umum Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin bahwa fenomena kemiskinan di Kabupaten Banyuwangi tergolong kemiskinan struktural. Penyebabnya antara lain; (1) rendahnya tingkat pendidikan dan derajat kesehatan; (2) terbatasnya lapangan kerja, kalah dalam persaingan dalam kegiatan ekonomi; (3) terbatasnya kapasitas prasarana; dan (4) terbatasnya dukungan sistem dan kelembagaan sosial, ekonomi, dan politik. Salah satu akar persoalan dari semua penyebab kemiskinan struktural tersebut paling tidak dikarenakan politik investasi yang berorientasi obral sumber daya alam dengan pendekatan kebijakan pro-modal.

Orientasi politik investasi ini pada akhirnya mengakibatkan ketimpangan distribusi lahan. Bagi sebuah wilayah agraris yang mengandalkan basis produksi pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai penggerak ekonomi daerah, kecenderungan itu pada akhirnya menggeser posisi petani sebagai aktor ekonomi pedesaan yang utama. Hampir sebagian besar proyek pengembangan pembangunan pertanian dan perkebunan tidak lagi berbasis rumah tangga petani, tetapi pemilik modal.

Selain itu, ekspansi pemilik modal juga kian memicu banyaknya konversi hutan dan lahan pertanian rakyat – baik berdasarkan mekanisme pasar maupun tekanan kebijakan – menjadi areal pertambangan dan perkebunan besar. Konsekuensinya, banyak rumah tangga tani kemudian kehilangan lahan pertanian. Proletarisasi pun terniscayakan, dan sebagian petani telah menjadi buruh tani atau buruh perkebunan. Hal itu menunjukkan kekuatan ekonomi politik kaum tani kian terpinggirkan.

Kondisi ini diperparah oleh praktek korupsi yang tak kunjung reda, bahkan menunjukkan peningkatan. Jika dipetakan, pelaku korupsi yang terendus dalam lima tahun terakhir didominasi pejabat pemerintahan. Kecenderungan tersebut, secara langsung atau tidak, berdampak pada berkurangnya alokasi anggaran untuk program-program jaminan dan layanan sosial dasar, khususnya pendidikan dan kesehatan ataupun program-program pembangunan infrastruktur ekonomi masyarakat miskin, terutama di pedesaan. Akibatnya, capaian pembangunan dan kesejahteraan masyarakat miskin tak kunjung meningkat.

Menjelang dan setelah Pemilu legislatif maupun Pemilukada, orientasi politik investasi dan praktek korupsi cenderung berlanjut. Sebab, konfigurasi kekuatan politik dan elite-elite pengambil kebijakan belum banyak berubah. Pertama, di DPRD Banyuwangi, hasil Pileg 2009 masih menempatkan partai-partai lama menjadi kekuatan dominan, dan diisi elite-elite yang komitmen kerakyatannya dinilai rendah. Hal ini paling tidak tercermin dalam APBD tahun 2011. Dimana alokasi dana untuk kelompok masyarakat (Pokmas) diganti untuk jaring aspirasi masyarakat (Jasmas) dimana setiap anggota DPRD Banyuwangi yang berjumlah 50 orang mendapat dana mencapai Rp.300 juta.

Kedua, dalam 100 hari Pemerintahan Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi masa periode 2010-2015, Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko lebih mengutamakan pengembangan investasi daripada mewujudkan janji-janjinya semasa kampanye untuk sembako lebih terjangkau dan lapangan kerja lebih luas. Janji memberikan bantuan modal untuk pengusaha mikro nyatanya sampai 100 hari pemerintahannya juga tak kunjung diwujudkan.

Pemerintahan yang baru di Kabupaten Banyuwangi seyogyanya bisa memberikan harapan baru bagi perubahan konstruksi ekonomi politik yang menguntungkan masyarakat miskin. Namun dari konstelasi politik yang berkembang, tampaknya optimisme tinggi tidak patut ditumbuhkan. Kebijakan politik investasi yang eksploitatif dan menindas rakyat kecil serta konstruksi sosial politik yang manipulatif dan feodalis memunculkan riak-riak perlawanan rakyat antara lain perjuangan buruh PT. Maya - Muncar menuntut hak-hak normatifnya, Perjuangan para PKL dan pedagang pasar menentang penggusuran dan demontrasi yang dilakukan oleh GmnI, PMII, dan Aliansi Rakyat Miskin (ARM) mengkritisi 100 hari Pemerintah Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko. Riak-riak itu, boleh dibilang, respons langsung terhadap perkembangan dinamika ekonomi , sosial politik. Tidak mustahil riak-riak tersebut menjadi gelombang besar yang mampu menggulingkan pemerintahan.

Minggu, 30 Januari 2011

Turunkan Harga Sembako Sekarang!

Ditulis oleh Ndaru Prasetyananta

Rakyat di Kabupaten Banyuwangi (terutama rakyat miskin) saat ini dipusingkan oleh melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, misalnya beras, cabe, ikan laut, telur, ayam, dan lain sebagainya. Dalam sekejap, kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok seperti “balapan”; harga cabai telah naik melebihi 100%, disusul harga ikan laut dan daging antara 50 hingga 60 persen, dan harga beras yang juga bergerak naik secara konstan.

Diperhadapkan dengan kenaikan harga-harga itu, Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas hanya sanggup mengatakan bahwa janji "sembako lebih terjangkau"  bukan program 100 hari dan menganjurkan masyarakat untuk “mengencangkan ikat pinggang”, dan menyatakan bahwa faktor-faktor kenaikan tersebut berada di luar kendali pemerintah. Menurut-nya, penyebab kenaikan ini meliputi tiga hal utama; cuaca (perubahan iklim), spekulan, dan menipisnya persediaan (stock).

Itulah hobby pemerintah kita - melempar kesalahan pada faktor alam. Padahal persoalan iklim sebetulnya tidak akan masalah, jika seandainya pemerintahan Anas-Yusuf bisa menghitung kebutuhan rakyat untuk beberapa bulan dan melakukan penyimpanan (stock) berdasarkan kebutuhan tersebut. Disini, karena peran pemerintah telah menghilang, maka para “spekulan-lah” yang melakukan penyimpanan.

Selain itu, doktrin neoliberal telah memaksa pemerintah untuk tidak melakukan intervensi terhadap pasar, padahal pemerintahan Anas-Yusuf dapat melakukannya demi untuk melindungi dan mengamankan kepentingan rakyatnya.

Lebih jauh lagi, pemerintahan Anas-Yusuf pun patut dipersalahkan atas merosotnya daya beli rakyat secara umum, terutama kalangan rakyat miskin. Selama ini, pemerintahan Anas-Yusuf sangat puas untuk menjadikan “upah murah” sebagai unsur penarik investasi asing. Pemerintah Anas-Yusuf juga bertanggung jawab terhadap hancurnya usaha mikro, kecil dan menengah akibat liberalisasi ekonomi.

Selanjutnya, saat harga produk pertanian melonjak naik di pasaran, kenyataan menunjukkan bahwa para petani tidak mendapat keuntungan sedikitpun. Kenaikan harga beras tidak memperbaiki nilai tukar petani (NTP). Demikian pula dengan jenis komoditi lain. Apa yang perlu ditegaskan di sini adalah, bahwa pertanian kita sudah sedemikian terpuruknya sehingga pemerintah selalu gagal mewujudkan kedaulatan pangan. Kita sangat berkeyakinan, bahwa tanpa mewujudkan kedaulatan pangan, maka kebutuhan “perut” rakyat akan selalu tidak terpenuhi dengan baik.

Dari penjelasan di atas, kita segera mengetahui, bahwa kenaikan harga akhir-akhir ini sangat bersinggungan dengan kebijakan ekonomi-politik pemerintahan Anas-Yusuf. Sebagian besar persoalan di atas muncul akibat menyusutnya peran pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Padahal, dalam aspek-aspek tertentu, pemerintahan Anas-Yusuf harus menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi pasar agar tidak meninggalkan kesenjangan dan kesengsaraan rakyat banyak.

Pemerintahan Anas-Yusuf harus bergerak cepat untuk menurunkan harga sembako. Dalam tahap pertama, pemerintahan Anas-Yusuf harus segera memberikan perlindungan terhadap sektor-sektor ekonomi rakyat, termasuk membatasi berdirinya pasar modern seperti Indomart, Alfamart serta menghentikan penggusuran terhadap PKL dan pedagang pasar tradisional. Tidak bisa dipungkiri, terutama untuk Kabupaten Banyuwangi yang sebagian besar penduduknya miskin, mekanisme pemberian subsidi sangat berguna untuk menstimulasi daya beli dan usaha ekonomi rakyat.

Untuk menjamin kebutuhan pokok rakyat, pemerintahan Anas-Yusuf bisa mengikuti contoh mulia dari Presiden Hugo Chavez di Venezuela, dimana melalui program “mission mercal’ telah mendirikan supermarket mini di seluruh negeri yang berfungsi memastikan ketersediaan pangan murah untuk seluruh rakyat maupun Anggaran Partisipatif (Participatory Budget atau Orcamento Participativo) yang diterapkan di Porto Allerge, Brazil oleh Partido dos Trabalhadores pimpinan Presiden Lula Da Silva.