Kamis, 03 Maret 2011

Memanfaatkan RT/RW Untuk Transfer Kekuasaan Ke Tangan Rakyat

Ditulis oleh Ndaru Prasetyananta, Ketua III DPK-ARM Kab. Banyuwangi

Selama ini, keberadaan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) hanya sebagai alat penguasa menundukkan rakyat, terutama diakar rumput (grassroot). Pengumuman-pengumuman yang sering kita jumpai, diantaranya berbunyi “setiap tamu wajib lapor 1x 24 jam”, dalam hal ini melapor pada RT/RW, hanya sebagai alat kekuasaan untuk menciptakan ketertiban dan stabilitas. Hal ini seharusnya ditanggalkan ketika Orde Baru runtuh, hanya saja terus dipertahankan; karena berguna pada bentuk kekuasaan manapun yang menghendaki stabilitas.

System kerukunan warga merupakan system kelembagaan non-politik, yang sudah muncul di Indonesia sejak jaman feudal. Dilihat secara administratif, suatu desa di Jawa biasanya disebut kelurahan dan dikepalai oleh seorang lurah. Lurah dibantu oleh carik, jagabaya, jagatirto, bayan, dan modin. Kemudian, desa itu masih dibagi atas dusun-dusun yang dikepalai oleh kepala dusun. Tidak cukup sampai disini, setelah dusun dibagi lagi atas Rukun warga. Dan Rukun Warga ini terdiri atas Rukun Tetangga. Ketika Kolonialisme masuk, sistem administratif ini turut mengalami perombakan. Mereka beralih fungsi sesuai dengan kebutuhan.

Pada Masa Orde baru, sistem kekuasaan yang sentralistik dan otoritarian, menghendaki kepatuhan dari segenap warga negara, segenap komponen politik, dan aliran-aliran politik/ideologis/keagamaan. Kepatuhan tersebut, selain dimaksudkan untuk memastikan kepatuhan rakyat pada bapak (konsep Jawa), juga bermakna pencegahan terhadap kekuatan politik, aliran apapun, yang berpotensi menentang pemerintah. Konsep RT/RW pada jaman Orde Baru dimodifikasi menganut konsep Tonarigumi yang dikembangkan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam konsep fasisme Jepang, sistem ini digunakan sebagai bentuk mobilisasi dan kontrol atas penduduk dengan cara membagi wilayah kependudukan berdasarkan RT dan RW. Dalam Tonarigumi, fungsi keamanan menjadi penting karena dasar pembentukannya memang untuk meningkatkan kontrol pemerintah Jepang terhadap rakyat Indonesia pada era penjajahan tahun 1940-an. sistem RT/RW memiliki koneksi dengan badan intelijen ditingkatan kampung/dusun, yakni Babinsa/Koramil/Kodim.

Tahun 1998, Orde Baru runtuh. Ada reformasi terhadap TNI dan peran dwi-fungsinya, termasuk peran intelijen mereka. Meski tidak serefresif jaman Orba, keberadaan RT/RW masih terus dipakai untuk mengendalikan ketertiban, agar tak mengancam stabilitas. RT/RW dimata penguasa sekarang, dipandang efektif sebagai ”penjaga keamanan”, mata-mata penguasa, sekaligus garda depan dalam sosialisasi kebijakan pemerintah. Hanya saja tidak persis sama dengan jaman orba, di jaman ini, afiliasi politik RT/RW juga lebar dan tidak homogen. Hal itu menjadikan RT/RW tidak melulu jadi alat kekuasaan.

Demokrasi Partisipatif dan Transfer Kekuasaan

Para pemikir Marxis berkali-kali menyatakan keterkaitan pencapaian sosialisme dengan demokrasi. Demokrasi dan sosialisme tak dapat dipisahkan. Bagi Rosa Luxemburg, demokrasi merupakan batu alas berdirinya sosialisme, demikian sebaliknya. Komitmen Rosa ini dituangkannya, dalam salah satu ungkapannya yang paling terkenal, “tidak ada sosialisme tanpa demokrasi; tidak ada demokrasi tanpa sosialisme.” Lenin berpandangan lebih jauh dan memperkuat posisi Luxemburg. Lenin menganggap Demokrasi sebagai prasyarat politik bagi kebangkitan kekuatan pekerja dan sekaligus merupakan senjata untuk memenangkan kekuasaan politik lebih luas bagi proletar. Setidaknya, Amartya Sen sudah merumuskan, bahwa kemiskinan terkait erat dengan ketidakadaan demokrasi; rejim otoriter memiliki potensi lebih besar menghadirkan kemiskinan, ketimbang rejim demokratik.

Setiap perjuangan klas haruslah perjuangan politik, dan perjuangan politik haruslah bermuara pada perebutan kekuasaan politik, demikian inti dasar Marxisme. Proses pengakumulasian kekuatan untuk perebutan kekuasaan memiliki banyak metode, bisa melalui perang bersenjata, insureksi, parlementer, dan lain-lain, yang intinya adalah politik klas yang melahirkan pemerintahan revolusioner kaum buruh dan kaum Tani.

Di Amerika latin, yang tidak saja terkenal dengan permainan bolanya, tarian-tariannya, atau gadis-gadisnya (becanda), juga merupakan laboratorium dan perpustakaan yang kaya dengan pengalaman perjuangan, dan begitu berharga bagi kaum kiri di berbagai belahan dunia. Ada pengalaman Partai Buruh di Brazil dan Broad Front (Frente Amplio) di Uruguay, yang memenangkan kekuasan dengan cara “memanjat” kekuasaan dari tingkat lokal, ke level provinsi, dan akhirnya level nasional. ketika PT memanjat kekuasaannya, tangga yang digunakannya adalah sukses penerapan model Anggaran Partisipatif (AP). Model ini untuk pertama kalinya, diterapkan di kotamadya Porto Alegre, pada 1989. Sukses Porto Alegre, kemudian ditiru oleh kota-kota lain yang dikuasai oleh PT dan aliansinya. Tak lama setelahnya, PT memanjat ke kekuasaan yang lebih tinggi dengan merebut kekuasaan di propinsi Rio Grande do Sul.

Pada tahun 1988, PT memenangkan pemilu walikota di Porto Alegre, Medianeira Horizonte, dan BelĂ©m, tiga daerah kotamadya yang berpenduduk di atas satu jiwa. Kemenangan ini segera dimanfaatkan oleh PT untuk berbuat praktis; memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi rakyat, yang sifatnya sangat mendesak. Argenis Lorito, seorang Gubernur Bolivarian, mengeluarkan pendapat menarik soal ini; “Jika kamu mau menyerukan Sosialisme, maka, yang pertama kali harus dilakukan adalah memenuhi kebutuhan mendesak rakyat, seperti air bersih untuk rumah mereka, akses kesehatan, pendidikan, kemudahan mendapatkan perumahan, dan bahan pokok.

PT mengombinasikan antara demokrasi langsung dengan demokrasi perwakilan. Harus dikawinkan, karena demokrasi perwakilan tetap dipandang penting tapi, tidak memadai dalam proses pendalaman demokrasi guna meningkatkan dan mengelola pencapaian terbesar umat manusia;

Di Venezuela, Revolusi melahirkan proses transfer kekuasaan kepada rakyat, terutama lewat dewan-dewan komunal. Dewan komunal lebih luas dari lingkaran Bolivarian, mereka yang bukan pendukung pemerintah boleh terlibat didalamnya, tetapi prinsipnya adalah solidaritas; bekerja untuk komunitas, dan mencari penyelesaian terhadap persoalan bersama. Dewan komunitas, merupakan majelis yang melibatkan 200 sampai 400 keluarga di pemukiman kota, 20 keluarga setiap desa, dan 10 keluarga masyarakat adat. Dari situ, akan ditunjuk eksekutif, manajemen finansial/dewan anggaran, dan komite monitorin. Hal yang sangat penting lainnya adalah, Dewan Komunitas berkesempatan memilih pemimpin yang baru. Pemimpin ini harus dipilih dalam majelis umum di mana siapapun dapat diusulkan. Para jurubicara bukanlah majelis, mereka bukanlah organisasi. Majelis harus terlebih dulu mensahkan usulan-usulan, baik dari komite untuk perumahan atau komite kesehatan. Jika seseorang yang menjadi jurubicara tidak disetujui oleh majelis, maka Dewan Komunal tidak akan jalan.

Dewan komunal akan menyelesaikan persoalan-persoalan yang merupakan problem komunitas, yang sifatnya urgent, seperti persoalan pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan, keamanan, rekreasi, dll). Support dana/anggaran sepenuhnya dari pemerintah dan donor-donor yang tidak mengikat.

Dewan komunal memiliki perspektif politik, berbeda dengan Budget Partisipatif, mereka mengajarkan kerjasama dan pengorganisan pemecahan masalah, yang bertentangan dengan logika neoliberal.

Bagaimana Mentransformasikan RT/RW di Indonesia

Di jaman sekarang, kedudukan dan afialisi politik RT/RW cukup luas dan tidak homogen. Hal itu dimungkinkan karena adanya keterbukaan politik, yang memaksa mereka memilih partai yang tidak harus sama dengan partai yang dianut oleh pemerintahan berkuasa. Berbeda dengan hirarki politik yang diatas, dimonopoli oleh kaum oligharkis dan pemilik modal, jabatan RT/RW justru melalui mekanisme demokratik. Kedudukan mereka sangat kuat, karena memiliki dukungan langsung dari barisan pemilih dibelakangnya, dan merupakan mandat langsung.

Perubahan situasi politik melahirkan gairah berdemokrasi di tingkatan massa. Gairah berdemokrasi ini, justru besar dan kuat ditingkatan bawah—---pemilihan RT/RW/kades, sangat berbeda dengan ditingkatan atas—parlemen/presiden, yang memperlihakan kelesuan dan ketidakpercayaan. Masyarakat begitu antusias memilih RT/RT/kades ketimbang pemilihan pilkada, legislatif dan presiden. Dengan sendirinya, gejolak demokrasi dibawah menaruh legitimasi yang begitu kuat, dalam hal kekuasaan dan kewenangan.

Dengan demikian, RT/RW, dewan kelurahan,dll) akan dapat diubah, dengan memanfaatkan situasi sekarang, untuk kepentingan-kepentingan gerakan yang sifatnya taktik (pengorganisiran dan pengorganisasian) ataupun strategis (perebutan kekuasaan). Neoliberalisme yang begitu gencar, menghilangkan peran negara dalam menciptakan kemakmuran, dan menghilangkan tanggung jawab sosial negara terhadap rakyat miskin. Kapitalisme di masa sekarang, memang telah berhasil mengurangi peran negara, lebih dari itu, menginplementasikan ”kehidupan indiviualis” yang sangat merusak, terutama bagi kalangan menengah dan lapisan bawah.

Itu harus dipotong. Cengkraman neoliberal dapat didesak dan diganggu pada level-level itu, sembari tidak meninggalkan pertarungan penting dipusat kekuasaan. Terkadang kita menganggap, ini tak lebih taktik mengorganisir dan mengorganisasikan massa dan memberikan mereka pelajaran-pelajaran akan arti perjuangan yang berbuah pada kemenangan kecil. Tapi, metode-metode semacam ini sangat terbukti memiliki jangkauan yang luas dan keuntungan politik yang dapat dipanen partai politik kiri.

Setidaknya, ada beberapa hal yang membuat hal ini menjadi mungkin, diantaranya; pertama, proses pemilihan RT/RW berbasiskan dukungan lansung dan demokratik; terbuka kepada siapapun untuk bertarung dan memenangkannya, serta memiliki legitimasi politik lebih kuat. Kedua, banyak program pemerintah, terutama yang berbau penanggulangan kemiskinan, menjadi kandas ditengah jalan; karena diselewengkan oleh birokrat-birokrat ditingkatan kotamadya, kecamatan, kelurahan, hingga RT/RW. Ketiga, Rakyat merasakan besarnya beban ekonomi yang ditimpukkan oleh neoliberal dan hilangnya tanggung jawab negara, terutama pada pelayanan sosial untuk publik. Kemenangan-kemenangan kecil yang bersinggungan dengan kebutuhan sosial dan ekonomi mereka, akan memberi dampak politis yang lebih luas; keempat, dalam derajat tertentu, pemerintah akan susah menghambat proses itu, karena memiliki akar yang kuat dan potensi mobilisasi politik yang luas, serta celah politik yang konstitusional; karena tuntutan kita berbasiskan konstitusi dan program pemerintah sendiri.

Untuk itu, perjuangan merebut dan mentransformasikan RT/RW/dll, dapat dilakukan dengan cara-cara berikut; pertama, mulai menganggap penting mendudukkan kader kita atau anggota termaju dari basis kita, dari berbagai teritorial, dalam jabatan-jabatan tersebut. Merebut kepemimpinan RT/RW harus menjadi agenda penting, terutama yang berbasikan miskin kota. Agenda perebutan kekuasaan RT/RW akan berbarengan dengan perjuangan kader-kader kita menduduki posisi-posisi di pemerintahan kotamadya/kabupaten, seperti legislatif, walikota, lurah, camat, dan lain-lain. Kedua, mulai mengorganisasikan RT-RW yang ada (tinggal dihitung), berdasarkan basis teritorialnya, semacam komite-komite atau dewan-dewan yang berbasiskan rumah tangga. RT/RW akan dialihfungsikan semacam perwakilan dari majelis-majelis tadi. Dibuatkan pertemuan-pertemuan reguler yang menghadirkan seluruh warga dan mendiskusikan kebutuahan2 yang mendesak. Rekomendasi dari pertemua itu akan menjadi proposal, dan diserahkan kepada pemerintah lokal. Ketiga, watak dan fungsi RT/RW akan diubah, sehingga menyerupai wakil komunitas, yang akan menyampaikan proposal-proposal kita (persoalan warga; pendidikan, kesehatan, jalan, rumah ibadah, keamanan, administrasi, dll). Keempat, memperjuangkan dibentuknya semacam dewan anggaran (perwakilan pemerintah dan warga) di tingkatan kota/kab, atau bisa pula mendirikan Bank Umum yang berfungsi menyalurkan dana pada para pengaju proposal. Hal ini, akan memotong tangan birokrasi dan memperkecil korupsi.

Hal ini akan mendapat tantangan dan perlawanan. Penentangan paling utama akan dari penguasa lokal dan aparatus keamanan, yang tidak menghendaki hal tersebut. Tindakan semacam itu, merupakan hukum alam yang senantiasa menghambat kemajuan yang sifatnya revolusioner. Akan tetapi, hal semacam itu tak dapat dibiarkan, dan harus ditemukan jalan keluarnya. Kita dapat mengatasinya dengan membangun koordinasi bersama jajaran pemerintahan diatasnya. Proposal yang diajukan, harus realistis (tidak bertele-tele dan mengada-ngada), dan berkaitan dengan program pemerintah yang sudah ada atau sudah diatur oleh konstitusi.

PNPM-Mandiri, misalnya, yang berisikan program penganggulangan kemiskinan yang tersebar dibanyak sub-kementerian, dapat dijadikan pijakan dalam pengajuan proposal warga. Program ini harus diambil alih dari tangan birokrat, dan sepenuhnya dikelola dan jalankan oleh warga. Belum lagi, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), Raskin, BOS, Jamkesmas dan BLT, dapat dimanfaatkan oleh warga dengan berbasiskan kepada kerukunan warga dan kerukunan tetangga tadi. Program yang berserakan tadi, seharusnya menjadi program yang berjalan dan dikelola sendiri oleh masyarakat, sepanjang ada pewadahan terhadap komunitas yang legitimate.

Di Kelurahan Tukang Kayu dan Pengajuran, Kecamatan Banyuwang, warga dapat mengkritisi pengelolaan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan. Beberapa NGO berusaha menerapkan model-model pengelolaan anggaran berbasis komunitas, dan ada yang cukup berhasil. Hanya saja, karena ditangan NGO, sehingga mereka tidak berupaya memperluasnya dan cenderung terlokalisir.

Akan tetapi, ukuran-ukuran perjuangan ini tak dapat disetarakan dengan keberhasilan dewan komunal di venezuela. Kesuksesan perjuangan semacam ini, begitu tergantung dari pos anggaran publik pemerintah. Daerah/kotamadya yang relatif lebih kaya dan punya anggaran besar, tentu lebih mudah dalam menjalankan proyek semacam ini, meskipun ini bukan hukum baku.

Dana KUR, yang bernilai 300 ribu-5 juta, dapat dikelolah untuk kepentingan warga. Modelnya tidak boleh individu, tetapi berkelompok (dananya dikumpulkan), dan dikelola menjadi semacam unit usaha bersama; warung, toko sembako, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar