Senin, 31 Januari 2011

Gelora Perlawanan Rakyat di 100 Hari Pemerintahan Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko

Ditulis oleh Sutikno, Ketua SAKERA (Satu Kedaulatan Rakyat) 

Kabupaten Banyuwangi sebagai wilayah yang berada di ujung timur Pulau Jawa secara umun mempunyai potensi alam yang cukup besar. Mulai dari lahan pertanian, perkebunan, pertambangan dan wilayah pantai yang membentang luas. Artinya daerah ini memiliki banyak potensi untuk kesejahteraan penduduknya.

Ditengah banyaknya potensi alam, jumlah penduduk miskin di Banyuwangi menurut data BPS tahun 2007 sebesar 157.347 KK atau sekitar 460.000 jiwa yang tersebar di 24 kecamatan dengan rincian; hampir miskin 64.649 KK, miskin 65.451 KK dan sangat miskin 27.247 KK. Jika dihitung kasar, angka kemiskinan di Banyuwangi relatif tinggi sebesar 28,75% dari total keseluruhan jumlah penduduk Banyuwangi 1,6 juta jiwa.

Lemahnya sumber daya manusia (SDM) semakin memperparah kemiskinan. Minimnya lulusan pendidikan formal juga memicu banyaknya angka kemiskinan. Data tahun 2006, penduduk Banyuwangi kebayakan hanya tamatan SD/MI yang mencapai 33,93%, tamatan SMP/MTS/sederajat 17,09%, tamatan SMA 9,37%, tamatan SMK 5,15% dan tamatan Perguruan Tinggi hanya 1,56%, sisanya banyak yang tidak tamat atau tidak pernah mengenyam pendidikan formal.

Jumlah pengangguran juga masih tinggi sebesar 9,93%  atau sekitar 34.000 jiwa, disebabkan karena penyerapan kerja yang yang masih relatif kecil dimana jumlah pegawai di instansi formal hanya sebesar 185.000 jiwa dan sisanya bekerja di sektor informal, bekerja kasar dan menjadi TKW. Jumlah pengangguran juga masih tinggi sebesar 9,93%  atau sekitar 34.000 jiwa, disebabkan karena penyerapan kerja yang yang masih relatif kecil dimana jumlah pegawai di instansi formal hanya sebesar 185.000 jiwa dan sisanya bekerja di sektor informal, bekerja kasar dan menjadi TKW.  

Fakta kemiskinan di tengah kekayaan sumber daya alam tersebut tampak cukup memperkuat kesimpulan Helmi Rosyadi, Ketua Umum Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin bahwa fenomena kemiskinan di Kabupaten Banyuwangi tergolong kemiskinan struktural. Penyebabnya antara lain; (1) rendahnya tingkat pendidikan dan derajat kesehatan; (2) terbatasnya lapangan kerja, kalah dalam persaingan dalam kegiatan ekonomi; (3) terbatasnya kapasitas prasarana; dan (4) terbatasnya dukungan sistem dan kelembagaan sosial, ekonomi, dan politik. Salah satu akar persoalan dari semua penyebab kemiskinan struktural tersebut paling tidak dikarenakan politik investasi yang berorientasi obral sumber daya alam dengan pendekatan kebijakan pro-modal.

Orientasi politik investasi ini pada akhirnya mengakibatkan ketimpangan distribusi lahan. Bagi sebuah wilayah agraris yang mengandalkan basis produksi pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai penggerak ekonomi daerah, kecenderungan itu pada akhirnya menggeser posisi petani sebagai aktor ekonomi pedesaan yang utama. Hampir sebagian besar proyek pengembangan pembangunan pertanian dan perkebunan tidak lagi berbasis rumah tangga petani, tetapi pemilik modal.

Selain itu, ekspansi pemilik modal juga kian memicu banyaknya konversi hutan dan lahan pertanian rakyat – baik berdasarkan mekanisme pasar maupun tekanan kebijakan – menjadi areal pertambangan dan perkebunan besar. Konsekuensinya, banyak rumah tangga tani kemudian kehilangan lahan pertanian. Proletarisasi pun terniscayakan, dan sebagian petani telah menjadi buruh tani atau buruh perkebunan. Hal itu menunjukkan kekuatan ekonomi politik kaum tani kian terpinggirkan.

Kondisi ini diperparah oleh praktek korupsi yang tak kunjung reda, bahkan menunjukkan peningkatan. Jika dipetakan, pelaku korupsi yang terendus dalam lima tahun terakhir didominasi pejabat pemerintahan. Kecenderungan tersebut, secara langsung atau tidak, berdampak pada berkurangnya alokasi anggaran untuk program-program jaminan dan layanan sosial dasar, khususnya pendidikan dan kesehatan ataupun program-program pembangunan infrastruktur ekonomi masyarakat miskin, terutama di pedesaan. Akibatnya, capaian pembangunan dan kesejahteraan masyarakat miskin tak kunjung meningkat.

Menjelang dan setelah Pemilu legislatif maupun Pemilukada, orientasi politik investasi dan praktek korupsi cenderung berlanjut. Sebab, konfigurasi kekuatan politik dan elite-elite pengambil kebijakan belum banyak berubah. Pertama, di DPRD Banyuwangi, hasil Pileg 2009 masih menempatkan partai-partai lama menjadi kekuatan dominan, dan diisi elite-elite yang komitmen kerakyatannya dinilai rendah. Hal ini paling tidak tercermin dalam APBD tahun 2011. Dimana alokasi dana untuk kelompok masyarakat (Pokmas) diganti untuk jaring aspirasi masyarakat (Jasmas) dimana setiap anggota DPRD Banyuwangi yang berjumlah 50 orang mendapat dana mencapai Rp.300 juta.

Kedua, dalam 100 hari Pemerintahan Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi masa periode 2010-2015, Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko lebih mengutamakan pengembangan investasi daripada mewujudkan janji-janjinya semasa kampanye untuk sembako lebih terjangkau dan lapangan kerja lebih luas. Janji memberikan bantuan modal untuk pengusaha mikro nyatanya sampai 100 hari pemerintahannya juga tak kunjung diwujudkan.

Pemerintahan yang baru di Kabupaten Banyuwangi seyogyanya bisa memberikan harapan baru bagi perubahan konstruksi ekonomi politik yang menguntungkan masyarakat miskin. Namun dari konstelasi politik yang berkembang, tampaknya optimisme tinggi tidak patut ditumbuhkan. Kebijakan politik investasi yang eksploitatif dan menindas rakyat kecil serta konstruksi sosial politik yang manipulatif dan feodalis memunculkan riak-riak perlawanan rakyat antara lain perjuangan buruh PT. Maya - Muncar menuntut hak-hak normatifnya, Perjuangan para PKL dan pedagang pasar menentang penggusuran dan demontrasi yang dilakukan oleh GmnI, PMII, dan Aliansi Rakyat Miskin (ARM) mengkritisi 100 hari Pemerintah Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko. Riak-riak itu, boleh dibilang, respons langsung terhadap perkembangan dinamika ekonomi , sosial politik. Tidak mustahil riak-riak tersebut menjadi gelombang besar yang mampu menggulingkan pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar