Selasa, 28 Desember 2010

Catatan Akhir Tahun: Pemerintahan SBY-Boediono Gagal Sejahterakan Rakyat


Keruntuhan rezim otoritarian Orde Baru yang diharapkan menghasilkan perubahan politik yang mengakomodasi suara korban dan rakyat yang tertindas secara umum hingga saat ini masih merupakan harapan yang masih belum terwujudkan.Pergantian kepemimpinan politik pasca reformasi 1998 tampaknya selalu alpa pada suara-suara yang melahirkan reformasi itu sendiri. Penegakan keadilan yang sejatinya merupakan landasan utama reformasi tetap masih berupa slogan, janji kosong bahkan dijadikan sebagai komoditas politik belaka.

Dinamika politik nasional masih didominasi oleh partai-partai politik yang merupakan metamorfosa dari kekuatan politik dan ekonomi lama serta kalangan militer. Para aktor politik tersebut menunjukkan betapa “kentalnya” mereka mengusung kepentingan ekonomi politik mereka sendiri, yang semakin jauh dari kebutuhan dan tuntutan rakyat. Perdebatan yang diwacanakan oleh kelompok politik dominan ini seringkali sangat jauh dari idealisme dan berjangka panjang bagi kepentingan bangsa dan negara. Praktis keputusan politik yang dihasilkan lebih banyak mengakomodasi kepentingan ekonomi politik kedua kelompok dominan tersebut.

Pada akhirnya proses-proses politik di Indonesia yang titik kulminasinya terjadi pada saat pemilu baik itu legislatif maupun presiden serta berbagai ajang pilkada, telah menjadi mahal dan manipulatif. Sulit dibantah bahwa praktek politik transaksional telah menghancurkan moral rakyat. Lebih jauh lagi kemudian para pemilik dana yang menjadi sponsor mampu menyandera kebijakan politik dan akan melemahkan serta memandulkan institusi penegak hukum terutama untuk melindungi dan menutupi korupsi politik. Di titik inilah kemudian kepentingan ekonomi dan modal “asing” menemukan ladang yang subur untuk melakukan intervensi yang akan semakin dalam merampas kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia. Intervensi yang tidak saja mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah sehari-hari tetapi bahkan melakukan intervensi dalam pembuatan perundangan-undangan bahkan konstitusi.

Kebijakan dan proses politik yang ada sekarang ini lebih ditentukan kepentingan modal yang mengakibatkan akses terhadap sumber daya tidak lagi ditentukan oleh warga negara (rakyat), tetapi oleh daya beli. Hukum dan kebijakan publik yang ada menjelma semata sebagai akomodasi atas kompetisi individu berdasarkan daya beli dan mengabaikan kepentingan umum, yang sesungguhnya adalah cita-cita dari diadakannya proses politik yaitu terwujudnya masyarakat setara, adil dan berkelanjutan.

Nyaris Tuntasnya Reorganisasi Politik dan Ekonomi Neoliberal

Bila merunut perjalanan satu dekade reformasi sebenarnya rejim yang bekuasa telah menjalankan estafet penuntasan reorganisasi politik dan ekonomi untuk mengubah Indonesia dalam fundamentalisme pasar atau negara pasar bebas. Paling tidak rejim yang berkuasa yang sepanjang satu dekade reformasi ini telah mengulangi rekayasa ekonomi-politik naiknya Soeharto dan kelahiran Orde Baru. Bila kelahiran orde Baru diwarnai amandemen berbagai perundangan-undangan dibidang ekonomi, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan, UU Kehutanan, tepat dititik yang sama ini dilakukan pula oleh Orde Reformasi. Di antaranya di masa pemerintahan Megawati UU 18/2004 tentang Perkebunan dan UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air . Sedang di masa SBY-JK dilakukan amandemen UU 27/2007 Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Selain itu kita juga bisa beberkan ‘persetujuan’ elit-elit politik dominan di partai politik terkait kebijakan-kebijakan penghapusan subsidi, liberalisasi impor beras, komersialisasi pendidikan dan kesehatan hingga privatisasi BUMN. Di bidang perburuhan muncul UU Ketenagakerjaan yang melapangkan Labor Market Flexibility dalam bentuk buruh kontrak (outsourcing) yang semakin rentan atas jaminan keberlanjutan kerja, jaminan kesejahteraan dan kebebasan berorganisasi.

Untuk membangun negara pasar bebas ini, rezim SBY menyesuaikan kebijakan dengan keinginan para pengusaha. Penjualan aset-aset negara kepada pengusaha asing dan lokal, yang menyengsarakan rakyat Indonesia. Bahan bakar minyak (BBM), listrik, air minum, transportasi, telekomunikasi, yang sebenarnya menjadi kebutuhan hajat orang banyak, akhirnya dijual dan menghasilkan biaya-biaya yang sangat tinggi bagi rakyat Indonesia untuk mengaksesnya. Hal ini dikarenakan perusahaan-perusahaan publik, seperti Pertamina, Perusahaan Air Minum, perusahaan transportasi dan telekomunikasi telah menjadi perusahaan swasta dan dioperasikan dalam rangka mencari keuntungan.Sekarang, tatanan global-lah yang menjadi referensi dalam pengelolaan ekonomi agar kita mendapatkan manfaatnya.

Kesepakatan liberalisasi perdagangan dan investasi dalam pertemuan G-20, perjanjian perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN Free Trade Area, China Asean Free Trade Area telah melicinkan jalan ekspansi modal dalam menguasai alat-alat produksi nasional yang justru akan merugikan rakyat dan kepentingan nasional. Akibat kebijakan rezim SBY, maka penggusuran-penggusuran terjadi dimana-mana, rakyat Indonesia akhirnya tidak memiliki kepastian kerja karena sistem kerja kontrak dan outsourcing, biaya pendidikan dan kesehatan di Indonesia semakin menjulang tinggi, para petani dan nelayan harus terusir dari tanah dan lautnya, karena tidak mampu bersaing dengan para pengusaha yang memiliki teknologi dan modal besar.

Selama ini, reorganisasi politik-ekonomi dilapangan agraria atau sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang mengabdi kepada kepentingan modal dan neoliberalisme alih-alih dijalankannya reforma agraria sebagai landasan pembangunan nasional. Padahal sebagai negara agraris, sebagian besar penduduk Indonesia bergantung kepada sumber-sumber agraria, khusus tanah. Hal ini menunjukkan bahwa rezim SBY-Boediono tidak punya kepedulian terhadap nasib kaum tani, nelayan, buruh dan masyarakat adat yang bergantung terhadap tanah dan sumber-sumber agraria.

Kebijakan Rezim SBY ini telah mengakibatkan semakin prahnya berbagai persoalan struktural di Indonesia.diantaranya: 1) Rapuhnya struktur perekonomian bangsa dan tidak kokohnya bangunan industrialisasi; 2) Terjadinya ketimpangan struktur penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria yang sangat tajam. Hal ini pada gilirannya telah menciptakan kondisi ketidakadilan sosial dan kemiskinan dan pengangguran massal; 3) Maraknya konflik agraria yang disertai dengan pelanggaran hak asasi manusia; 4) Terbentuknya sistem hukum agraria yang tumpang tindih dan tidak berorientasi pada kepentingan rakyat; 5) hancurnya daya dukung alam atau ekologi yang yang menggejala dalam bencana ekologi yang mengiringanya akibat kebijakan ekonomi pasar bebas yang ekspansif dan ekspolitatif. Semua ini mengarah kepada proses collapse yang dapat diartikan penurunan drastis kualitas manusia dan kemampuan alam yang diakibatkan oleh interaksi antara manusia dan alam yang saling memangsa yang digunakan oleh penguasa dan pemodal untuk melanggengkan kekuasaannya baik secara ekonomi maupun politik (definisi dari studi Java Collapse).

Gejala kolaps itu juga terlihat terang di sektor industri di Indonesia yang indikasinya dapat dari meluasnya pemutusan hubungan kerja akibat berlangsungnya atau maraknya perjanjian perdagangan bebas atau penerapan Free Trade Agreement. Satu yang paling menonjol adalah ASEAN-China FTA. Dengan diberlakukan ACFTA, maka produk dari 10 sektor industri yaitu : Permesinan, Perkebunan dan Pertanian, Makanan dan minuman, Petrokimia, Plastik, Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), Alas Kaki, Elektronik dan Peralatan Listrik, Besi Baja dan Jasa Permesinan yang diimpor dari China ke Indonesia akan bebas bea masuk. Sektor industri manufaktur pada tahun-tahun mendatang diperkirakan akan mengalami guncangan pasca penandatangan FTA ASEAN dengan China yang menghasilkan kesepakatan bahwa perdagangan antar negara dilakukan dengan pembebasan bea masuk sampai 0 % di tahun 2010.

Selain akibat penerapakan perjanjian perdagangan guncangan juga terjadi karena semakin rentannya sistim kapitalisme global dari lingkaran krisis. Semakian sering terjadi krisis finansial dan anjloknya bursa saham yang akan segera meluas menjadi krisis ekonomi yang meluas. Inilah buah dari semakin menguatnya paradigma neoliberalisme dan praktek curang dan praktek ‘casino economy’. Di dalam situasi ini pemerintah Indonesia yang memang menjadi ‘jongos’ selalu memprioritaskan untuk menyelamatkan kepentingan pemodal diatas penderitaan buruh dan masyarakat luas.

Secara khusus perlu diberikan sorotan beban biaya hidup yang semakin meningkat, bahan kebutuhan pokok yang semakin meningkat termasuk kebutuhan untuk pelayanan kesehatan serta pendidikan anak, kepastian jaminan kerja baik di pedesaan maupun perkotaan yang semakin buruk akibat bekerja sistim neoliberal menempatkan perempuan dalam piramida korban yang terbawah. Di dalam situasi kemiskinan mereka terpaksa mencari pekerjaan sambil tetap menjadi penanggungjawab utama urusan domestik. Di dalam melakukan pekerjaan mereka juga mendapat perlindungan dan jaminan kesejahteraan yang minim apalagi menimbang kebutuhan khusus perempuan. Sebagian terjebak dalam lingkaran perdagangan perempuan dan juga terpaksa mengambil pilihan berat untuk menjadi PRT baik sebagai buruh migran maupun sebagai PRT di dalam negeri dalam kondisi tidak adanya jaminan perlindungan dari ketidakadilan majikan hingga tindak kekerasan fisik maupun seksual. Demikian anak-anak di dalam kondisi kemiskinan semakin rentan dan sulit mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Sebagian terpaksa menjadi pekerja anak.

Merunut perjalanan satu dekade reformasi sebenarnya rejim yang berkuasa telah menjalankan estafet reorganisasi politik dan ekonomi untuk mengubah Indonesia menuju Negara Pasar Bebas (Neoliberal) dan rejim SBY yang menuntaskannya. Di dalam reorganisasi ekonomi diterapkannya secara mutlak sistim “Tiga Bebas” yakni investasi, keuangan dan perdagangan.

Gejala Kembalinya Watak Otoritarian Rezim

Dengan demikian rejim SBY di satu sisi meliberalkan sepenuhnya ekonomi Indonesia menjadi negara pasar bebas dan di sisi lain secara sistimatis mulai melakukan pengekangan, membatasi hingga menutup kebebasan politik dan partisipasi rakyat atau ‘politics of order’ (politik keteraturan) seperti pada jaman Soeharto. Kita melihat trend kriminalisasi demokrasi dan pengetatan kembali terhadap kebebasan sipol, partisipasi dan oposisi rakyat yang dijalankan melalui praktek hukum (pemidanaan), pembatasan hak berserikat bagi para buruh atau pekerja dan terakhir dalam berbagai upaya untuk mengamandemen UU di bidang politik. Represi hingga penghilangkan nyawa juga semakin massif dilakukanaparatus kekerasan polisi dan militer seiring meningkatnya eksalasi dan radikalisasi rakyat akibat penindasan yang semakin vulgar. Politics of order dijalankan dengan serangkaian langkah-langkah sistematis untuk tujuan membatasi kebebasan sipil dan politik termasuk dengan membuat sistem representasi menjadi tertutup dari partisipasi popular. Dan partisipasi popular dianggap sebagai gangguan terhadap penguasa atau kegaduhan politik yang mengganggu stabilitas.

‘Politic of Order’ ini dapat pula dibaca pada fakta bahwa hingga saat ini bahkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah diselidiki dan dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, masih saja terhambat penuntasannya. Artinya bahwa negara gagal mengembalikan orang-orang yang masih hilang, negara gagal menjelaskan kepada keluarga korban mengenai latar belakang pembunuhan yang dilakukan, negara gagal menjelaskan dan mempertanggungjawabkan apa yang terjadi dalam tragedi 1965/1966, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Penghilangan paksa 1997/1998, Trisakti 1998, tragedi Mei 1998, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999, pembunuhan Munir 2004 serta sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya.

Beberapa kebijakan yang dimunculkan oleh Presiden SBY dan para pembantunya sungguh menunjukkan tidak adanya komitmen terhadap penegakan HAM di Indonesia. Justru mereka yang diduga pernah terlibat dalam kejahatan HAM di masa lalu mendapat tempat penting di pemerintahan. Sjafrie Sjamsoeddin yang diduga terlibat dalam kasus penghilangan paksa 1997/1998, kasus Semanggi I dan II, serta tragedi Mei 1998 malah diangkat sebagai Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan). Begitu juga dengan Timur Pradopo yang oleh Komnas HAM diduga terlibat dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II juga diangkat sebagai Kepala Kepolisian RI (Kapolri). Tidak cukup sampai disitu, bahkan sempat seorang tiran yang menjadi penanggungjawab suatu rezim yang paling korup dan brutal di dunia pasca PD II, Soeharto, justru diusulkan menjadi pahlawan nasional. Padahal upaya klarifikasi sejarah yang dilakukan baik oleh publik maupun lembaga negara, yaitu Komnas HAM, menunjukkan Soeharto punya tanggung jawab besar terhadap berbagai peristiwa pembantaian massal mulai dari 1965, invansi ke Timor Timur, Priok Berdarah 1984, Talangsari Lampung 1989, Pembunuhan "yang dituduh" dukun santet di Banyuwangi dan berbagai upaya persekusi terhadap lawan-lawan politiknya lewat berbagai bentuk.

Maka krisisnya hari ini adalah krisis demokrasi (kontrol/kendali rakyat atas kebijakan publik berdasarkan kesetaraan politik) dan krisis hak asasi manusia yang menjadi fondasi kehidupan bersama dirongrong oleh hegemoni dan dominasi kapitalisme (dengan neoliberalisme sebagai variannya), kembalinya watak otoritarian negara, korupsi politik yang semakin sistimatis, masif dan monopolisasi asset sebagai upaya melanggengan kekuasaan oleh para oligarki politik ekonomi yang mengabdi tau menjadi ‘jongos’ Rezim Neoliberal Global’.

Bangun Persatuan Politik Rakyat

Dengan semakian kuatnya cengkeraman Rezim Neoliberal melalui semakin paripurna reorganisasi politik dan ekonomi yang dilakukan, maka menjadi tugas gerakan sosial dan gerakan rakyat untuk mengkonsolidasikan kemarahan dan kekecewaan rakyat yang semakian menjamur dan melus menjadi gerakan perlawanan yang sistimatis dan terorganisir melalui wadah-wadah ormas sektoral, wadah-wadah organisasi warga dan komunitas. Selanjutnya perlu secara terus menerus memajukan perspektif ideologinya, politiknya dan organisasinya.

Dengan demikian upaya perjuangan untuk  melakukan perubahan rezim dan perubahan sistim akan melahirkan momentum politik untuk menggalang persatuan politik rakyat yang lebih luas dan mengakar. Kebutuhan konsolidasi persatuan gerakan menjadi keniscayaan dan kebutuhan bersama. Pada akhirnya perlu dimatangkan alat politik gerakan persatuan rakyat untuk mengkonsolidasikan dan memimpin perjuangan politik sebagai tahapan puncak dari perjuangan sosial-ekonomi.

Dalam situasi ini Aliansi Rakyat Miski (ARM) Kabupaten Banyuwangi sebagai bagian dari perjuangan rakyat menegaskan kembali posisinya untuk terus berjuang untuk terjadinya pergantian rezim dan sistim menuju kekuasaan dan sistim yang mengabdi kepada kepentingan keadilan, kesetaran dak kesejahteraan rakyat dengan mengusung Lima Prinsip Strategi Perjuangan:
  1. Mewujudkan Reforma Agraria Sejati; melalui prioritas program nasional pemerintah RI dalam hal ; (a) Penataan tanah dan sumber daya agraria secara jelas dan adil untuk lahan pertanian petani (petani gurem, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin pedesaan, yang juga memperhatikan kekhususan kepentingan perempuan), untuk penyelamatan ekologi, untuk pengembangan usaha, untuk pengembangan kota dan untuk keperluan pemerintahan. (b) Melakukan evaluasi terhadap kepemilikan tanah skala besar oleh perusahan asing, swasta nasional dan BUMN untuk diberikan pemanfaatannya kepada rakyat. (c). Penyelesaian sengketa dan konflik agraria secara menyeluruh dan adil. (d) Dukungan penguatan produksi, akses permodalan, teknologi dan perlindungan tata niaga yang adil dan berpihak kepada petani, yang juga mengkhususkan kepada kepentingan petani perempuan.
  2. Mewujudkan Keadilan Ekologis; yaitu hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi yang memperhatikan prinsip keadilan gender, prinsip keselamatan rakyat, keberlanjutan jasa pelayanan alam dan perlindungan produktivitas rakyat, dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang, berhak terselamatkan dari ancaman dan dampak krisis, serta penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat.
  3. Pembangunan Industrialisasi Nasional; mengakhiri model produksi ekonomi kolonial dan para kompradornya (jongos) dengan membangun kemandirian ekonomi, industri dan keuangan nasional yang berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat Indonesia, termasuk juga memperhatikan kepentingan perempuan.
  4. Mewujudkan Demokrasi Ekonomi; melalui penguasaan negara terhadap sumber-sumber produksi dan usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak (mineral, batubara, migas, hutan, air, tanah, laut, dll) dalam rangka pemenuhan hak dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan) serta memperluas kegiatan produksi, yang dikerjakan oleh semua (dalam keadilan gender), untuk semua dibawah penilikan bersama dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat banyak dan bukan kemakmuran orang per orang. Termasuk di dalamnya agenda penghapusan utang lama dan penghentian pembuatan utang baru untuk kemandirian ekonomi nasional.
  5. Penegakan HAM (Hak Asasi Manusia); melalui penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar yang meliputi hak sipil politik serta ekonomi, sosial dan budaya, yang berkeadilan gender. Termasuk penghukuman yang adil dan tegas terhadap pelaku pelanggaran HAM
Aliansi Rakyat Miskin (ARM) Kabupaten Banyuwangi juga menegaskan untuk mengambil peran aktif untuk terus menerus mendorong persatuan gerakan politik rakyat sebagai satu tindakan politik kolektif untuk memberikan jalan keluar politik alternatif kepada rakyat atas problem-problem yang dihadapi. Persatuan gerakan pada akhirnya akan membutuhkan ‘alat politik kolektif’ dalam memperjuangkan kedaulatan rakyat dan perebutan kekuasaan secara demokratis dan damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar