Senin, 13 Desember 2010

Demokrasi Kerakyatan

DEMOKRASI KERAKYATAN
Ditulis oleh: M. Helmi Rosyadi

Demokrasi sering dikaitkan dengan pola pemerintahan di Athena, Yunani. Bahkan kata demokrasi inipun dari kata Yunani, demos (rakyat) dan cratein (pemerintahan).  Pada awalnya, para tuan tanah merupakan penduduk asli negara kota (polis). Mereka menggunakan posisinya untuk mengontrol pemasaran hasil produksi dan untuk meminjamkan bibit kepada penduduk-penduduk miskin (plebian) yang tinggal dipinggiran. Masyarakat terbelah menjadi dua, tuan tanah dan plebian. Semua perkembangan pesat dalam bidang seni, budaya dan filsafat dapat terjadi karena kerja keras plebian yang dieksploitasi. Demokrasi Yunani bukanlah demokrasi yang sejati.

Sebuah tirani bukan hanya satu orang diktator. Namun kenyataan yang terjadi selama berkuasanya sang tiran tersebut, ia hanyalah perwakilan ataupun penampakan dari sekelompok minoritas yang ingin mendapatkan hak-hak khusus atas penindasan terhadap mayoritas rakyat. Di bawah Imperium Romawi, Julius Caesar adalah seorang tiran. Sistem pajak dan kerja paksa diberlakukan tanpa perlawanan yang berarti. Tapi apakah Julius Caesar bertindak atas kehendaknya sendiri? Dari mana asalnya para legiuner-legiuner, perwira-perwira, dan jendral-jendral pasukan Romawi? Sangat jelas, mereka adalah orang-orang yang dibiayai ataupun memang berasal dari keluarga-keluarga tuan tanah di Roma. Caesar berkuasa atas dukungan Senat, sebuah badan permusyawaratan kaum patricia (para tuan tanah dan pemilik budak). Tanpa perluasan teritorial yang kemudian menghasilkan pajak dan budak, mustahil Romawi dapat berkembang. Dan para patricia pemilik colonate (perkebunan besar) memperkaya diri dengan mengekploitasi para budak untuk mengerjakan colonate mereka.

Gubernur-gubernur jenderal Hindia Belanda juga memiliki latar belakang yang sama. Di tanah jajahan mereka adalah tiran, yang menggunakan bala tentara untuk menaklukan perlawanan-perlawanan sporadis dan untuk memastikan rakyat jajahan membayar pajak tanah dan pajak kepala. Tetapi siapakah pendukung mereka sebenarnya di tanah jajahan? mereka adalah para pemilik (perampas tanah) perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik baik di tanah jajahan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda adalah wakil dari minoritas masyarakat, para bangsawan dan pemilik modal.

Ketika Soeharto berkuasa, apakah Soeharto sendirian dalam merebut kursi kepresidenan dari Soekarno? Jangan lupakan peranan Nasution dan jenderal-jenderal lainnya yang merebut kursi kepemimpinan MPRS! Jangan lupakan “jasa” para komandan komando teritorial yang menyokong Soeharto membantai ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI serta memenjarakan jutaan lainnya!

Apakah tidak adanya tiran-tiran ini lalu masyarakatnya menjadi demokratis? Jangan lupa, mereka adalah penampakkan nyata dari minoritas masyarakat yang menginginkan hak-hak istimewa dan kekayaan pribadi. Seorang tiran dapat muncul dan pergi, dapat diganti-ganti, tapi ketika ada minoritas masyarakat yang ingin memaksakan kehendak mereka dengan kemudian menindas mayoritas masyarakat, maka tidak dapat negara itu dikatakan demokratis. Kekuasaan tirani adalah wujud paling buruk kekuasaan minoritas di atas mayoritas.

Ketika kita mendengar kata demokrasi, sebagian besar kita akan menghubungkannya dengan pemilu dan parlemen. Hal ini nampaknya menjadi kesadaran mayoritas rakyat, bahwa demokrasi hanyalah ada di pemilu dan parlemen. Bahwa mereka boleh berdemokrasi hanya di pemilu dan parlemen. Tak heran setiap kali pemilu di Indonesia selama 32 tahun rejim Soeharto berkuasa, maka rakyat gegap gempita menyambutnya.  Gegap gempita rakyat Indonesia menghadapi pemilu merupakan ekspresi kebebasan setelah dalam kehidupan biasanya selalu diwarnai oleh represif dari institusi-institusi militer dan sipil pendukung Orde Baru. Apakah Rejim Orde Baru demokratis? Tentu saja jawabannya tidak. Dari pengalaman Indonesia, kitapun sudah tahu bahwa adanya pemilu dan parlementer bukanlah jaminan tegaknya demokrasi.

Setelah Soeharto tumbang, pada 7 Juni 1999 diadakan Pemilu multipartai pertama semenjak penggabungan partai-partai di 1970an. Tak kurang 100 partai politik berdiri, mendaftar sebagai kontestan pemilu. Hanya 48 partai yang lolos kualifikasi KPU. Dalam setiap kampanye, partai-partai lama berhasil melakukan penggalangan-penggalangan massa, menebar janji-janji, dan membagi-bagi uang. Rakyat Indonesia begitu percaya bahwa partai-partai besar ini akan memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang akan mensejahterakan rakyat.

Setelah Pemilu, masuklah masa persidangan MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, plus remeh temeh kenegaraan lainnya. Namun inilah yang membuktikan bahwa parlemen dan pemilu bukanlah sarana demokrasi untuk rakyat. Disinilah bukti bahwa wakil-wakil “rakyat” di parlemen akan selalu memiliki kemungkinan untuk berkhianat kepada massa pendukungnya. Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan 2000 dan sidang-sidang DPR terbukti bukanlah sidang untuk kepentingan rakyat. Sidang-sidang itu adalah sidang-sidang untuk membicarakan kepentingan kaum penguasa dan mengeluarkan produk hukum untuk membela kaum penguasa dan memaksakan kehendak minoritas kepada mayoritas.

Asal-usul parlemen di Eropa adalah sidang para pembayar pajak. “Tak ada pajak tanpa perwakilan!” teriak para bangsawan Inggris yang perlahan telah berubah menjadi kaum merkantilis (pedagang). Dipimpin Oliver Crommwell, mereka memenggal Raja Charles I, mendirikan Republik Inggris dan membentuk parlemen yang anggotanya adalah para tuan tanah dan pedagang kaya. Hal yang sama juga terjadi dalam revolusi Perancis, anggota Konvensi (parlemen hasil revolusi) hanyalah kaum intelektual, pengusaha, dan tuan tanah baru. Tidak ada para hamba dan petani penggarap, yang sebenarnya menjadi penggerak revolusi tersebut. Dengan bentuk seperti ini, meskipun parlemen hasil dari pemilu, pastilah hanya akan membela kaum penguasa ekonomi dan politik, pastilah hanya mementingkan minoritas. Artinya, kontrol rakyat terhadap berjalannya negara sangatlah lemah.

Meskipun desakan untuk terlibat dalam politik, hak untuk ikut memilih wakil dalam parlemen, membentuk partai-partai politik, dan berorganisasi diberikan. Ilusi yang dibuat adalah rakyat berperan dalam penentuan kebijakan negara. Contoh di Indonesia, tanggal 20 Oktober 1999, Abdurrahman Wahid resmi menjadi presiden. Di parlemen, kursi-kursi mulai didominasi oleh kaum reformis. Namun, apakah pemerintah berpihak kepada mayoritas rakyatnya? Selama birokrasi yang ada tidak dibubarkan maka kekuasaan rakyat mustahil diwujudkan. Anggota parlemen bisa diubah-ubah oleh pemilu, tapi apakah kepolisian, angkatan bersenjata, kehakiman, kejaksaan, departemen-departemen, dan birokrasi menjadi demokratis dan tunduk pada kontrol masyarakat? Jawabannya jelas tidak.  Kalaupun ada demokratisasi di birokrasi seperti pemilihan kepala desa, kepala desa tersebut haruslah tunduk kepada camat yang semuanya dididik oleh pendidikan birokrat.

Demokrasi tidak hanya sebatas urusan politik belaka, urusan menentukan kebijakan negara saja. Namun jauh lebih dalam,  dalam keseharian kehidupan masyarakat. Kehidupan sehari-hari masyarakat adalah perjuangan setiap anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Artinya, dasar adanya masyarakat adalah pemenuhan ekonomi. Tidak demokratisnya masyarakat, penindasan minoritas terhadap mayoritas, justru terlihat di dalam pabrik-pabrik, kantor-kantor, pasar-pasar, dan tempat-tempat mencari nafkah lainnya.

Di dalam sebuah perusahaan, yang menentukan jam kerja, istirahat, libur, produksi, penjualan, dan pembagian upah adalah pemilik perusahaan yang kenyataanya tidak melibatkan partisipasi kaum buruh. Kalaupun ada pelibatan, biasanya berupa konsesi (sogokan kecil dan sementara) ketika posisi sosial dan politik kaum buruh sedang menguat, misalnya ketika adanya pemogokkan. Namun begitu posisi buruh melemah, maka para pimpinan perusahaan (pemilik modal) langsung mencabut konsesi tersebut.
Lalu demokrasi seperti apakah yang akan membawa masyarakat menuju kemakmuran dan kesejahteraan bersama? Seperti apakah demokrasi yang benar-benar sejati?

Pertama, demokrasi haruslah menjadi jawaban atas segala pertentangan-pertentangan yang ada di dalam masyarakat dan harus mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan mayoritas masyarakat. Harus sudah tidak ada lagi pemisahan antara pemenuhan kebutuhan masyarakat (ekonomi) dengan pengaturan dalam masyarakat (politik) dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalam masyarakat (sosial). Tidak ada pemisahan antara negara dan masyarakat, artinya tidak ada anggota masyarakat yang terus menerus kerjanya hanya menjadi aparat negara (militer dan birokrat), akan tetapi semua anggota masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan negara dan berkesempatan yang sama serta bergiliran dalam menjalankan fungsi aparatur negara. Kedua, demokrasi haruslah menjadi perwujudan kehendak sejati mayoritas anggota masyarakat (secara ekonomi, sosial, dan politik), didasarkan atas kesetaraan posisi dan kerja tiap anggota masyarakat (tidak ada lagi penghargaan berlebihan terhadap kerja pemikiran dan kerja fisik, tetapi menghargai usaha, kemampuan, dan kebutuhan tiap individu), dan haruslah melahirkan sebuah hubungan antar manusia yang bekerja sama saling menguntungkan sebagai satu kesatuan (kolektif). Ketiga, setiap keputusan bersama, hasil dari proses demokrasi, harus secara disiplin dijalankan oleh semua anggota masyarakat.  Minoritas yang tidak sepakat dengan keputusan tersebut boleh mengkritik, tetapi harus tetap bertanggung jawab. Singkat kata, demokrasi kerakyatan adalah demokrasi yang benar-benar melibatkan seluruh anggota masyarakat secara utuh dan nyata.

Dalam perwujudannya, demokrasi kerakyatan harus dijalankan dengan prinsip partisipasi aktif setiap individu, harus dipastikan adanya kesempatan dan kemauan setiap individu untuk berpartisipasi aktif. Karenanya, negara yang berlandaskan demokrasi kerakyatan haruslah memiliki ciri sebagai berikut: Pertama, tidak memisahkan dengan jelas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Singkatnya, setiap individu dalam masyarakat  harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus menjalankan kerja politik dan ekonomi. Ini sangat penting, sebagai jalan terbaik untuk mengurangi sebanyak mungkin ruang-ruang kosong. Kedua, jabatan-jabatan publik harus dipilih langsung. Tidak hanya anggota parlemen yang dipilih. Hakim, jaksa, komandan militer, perwira tinggi di kepolisian harus juga dipilih.

Tentu menjadi sebuah hal baru di Indonesia. Tetapi di beberapa negara seperti AS, Swiss, Kanada, maupun Australia, telah memakai pemilihan langsung pada sejumlah jabatan publik. Di AS, serif dipilih oleh sesama warganya. Dalam demokrasi kerakyatan, pengawasan yang ketat atas jabatan publik harus dilakukan. Itulah sebabnya diperlukan kepastian pergantian secara periodik, untuk mencegah  jabatan  permanen.

Untuk menjamin tiadanya penindasan yang kuat terhadap yang lemah, dalam menjalankan demokrasi kerakyatan harus menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ide-ide diskriminatif yang didasarkan kelamin, suku bangsa, ataupun cacat tubuh. Untuk itu, sebagai tahap pertama, negara harus melindungi kaum-kaum yang selama ini dimarjinalkan. Ide-ide rasis, seksis, dan yang merendahkan orang-orang cacat harus dilarang. Kedua, kesetaraan juga harus terjadi dalam menjalankan fungsi negara. Tak satupun pejabat, anggota dewan perwakilan dan legislatif, individu yang menjalankan kekuasaan negara, menerima pendapatan yang lebih tinggi dari pendapatan pekerja terlatih. Inilah satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk mencegah pencari jabatan untuk memperkaya diri dan menghisap masyarakat. Kesetaraan yang dimaksud di sini bukanlah yang hanya diakui oleh hukum saja, tetapi juga fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh  negara. Negara harus memprioritaskan kebijakan penyediaan lapangan pekerjaan bagi seluruh anggota masyarakat, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumsi minimum, dan penyediaan fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dapur umum, transportasi massal, binatu, pasar, penitipan bayi, dan tempat-tempat rekreasi yang kemudian dikelola bersama oleh masyarakat. Dan yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan pangan, pakaian dan perumahan.

Ketika kebutuhan pangannya terpenuhi, tak seorangpun akan terpaksa menjajakan tenaganya kepada orang lain dan kesempatan untuk membeli tenaga (mempekerjakan) orang lain akan relatif kecil. Namun ini juga harus diikuti dengan kewajiban setiap orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan adanya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, maka tiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dan kerjanya di dalam masyarakat. Salah satu alat diskriminasi saat ini adalah pendidikan yang telah diperoleh seseorang. Kesempatan yang sama dalam pendidikan juga akan membuat ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi dimonopoli oleh minoritas masyarakat, tetapi menjadi milik masyarakat dan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.

Hal yang paling prinsip dalam Demokrasi Kerakyatan adalah mewujudkan demokrasi sebagai milik seluruh anggota masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota masyarakat. Memang sulit untuk mencapai kesepakatan semua orang, namun perwujudan yang paling logis adalah mayoritas dari masyarakat tersebut. Inilah alasan kenapa kaum penguasa selalu menggunakan penipuan-penipuan seperti parlemen dan pemilu, untuk membuat seolah-olah keputusan yang diambil dalam parlemen adalah kehendak mayoritas masyarakat. Sifat kerakyatan adalah sifat yang berorientasi kepada mayoritas rakyat.

Landasan berdirinya Demokrasi Kerakyatan adalah kolektivisme untuk menjalankan kehidupan sehari-hari. Demi kemajuan masyarakat, anggota-anggota masyarakat harus menyumbangkan kerja-kerja sukarela yang diarahkan oleh negara untuk membangun fasilitas-fasilitas umum yang akan mereka gunakan dan kelola bersama. Kerja-kerja sukarela inilah yang nantinya merubah masyarakat dan memperdalam kolektivisme tadi, sehingga posisi kepentingan bersama di atas kepentingan individu bukan sekadar slogan tetapi juga kenyataan dan kesadaran masyarakat.

Kenyataan saat ini di mana jumlah anggota masyarakat luar biasa besar, ratusan juta, membuat sulit untuk melibatkan semuanya langsung dalam proses permusyawaratan. Demokrasi Kerakyatan menggunakan perwakilan untuk permusyawaratan yang akan menentukan hajat hidup masyarakat. Di dalam Demokrasi Kerakyatan, permusyawaratan terkecil adalah fondasinya. Permusyawaratan terkecil adalah wujud dari demokrasi langsung, dimana partisipasi aktif setiap anggota masyarakat terfasilitasi.

Para wakil-wakil rakyat dalam Demokrasi Kerakyatan adalah orang-orang yang bertanggung jawab kepada massa di bawahnya, sehingga bila ia tidak dapat menjalankan amanat yang diberikan, bisa setiap saat digantikan. Wakil-wakil masyarakat inilah yang menjalankan fungsi negara, terutama dalam mengkordinasikan anggota-anggota masyarakat lainnya dalam kerja-kerja sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh anggota masyarakat secara kolektif.

Pengorganisasian masyarakat yang menggunakan permusyawaratan langsung dan permusyawaratan perwakilan inilah adalah wujud negara dan masyarakat yang kembali dipersatukan, keduanya menjadi tidak berbeda dengan jelas. Negara adalah masyarakat dan masyarakat adalah negara. Dan organisasi pelaksananya disebut Dewan Rakyat. Dewan Rakyat adalah bentuk negara yang lahir dari masyarakat. Ia harus dibangun di dalam masyarakat dan ditegakkan oleh mayoritas masyarakat. Dalam tahapan awal perkembangannya, dibentuk dari komite-komite aksi rakyat yang menginginkan perubahan, Dewan Rakyat harus bisa menghimpun massa yang lebih luas dan bergerak sebagai alat perjuangan mayoritas rakyat untuk mendirikan kedaulatan mereka, kedaulatan rakyat yang sejati.

Fungsi eksekutif dan legislatif dalam Dewan Rakyat dipadukan. Setiap individu dalam masyarakat harus bergabung dengan organisasi yang merencanakan sekaligus menjalankan kerja politik dan ekonomi. Dalam setiap periode tertentu masyarakat mengadakan permusyawaratan untuk mengevaluasi kerja-kerja dan keadaan obyektif yang telah terjadi untuk kemudian merumuskan program kerja masyarakat ke depan: kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi, fasilitas apa saja yang harus dibangun, dan bagaimana keduanya harus dijalankan. Setelah hal itu, yang harus dilakukan oleh setiap anggota masyarakat adalah fungsi pengawasan untuk menjamin dijalankannya kesepakatan bersama tersebut dengan ketepatan dan kedisiplinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar