Selasa, 14 Desember 2010

Sejarah Legislasi Berutang

Ditulis oleh: Helmi Rosyadi

Ketidakberdaulatan ekonomi menjadi isu pemilihan presiden 2009 kemarin. Semua mengaku paling prorakyat dan kebijakan ekonominya bukan neoliberalisme (baca: neolib). Ini menggelikan, apalagi bagi yang mencermati sejarah legislasi di Indonesia.

Sudah jamak kiranya, sebagai negara pascakolonial, sejarah legislasi yang terjadi di Indonesia adalah proses reproduksi dari pembentukan tata laksana hukum kolonial. Semuanya untuk kepentingan penguasaan ekonomi. Ini tujuan utama pembentukan legislasi. Contohnya, pembentukan Agrarische Wet 1870 sebagai konsekuensi dari dimulainya liberalisasi ekonomi perkebunan di koloni Hindia Belanda. Ditemukan pula jejak legislasi untuk penyediaan dan pengerahan tenaga kerja (Werving Ordonantie Stb 1936 No 650 jo Stb 1938 No 388). Legislasi juga dipakai untuk mempertahankan kuasa politik kolonial. Misalnya, pelarangan sekolah progresif antikolonial dalam Wildenschoolen Ordonantie atau pasal-pasal Hatzaai Artikelen. Produk kolonial ini hingga kini masih menjiwai hukum pidana di Indonesia.
Pada awal Indonesia melakukan konsolidasi politik, proses legislasi menjadi arena perebutan politik. Bahkan legislasi pun diproduksi dari hasil-hasil diplomasi politik. Dalam perjuangan diplomasi untuk memastikan adanya pengakuan kedaulatan RI, Indonesia juga dipaksa untuk membuat legislasi yang mencerminkan kehendak eksternal (baca: asing). Dari sini dimulainya kondisionalitas dalam produksi legislasi. Jika kita jujur pada sejarah, salah satu faktor eksternal yang memengaruhi proses legislasi adalah keterikatan Indonesia terhadap utang luar negeri. Ikatan itu bahkan sudah ada sejak 1946. Perikatan terhadap utang luar negeri makin kencang setelah ratifikasi hasil Konferensi Meja Bundar melalui UU No 5/1951 tentang Pengesahan dan Pengakuan Utang terhadap Kerajaan Belanda, walau kemudian dibatalkan dengan UU No 13/1956 tentang Pembatalan Hubungan Indonesia-Nederland Berdasarkan Perjanjian KMB. Akhirnya, utang pampasan perang Belanda ini kembali ditagihkan setelah Soeharto berkuasa, sebagai persyaratan bagi Indonesia (yang kolaps) untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga multilateral maupun bilateral. Dalam kajian mengenai Aspek Hukum Perjanjian Internasional Utang Pemerintah, ditemukan puluhan undang-undang yang terbit mengikut perjanjian utang yang dibuat oleh Indonesia baik dengan donor bilateral maupun multilateral. Produksi legislasi terkait kondisionalitas utang makin tak terkendali saat rezim Soeharto berkuasa dan bahkan hingga saat ini.

Tunduknya pemerintah Indonesia pada kekuatan donor bilateral maupun multilateral juga ditandai oleh institusionalisasi lembaga multidonor yang menjadi partner utama dalam perencanaan pembangunan Indonesia. Institusi ini awalnya bernama Intergovernmental Group o¬n Indonesia di bawah kepemimpinan Belanda, kemudian bertransformasi menjadi Consultative Group o¬n Indonesia dengan World Bank sebagai ketuanya. Setidaknya hingga 2006, CGI lebih berpengaruh menentukan cetak biru pembiayaan pembangunan Indonesia, ketimbang DPR yang secara konstitusional memiliki hak anggaran (bujet). Siklus pembiayaan pembangunan Indonesia secara jelas diatur dan ditentukan CGI.

Secara formal, konstitusional draf RAPBN memang diajukan eksekutif menyertai Pidato Presiden  di dalam Sidang Paripurna DPR-RI di bulan Agustus dan dibahas melalui mekanisme legislasi untuk disetujui sebagai UU pada sekitar bulan Oktober-November. Namun, yang juga tak terbantahkan, pihak legislatif selalu ditinggalkan (tidak dilibatkan, apalagi dimintai persetujuan) oleh eksekutif dalam setiap pembicaraan mengenai besaran utang baru dengan negara donor dan lembaga keuangan multilateral. Padahal, menurut Konstitusi UUD 1945 dan UU No 37/1999 mengenai Hubungan Luar Negeri, pembicaraan mengenai utang dengan negara lain/lembaga multilateral termasuk dalam kategori perjanjian internasional dan mutlak dipersyaratkan adanya konsultasi dengan parlemen dan wajib mendapat persetujuan parlemen.

Penentuan jumlah utang Indonesia dalam forum CGI lebih ditentukan oleh negara-negara donor dan lembaga keuangan multilateral yang secara sepihak menilai kinerja ekonomi Indonesia. Dasar penilaiannya tentu dari sudut pandang dan selera mereka. World Bank mendasarkan pada Country Assistance Strategies, IMF mengacu pada Post Program Monitoring dan negara-negara donor memiliki conditionality sebagai ukuran penilaian.Utang IMF memang telah dibayar lunas dan CGI juga telah dibubarkan awal tahun 2007, namun bukan berarti Indonesia telah memegang sepenuhnya kendali kebijakan perekonomian Indonesia. Bubarnya CGI bahkan makin membuat peranan World Bank, ADB, dan Jepang sebagai donor dominan di Indonesia makin menguat. Sebagai pemberi utang terbesar di Indonesia, ketiganya juga masih tetap menjadi proxy IMF dalam penentuan kondisionalitas utang. Wujud dari kondisionalitas utang itu adalah legislasi kebijakan ekonomi politik. Kelahiran UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Kepailitan, dan UU di sektor ekonomi lainnya tak lepas dari pengaruh para pemberi utang (baik bilateral maupun multilateral).

Yang tidak boleh dilupakan, proses legislasi sebagai konsekuensi dari kondisionalitas utang ini berlangsung lancar selama puluhan tahun (bahkan hingga sekarang) karena dikawal oleh kekuatan koersif negara (militer). Realitas ini memperlihatkan masalah pokok beban utang bukan hanya sekedar soal stok utang dan cara-cara pembayarannya, tetapi juga pada pengabaian hak-hak sipil politik dan perintangan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.Ulasan historis diatas hendaknya dicermati mereka yang akan duduk sebagai anggota DPR hasil pemilu legislatif 2009 dan presiden yang akan terpilih nanti untuk masa pemerintahan 2009-2014. Mereka ditantang keberaniannya untuk menghentikan laju proses legislasi sebagai konsekuensi ketidakberdaulatan ekonomi Indonesia serta mendelegitimasikan legislasi yang terbukti merusak sendi-sendi kehidupan rakyat Indonesia. Ulasan ini juga menambah bukti, bahwa masalah pokok beban utang bukan hanya sekedar soal stok utang dan cara-cara pembayarannya, tetapi juga pada pengabaian hak-hak sipil politik dan perintangan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar