Jumat, 24 Desember 2010

Krisis, Neoliberalisme, dan Penindasan terhadap Rakyat Miskin

Ditulis oleh Eko Suharyono & Samsul Hadi

Pendahuluan: Krisis Kapitalisme

Saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk meninjau kembali tema-tema besar seperti krisis global, ekonomi neoliberalisme dan ekonomi kerakyatan. Kini, di tengah krisis kapitalisme global, tiba-tiba mengemuka isu ekonomi kerakyatan. Ini adalah gambaran betapa krisis ekonomi hebat 1997-1998 dan 2008-2009 saat ini betul-betul berdampak keras, disamping semakin banyaknya jumlah kaum miskin di Indonesia dan semakin tingginya kesenjangan sosial antara kaum kaya yang semakin kaya dan mayoritas kaum miskin yang terus membesar jumlahnya. Ketidakpuasan akan ketidakadilan sistemik mulai meluas dan semakin disadari banyak pihak. Dan biang kerok dari semua itu kini disadari adalah dari paradigma neoliberal tersebut.

Krisis saat ini mengingatkan orang akan krisis 1997-1998, yang dipicu oleh aktor-aktor spekulan keuangan global. Kalau krisis 10 tahun yang lalu melanda negara-negara emerging markets terutama di Asia, kini terjadi di  Amerika Serikat, yang dengan cepat melanda negara-negara Eropa. Krisis yang semula hanya krisis kredit perumahan kelas dua, kini berubah menjadi krisis sektor keuangan hebat yang menghancurkan para agen-agen keuangan raksasa, dan yang telah berubah menjadi krisis sektor riil.

UNCTAD, sebuah organisasi PBB di bidang perdagangan dan pembangunan, pada tanggal 7 Oktober 2008 mengeluarkan pernyataannya yang menilai krisis keuangan global sebagai hasil dari inovasi keuangan besar-besaran yang lalu berubah menjadi “senjata penghancur massal keuangan”, mengutip istilah milyarder Warren Buffet, yang menyebabkan terjadinya apa yang dinamakan sebuah “krisis abad ini”. Menurut UNCTAD,  adanya sistem rekayasa keuangan modern yang canggih kini terbukti merupakan kesalahan besar, karena hampir semua aktor di setiap tahap rekayasa keuangan, telah terjangkit eforia akan mendapat keuntungan besar, sehingga melupakan risiko terjadinya gagal bayar dari para pengutang.

Rekayasa keuangan tanpa aturan yang ketat ini sebenarnya sudah berlangsung lama di AS. Ini adalah hasil dari disahkannya Gramm-Leach-Bliley Act tahun 1999 oleh Kongres AS yang didominasi Republik dan disahkan menjadi UU oleh Bill Clinton untuk mengganti Glass-Steagall Act tahun 1933 yang menetapkan berbagai peraturan yang membatasi industri keuangan setelah depresi besar tahun 1929.

Glass-Steagal Act ini melarang sebuah perusahaan keuangan untuk bermain di berbagai layanan keuangan, terutama tidak dibolehkan menjadi sebuah bank investasi dan sekaligus bank komersial, maupun sekaligus bank asuransi. Hal ini yang sekarang dilabrak oleh deregulasi mazhab neoliberal, terutama lewat operasi keuangan baru semacam hedge funds dan private equity fund. Korporasi-korporasi keuangan kini bermain sekaligus sebagai bank komersial, bank investasi serta bank asuransi tanpa kontrol siapapun.

UNCTAD juga mengatakan bahwa argumen dari para fundamentalis pasar yang menolak regulasi atas pasar keuangan dan menyatakan bahwa pasar akan mampu mendisiplinkan tingkah laku para pelaku keuangan dan perbankan secara efektif, nyatanya terbukti gagal. Kini negara lah yang harus kembali turun tangan mengatasi akibat-akibat pasar yang tak terkendali ini.
 
Kini, dunia benar-benar dilanda resesi dimana pertumbuhan ekonomi yang didewa-dewakan tak kunjung datang. Dunia juga dilanda deflasi, yaitu barang-barang yang diobral murah tetap tak laku karena banyak orang sudah tidak punya uang. Di lain pihak, stimulus dan dana talangan yang diberikan, bisa jadi menguap entah kemana. Karena itu Presiden Obama marah-marah, karena ternyata AIG membagikan bonus kepada para eksekutifnya sebesar hampir US$ 7 milyar, sementara AIG ditalangi penuh oleh pemerintah.

Pertemuan G-20 yang merupakan pertemuan kelompok ekonomi besar, baik dari negara-negara pusat (center) maupun negara-negara pinggiran (periferi), yang digagas sejak tahun 1999 untuk meredam krisis keuangan, diadakan kembali di London tanggal 2 April 2009. G-20 seringkali dianggap sebagai “Bretton Woods” baru (Konperensi Bretton Woods      di New Hampshire tahun 1944 yang menghasilkan Bretton Woods Institutions (BWIs): Bank Dunia, IMF dan GATT). Akan tetapi sebagaimana dikatakan Walden Bello, sangat kontras perbedaan antara G-20 sekarang dengan Konperensi Bretton Woods. G-20 hanya berlangsung 1 hari, sedangkan Konperensi Bretton Woods selama 21 hari kerja penuh; G-20 bersifat eksklusif dan mengatasnamakan 172 negara lainnya di dunia yang bukan anggota, dengan Konperensi Bretton Woods yang diikuti 44 negara di tengah-tengah situasi perang; serta Konperensi Bretton Woods menghasilkan institusi-institusi baru yang mengatur dunia pasca-perang, sementara G-20 hanya mendaur-ulang institusi-institusi yang sudah gagal, yaitu G-20 sendiri, Financial Stability Forum (FSF), Bank of International Settlement dan Basel-II, dan IMF (yang sudah 65 tahun umurnya). Beberapa lembaga itu dilahirkan oleh G-7 setelah krisis Asia 1997, yang mantra-mantranya terbukti gagal, yaitu: capital control itu jelek untuk negara berkembang; short-selling atau aksi spekulasi itu adalah operasi pasar yang sah; dan bahwa transaksi derivatives itu menyempurnakan pasar.

Semuanya ternyata kini adalah sumber dari krisis. Karena itu Bello menyatakan sambil menyindir, “institutions that were part of the problem are now being asked to become the central part of the solution. Unwittingly, the G20 are following Marx’s maxim that history first repeats itself as tragedy, then as farce”. Pertemuan G-20 kembali memperlihatkan keengganan negara-negara besar untuk menjawab masalah krisis secara mendasar. Baik proposal AS untuk memberikan stimulus besar-besaran maupun proposal Perancis dan Jerman untuk melakukan pengaturan lembaga-lembaga keuangan; dua-duanya tidak menjawab masalah dasar krisis, yaitu semakin amburadulnya tatanan kapitalisme global neoliberal itu sendiri. Yang diperlukan adalah upaya perubahan fundamental.

Salah satu upaya G-20 adalah mencegah terjadinya proteksionisme di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi yang semakin menurun atau bahkan negatif. Gordon Brown, PM Inggris, dalam kunjungan persiapan menjelang KTT G-20 di London, menyatakan, “One of the messages that must come from next week’s summit is that we will reject protectionist countries, we will monitor those countries and name and shame if necessary countries that are not following free trade practices”. Pernyataan ini mengulang-ulang kembali pengkambing-hitaman neoliberal atas proteksionisme. Tapi pertanyaan lebih mendasar: siapa yang sesungguhnya proteksionis? Ini sama saja dengan maling teriak maling. Sebagaimana kita ketahui bersama, justru negara-negara maju G-20 yang saat ini tanpa malu-malu melakukan berbagai upaya proteksionisme, seperti “buy American product” dan “buy French product”. Belum lagi kita ketahui bersama, bahwa sengketa di WTO yang tidak terselesaikan sampai sekarang lewat Putaran Doha adalah keengganan atau ketidakmauan AS dan Uni-Eropa untuk memotong atau menghapus subsidi-subsidi domestik dan ekspor mereka, yang membuat barang-barang mereka menjadi jauh lebih murah dari barang-barang negara lain.

Dengan keadaan ini, kita tahu bahwa negara-negara kapitalisme maju masih memainkan lagu lama mereka, yaitu “proteksionisme baik untuk diri sendiri, dan free trade baik untuk dipaksakan ke negara-negara lain”. Ini adalah prinsip klasik yang penting untuk diketahui guna memahami argumen pengelabuan yang diputarbalikkan untuk mengecam proteksionisme yang sebenarnya baik dan mempromosikan perdagangan bebas yang sebenarnya jahat. Dan kini, mereka tidak bisa lagi lari dari krisis yang mereka buat sendiri, yang justru diakibatkan oleh kapitalisme neoliberal yang sebebas-bebasnya dan anarkis. Kaum neoliberal mirip para perampok yang saling berkelahi memperebutkan harta benda hasil rampokan sambil menyalahkan para korban yang membela diri dari perampokan tersebut dan tanpa malu bersikeras membenarkan situasi kacau dari perampokan tersebut.

Masalah Dasar: Penindasan Neoliberalisme

Apa Itu Neoliberalisme?

Untuk memahami globalisasi dan mekanisme dunia sekarang, orang perlu memahami neoliberalisme. Inilah ideologi mutakhir kapitalisme yang saat ini sedang jaya-jayanya, terutama slogan TINA (There is No Alternatives) dari mulut Margaret Thatcher. Semenjak 1970-an hingga kini, neoliberalisme mulai menanjak naik menjadi kebijakan dan praktek negara-negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan dunia: Bank Dunia, IMF dan WTO. neoliberal tidak lain adalah antitesa welfare state, antitesa neoklasik, dan antitesa Keynesian. Dengan kata lain antitesa kaum liberal sendiri, yaitu liberal baru atau kaum kanan baru (new rightist).

Sejarah neoliberal bisa dirunut jauh ke masa-masa tahun 1930-an. Adalah Friedrich von Hayek (1899-1992) yang bisa disebut sebagai pencetus neoliberal. Hayek terkenal juga dengan julukan ultra-liberal. Muridnya yang utama adalah Milton Friedman, pencetus monetarisme.

Kala itu adalah masa kejayaan Keynesianisme, sebuah aliran ilmu ekonomi oleh John Maynard Keynes. Keynesian dianggap berjasa dalam memecahkan masalah Depresi besar tahun 1929-1930. Terutama, setelah diadopsi oleh Presiden Roosevelt dengan program “New-Deal” maupun Marshall Plan untuk membangun kembali Eropa setelah Perang Dunia ke-II, Keynesian resmi menjadi mainstream ekonomi. Bahkan Bank Dunia dan IMF kala itu terkenal sebagai si kembar Keynesianis, karena mempraktekkan semua resep Keynesian. Dasar pokok dari ajaran Keynes adalah kepercayaannya pada intervensi negara ke dalam kehidupan ekonomi. Menurutnya, kebijakan ekonomi haruslah mengikis pengangguran sehingga tercipta tenaga kerja penuh (full employment) serta adanya pemerataan yang lebih besar. Dalam bukunya yang terkenal di tahun 1926 berjudul “The End of Laissez-Faire”, Keynes menyatakan ketidakpercayaannya terhadap kepentingan individual yang selalu tidak sejalan dengan kepentingan umum. Katanya, “Sama sekali tidak akurat untuk menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip ekonomi politik, bahwa kepentingan perorangan yang paling pintar sekalipun akan selalu bersesuaian dengan kepentingan umum”. Keynesianisme masih tetap menjadi dominant economy sampai tahun 1970-an.

Sementara itu, neoliberal belum lagi bernama. Akan tetapi Hayek dan kawan-kawan sudah merasa gelisah dengan mekarnya paham Keynes ini. Pada masa itu pandangan semacam neoliberal sama sekali tidak populer. Meskipun begitu mereka membangun basis di tiga universitas utama: London School of Economics (LSE), Universitas Chicago, dan Institut Universitaire de Hautes Etudes Internasionales (IUHEI) di Jenewa. Para ekonom kanan inilah yang kemudian setelah PD-II mendirikan lembaga pencetus neoliberal, yaitu Societe du Mont-Pelerin, Pertemuan mereka yang pertama di bulan April 1947 dihadiri oleh 36 orang dan didanai oleh bankir-bankir Swiss.

Termasuk hadir adalah Karl Popper dan Maurice Allais, serta tiga penerbitan terkemuka, Fortune, Newsweek dan Reader’s Digest. Lembaga ini merupakan “semacam freemansory neoliberal, sangat terorganisir baik dan berkehendak untuk menyebarluaskan kredo kaum neoliberal, lewat pertemuan-pertemuan internasional secara reguler”. Pandangan neoliberal dapat diamati dari pikiran Hayek. Bukunya yang terkenal adalah “The Road to Serfdom” (Jalan ke Perbudakan) yang menyerang keras Keynes. Buku tersebut kemudian menjadi kitab suci kaum kanan dan diterbitkan di Reader’s Digest di tahun 1945. Ada kalimat di dalam buku tersebut: “Pada masa lalu, penundukan manusia kepada kekuatan impersonal pasar merupakan jalan bagi berkembangnya peradaban; sesuatu yang tidak mungkin terjadi tanpa itu. Dengan melalui ketertundukan itu maka kita bisa ikut serta setiap harinya dalam membangun sesuatu yang lebih besar dari apa yang belum sepenuhnya kita pahami”. Neoliberal menginginkan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad-19, di mana kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah. Mekanisme pasar akan diatur oleh persepsi individu, dan pengetahuan para individu akan dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial. Menurut mereka, pengetahuan para individu untuk memecahkan persoalan masyarakat tidak perlu ditransmisikan melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dalam arti ini maka neoliberal juga tidak percaya pada serikat buruh atau organisasi masyarakat lainnya.

Dengan demikian, neoliberal secara politik terus terang membela politik otoriter. Ini ditunjukkan oleh Hayek ketika mengomentari rejim Pinochet di Chili, “Seorang diktator dapat saja berkuasa secara liberal, sama seperti mungkinnya demokrasi berkuasa tanpa liberalisme. Preferensi personal saya adalah memilih sebuah kediktatoran liberal ketimbang memilih pemerintahan demokratis yang tidak punya liberalisme”. Demokrasi politik, menurut neoliberal, dengan demikian adalah sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam melakukan pilihan dalam transaksi pasar, bukan sistem politik yang menjamin aspirasi yang pluralistik serta partisipasi luas anggota masyarakat. Bahkan, salah seorang pentolan neoliberal, William Niskanen, menyatakan bahwa suatu pemerintah yang terlampau banyak mengutamakan kepentingan rakyat banyak adalah pemerintah yang tidak diinginkan dan tidak akan stabil. Bila terjadi konflik antara demokrasi dengan pengembangan usaha yang kapitalistis, mereka memilih untuk mengorbankan demokrasi.

Salah satu benteng neoliberal adalah Universitas Chicago, di mana Hayek mengajar di situ antara tahun 1950 sampai 1961, dan Friedman menghabiskan seluruh karir akademisnya. Karena itu, mereka juga terkenal sebagai “Chicago School”. Buku Friedman adalah “The Counter Revolution in Monetary Theory”, yang menurutnya, telah dapat menyingkap hukum moneter yang telah diamatinya dalam berabad-abad dan dapat dibandingkan dengan hukum ilmu alam. Friedman percaya pada freedom of choice (kebebasan memilih) individual yang ekstrim. Dengan demikian, neoliberal tidak mempersoalkan adanya ketimpangan distribusi pendapatan di dalam masyarakat. Pertumbuhan konglomerasi dan bentuk-bentuk unit usaha besar lainnya semata-mata dianggap sebagai manifestasi dari kegiatan individu atas dasar kebebasan memilih dan persaingan bebas. Efek sosial yang ditimbulkan oleh kekuasaan ekonomi pada segelintir kelompok kuat tidak dipersoalkan oleh neoliberal. Karenanya, demokrasi ekonomi tidak ada di dalam agenda kaum neoliberal.

Pandangan kaum neoliberal pada dasarnya tidak populer di masyarakat Barat. Mereka anti terhadap welfare state (negara kesejahteraan) dan mereka juga anti demokrasi. Tetapi mengapa mereka bisa berjaya sekarang? Susan George menjawab bahwa mereka berasal dari sebuah kelompok kecil rahasia dan mereka sangat percaya pada doktrin tersebut, yang kemudian dengan bantuan para penyandang dananya, membangun jaringan yayasan-yayasan internasional yang besar, lembaga-lembaga, pusat-pusat riset, berbagai publikasi, para akademisi, para penulis, serta humas yang mengembangkan, mengemas dan mempromosikan ide dan doktrin tersebut tanpa henti. Kata Susan, “Mereka membangun kader-kader ideologis yang luar biasa efisiennya karena mereka memahami apa yang disampaikan oleh pemikir marxis Itali Antonio Gramsci ketika ia berbicara tentang konsep hegemoni kultural. Bila kamu dapat menguasai kepala orang, maka hati dan tangan mereka akan ikut”.

Salah seorang yang menjadi ujung tombaknya adalah Anthony Fisher, seorang pengusaha sukses yang kemudian mendirikan Institute of Economic Affairs (IEA) pada tahun 1955 dengan bantuan dana dari kaum indutrialis lainnya. Tujuan lembaga ini adalah “menyebarkan pemikiran ekonomi yang kuat di berbagai universitas dan berbagai lembaga pendidikan mapan lainnya”. IEA inilah yang kemudian memberi pengaruh besar kepada Margaret Thatcher, seperti dikatakan Milton Friedman, “Tanpa adanya IEA, maka saya meragukan akan bisa terjadi revolusi Thatcherite”. Salah satu koran yang menjadi corong neo-Liberal di Inggris adalah The Daily Telegraph. Lembaga lain juga didirikan, yaitu Centre for Policy Studies (CPS) di tahun 1974 yang sangat berpengaruh kepada para politisi di Inggeris. IEA kemudian melahirkan Adam Smith Institute (ASI) di tahun 1976. Kerjasama mereka dengan Heritage Foundation, didirikan di Washington tahun 1973 oleh lulusan LSE “guna membuat hal yang sama bagi politik Amerika yang dilakukan oleh CPS kepada politik Inggeris”. Anthony Fisher kemudian menjadi presiden pertama dari lembaga Fraser Institute di Kanada di tahun 1974. Di tahun 1977, ia mendirikan International Centre for Economic Policy Studies di New York, di mana salah satu pendirinya adalah Bill Casey, yang kemudian menjadi Direktur CIA.


Tahun 1979, Fisher mendirikan Institute for Public Policy di San Francisco. Fisher juga terlibat dalam mendirikan Centre for International Studies (CIS) di Australia, dimana direkturnya, Greg Lindsay, merupakan kontibutor penting berkembangnya ide pasar bebas di politik Australia. Dalam rangka memudahkan mengelola berbagai lembaga tersebut, Fisher mendirikan Atlas Economic Research Foundation yang menyediakan struktur kelembagaan pusat, yang di tahun 1991 mengklaim membantu, mendirikan, dan membiayai sekitar 78 lembaga serta mempunyai hubungan dengan 81 lembaga lainnya, di 51 negara. Ketika tembok Berlin rubuh, maka banyak personelnya yang pindah ke Eropa Timur guna “merubah ekonomi-ekonomi yang sakit menjadi kapitalisme”.

Para ekonom neoliberal di tahun 1970-an berhasil menembus dominasi ilmu ekonomi. Di tahun 1974, Hayek dianugerahi Nobel Ekonomi. Sesudahnya Friedman mendapat Nobel Ekonomi di tahun 1976. Juga Maurice Allais, seorang anggota Mont-Pelerin Society, mendapat Nobel Ekonomi di tahun 1988. Sejak tahun 1970-an, neo-Liberal mulai berkibar. Sejak itu pula seluruh paradigma ekonomi secara perlahan masuk ke dalam cara berpikir neo-Liberal, termasuk ke dalam badan-badan multilateral, Bank Dunia, IMF dan GATT (kemudian menjadi WTO).

D e n g a n demikian, Margaret Thatcher menjadi pengikut dari Hayek, sedangkan murid dari Friedman adalah Ronald Reagan. Inilah yang menghantar neoliberal menjadi ekonomi mainstream di tahun 1980-an lewat Thatcherism dan Reaganomics. Thatcher sebenarnya adalah seorang socialdarwinist, sampai akhirnya ia menemukan buku Hayek, dan kemudian menjadi salah satu pengikutnya. Doktrin pokok dari Thatcher adalah paham kompetisi-kompetisi di antara negara, di antara wilayah, di antara perusahaan-perusahaan, dan tentunya di antara individu. Kompetisi adalah keutamaan, dan karena itu hasilnya tidak mungkin jelek. Karena itu kompetisi dalam pasar bebas pasti baik dan bijaksana. Kata Thatcher suatu kali, “Adalah tugas kita untuk terus mempercayai ketidakmerataan, dan melihat bahwa bakat dan kemampuan diberikan jalan keluar dan ekspresi bagi kemanfaatan kita bersama”. Artinya, tidak perlu khawatir ada yang tertinggal dalam persaingan kompetitif karena ketidaksamaan adalah sesuatu yang alamiah. Akan tetapi, ini baik karena berarti yang terhebat, terpandai, terkuat yang akan memberi manfaat pada semua orang. Hasilnya, di Inggris, sebelum Thatcher, satu dari sepuluh orang dianggap hidup di bawah kemiskinan. Kini, satu dari empat orang dianggap miskin; dan satu anak dari tiga anak dianggap miskin. Thatcher juga menggunakan privatisasi untuk memperlemah kekuatan serikat buruh.

Dengan privatisasi atas sektor publik, Thatcher sekaligus memperlemah serikat-serikat buruh di perusahaan-perusahaan publik yang merupakan terkuat di Inggris. Dari tahun 1979 sampai 1994, jumlah pekerja dikurangi dari 7 juta orang menjadi 5 juta orang (pengurangan sebesar 29%). Pemerintah juga menggunakan uang masyarakat (para pembayar pajak) untuk menghapus hutang dan merekapitalisasi perusahaan publik sebelum dilempar ke pasar. Contohnya, perusahaan air minum  mendapat pengurangan hutang 5 milyar pounds ditambah 1,6 milyar pounds dana untuk membuatnya menarik sebelum dibeli pihak swasta. Demikian pula di Amerika, kebijakan neoliberal Reagan telah membawa Amerika menjadi masyarakat yang sangat timpang. Selama dekade 1980an, 10% teratas meningkat pendapatannya 16%; 5% teratas meningkat pendapatannya 23%; dan 1% teratas meningkat pendapatannya sebesar 50%. Ini berkebalikan dengan 80% terbawah yang kehilangan pendapatan; terutama 10% terbawah, jatuh ke titik nadir, kehilangan pendapatan 15%.

Sejak 1980-an pula, bersamaan dengan krisis hutang dunia ketiga, paham neoliberal menjadi paham kebijakan badan-badan dunia multilateral Bank Dunia, IMF dan WTO. Tiga poin dasar neoliberal dalam multilateral ini adalah: pasar bebas dalam barang dan jasa; perputaran modal yang bebas; dan kebebasan investasi. Sejak itu, kredo neoliberal telah memenuhi pola pikir para ekonom di negara-negara tersebut. Kini para ekonom selalu memakai pikiran yang standard dari neoliberal, yaitu: deregulasi, liberalisasi, privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya. Kaum mafia Berkeley  yang dulu neoklasik, kini juga berpindah paham menjadi neoliberal. Sekarang ini praktis kredo neoliberal telah dipeluk oleh pemerintah Indonesia dari masa ke masa. Menteri-menterinya juga satu paham dengan IMF, Bank Dunia dan ADB.

Kejahatan Korporasi dan Rejim Keuangan

Sangat menarik melihat terungkapnya skandal Madoff. Bernard Madoff adalah pemilik perusahaan sekuritas investasi Bernard L. Madoff Investment Securities LLC, yang telah berdiri sejak tahun 1960, disamping juga sebagai hedge fund. Madoff kini dijuluki sebagai penipu terbesar abad ini. Ia memang benar-benar penipu super komplet dari kapitalisme global. Madoff ditangkap pada 11 Desember 2008 dengan tuduhan mengadakan penipuan besar-besaran sebesar US$ 50 milyar dengan “skema Ponzi”. Skema Ponzi adalah semacam investasi yang membayarkan keuntungan besar kepada para investornya, yang sesungguhnya berasal dari uang yang dibayarkan oleh investor lainnya yang bergabung belakangan. Para investor percaya karena pembayarannya terus dilakukan tanpa ada masalah. Lagipula Madoff adalah orang terhormat dalam jajaran kapitalisme. Ia adalah bekas ketua bursa saham Nasdaq, dan sampai sekarang masih menjabat anggota salah satu komite Nasdaq OMX Group. Madoff juga pernah menjadi anggota S&EC (Securities and Exchange Commission), badan pengawas usaha di AS. Perusahaannya termasuk pemimpin pasar dari 350 bursa Nasdaq, dimana di dalamnya termasuk perusahaan besar semacam Apple, EBay dan Dell. Ketika bursa saham berjatuhan, dan para investornya meminta balik uangnya, ia tidak bisa lagi membayari seluruh nasabahnya. Terbukalah kedok Madoff yang sebenarnya. Ini sungguhsungguh kejadian yang tak masuk di akal tapi benar-benar terjadi di dalam sistem kapitalisme.

Madoff mungkin kasus ekstrim dari kejahatan korporasi yang membuat malu kalangan kapitalis. Akan tetapi, sebenarnya, kegiatan dan operasi korporasi-korporasi besar kaum kapitalis di seluruh dunia tidak jauh beda dengan skandal Madoff. Kapitalisme didasarkan atas skema penipuan, terutama penipuan terhadap tenaga kerja. Akan tetapi penipuan tersebut dilegalkan sebagai cara produksi yang sah dan menutup kritik. Dalam perkembangannya, khususnya di Dunia Ketiga, kapitalisme melakukan penipuan yang lebih besar lagi, yaitu lewat teori pertumbuhan ekonomi dan teori “trickle down effects”. Hasilnya, sejak dijalankannya teori tersebut sebagai teori pembangunan sampai sekarang (globalisasi), hampir sebagian besar penduduk dunia tertipu mentah-mentah. Pertumbuhan ekonomi dan PDB yang bersifat agregat nyatanya berasal dari pertumbuhan korporasi-korporasi yang diklaim sebagai pertumbuhan bersama. Teori “kueh yang dibesarkan dulu baru dibagi” atau “tetesan ke bawah” nyatanya hanya skema penipuan. Korporasi-korporasi tumbuh besar, dan hanya sebagian kecil yang dibagikan ke rakyat lewat proyek kehumasan CSR (corporate social responsibility) atau dana-dana sosial yang tidak ada artinya. Dalam banyak kasus, mereka tidak memberikannya ke rakyat tapi dipakai untuk membayar “ekonomi biaya tinggi” yang merupakan dana untuk pembayaran rente, suap dan biaya lobby dengan para pejabat/birokrat pemerintah.

Perdagangan Bebas

Modus operandi yang sekarang paling banyak dipakai untuk ekspansi kapitalisme neo-liberal adalah melalui perdagangan bebas. Perjanjian Perdagangan Bebas di tingkat multilateral (diikat oleh banyak negara) dikenal sebagai WTO (World Trade Organization) yang sebelumnya bernama GATT (General Agreement on Trade and Tariff), sementara di tingkat bilateral dan kawasan (regional) disebut sebagai FTA (Free Trade Agreement). Perdagangan bebas sebenarnya adalah penyebab krisis. Dengan FTA, setiap negara yang terikat FTA harus meliberalisasi pasar mereka agar terbuka sepenuhnya untuk dimasuki barang dan jasa (terutama sektor keuangan) dari luar. Dengan WTO dan FTA, dilestarikanlah penjajahan tidak langsung. Kalau kita ingat diktum perdagangan masa lalu yang menyatakan “if goods can not enter the boundaries, soldier does”; maka pada saat ini tidak diperlukan lagi invasi tentara asing demi meluaskan perdagangan, tetapi cukup dilakukan lewat perjanjian-perjanjian perdagangan bebas. Dengan perjajian ini, Indonesia sudah diikat leher, tangan dan kakinya untuk menurut pada kepentingan ekspansi pasar global.

Seluruh strategi pembangunan ekonomi di sebuah negara sekarang dihapus dan diganti oleh perjanjian perdagangan bebas. Lagi-lagi, Indonesia adalah contoh klasik bagaimana sebuah negara dipreteli atau dilucuti kedaulatan ekonominya lewat IMF, sehingga sejak 1998 Indonesia tidak punya lagi Repelita dan GBHN, yang artinya tidak punya lagi strategi dasar pembangunan ekonomi. Sejak itu, perencanaan diserahkan sepenuhnya pada ketentuan dan kemauan pasar bebas. Ditambah lagi amandemen ke-4 UUD 45 tahun 2002 yang memasukkan kata ‘efisiensi’ dalam pasal 33 dan menghapus penjelasan UUD 45. Seluruh UU sektoral, sejak itu, juga dirubah menjadi UU yang neoliberal dan ramah pasar. Lalu dengan terikat kepada WTO sejak 1994 dan FTA (pertamakali lewat AFTA tahun 2002, China-ASEAN FTA tahun 2004 dan Indonesia-Jepang EPA tahun 2007), perlahan tapi pasti Indonesia dibuka lebar-lebar bagi invasi ekonomi asing. Tidak perlu lagi invasi tentara asing. Cukup memasukkan segala ketentuan perdagangan bebas dan pasal-pasal neolliberal ke dalam semua hukum positif kita maka habislah sudah kedaulatan ekonomi kita.

Sejak krisis 1997-1998 hingga krisis 2008-2009 sekarang ini, Indonesia terus-menerus memelihara krisis, karena penyebab krisis tetap dipertahankan. Rejim devisa bebas dan sistem keuangan yang sangat liberal menyebabkan Indonesia terus berada dalam cengkeraman krisis. Liberalisasi oleh IMF yang sifatnya sebagai pembuka pintu, kini dikunci ke dalam perjanjian-perjanjian perdagangan bebas. Aturan-aturan perdagangan barang (dan pertanian), jasa, investasi, HAKI, belanja pemerintah, kebijakan kompetisi, fasilitasi perdagangan terus masuk dalam berbagai FTA. Di tingkat ASEAN sudah dibuat payungnya bernama AEC (ASEAN Economic Community) yang memayungi semua perjanjian perdagangan bebas. Didalamnya ada AFTA yang sekarang menjadi ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement), AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services) dan ACIA (ASEAN Comprehensive Investment Agreement). Di tingkat FTA sudah ada ASEAN-China FTA, ASEAN-Korea FTA, ASEAN-Jepang FTA, Indonesia-Jepang EPA, dan ASEAN-Australia/NZ FTA. Sedang dirundingkan pula FTA dengan India, FTA dengan Uni-Eropa, FTA dengan AS, FTA dengan EFTA (European Free Trade Area) yang non-Uni-Eropa, dan lainnya. Semua ini mengarah kepada “single market and production base” serta “free flow of goods, capital, services, and skilled labor”. Indonesia adalah pasar terbesar di ASEAN, tetapi tunduk penuh pada kepentingan negara liberal yang kecil seperti Singapura. Dengan rejim perdagangan bebas ini, maka pasar kita yang besar dan usaha-usaha perekonomian kita dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Tidak ada yang tersisa untuk rakyat.

Keditaktoran Rejim Orba dan Ekonom Neoliberal (ortodoks)

Dalam konteks di Indonesia, kapitalisme neoliberal beroperasi lebih jahat dan lebih brutal. Kapitalisme global (neoliberal) kawin dengan otoriterisme, militerisme, renteisme, mafioso, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Hasilnya adalah sebuah “Kapitalisme primitif ala Indonesia”. Marx bicara tentang kapitalisme primitif yang menggunakan cara-cara ekstra ekonomi sebagai tahap awal ke arah kapitalisme modern. Di Indonesia, kapitalisme primitif tidak beranjak ke kapitalisme modern karena cara-cara ekstra ekonomi terus dilestarikan. Singkatnya, kapitalisme neoliberal yang kawin dengan rejim orde baru menghasilkan Kapitalisme pinggiran-birokrat-komprador yang tidak beradab dan terbelakang.

Pemerintahan saat ini secara substantif masihlah orde baru. Jadi orde reformasi itu hanya bohong-bohongan, kepura-puraan; karena sampai sekarang yang berkuasa tetap rejim orba. Rejim sekarang tepat bila disebut sebagai rejim orba jilid-2 atau neo-orba. Rejim neo-orba ini adalah regenerasi dan reproduksi dari sebelumnya. Mengapa disebut rejim neo-orba? Karena rejim ini masih berdiri di atas dasar-dasar orba, yaitu partai-partai politik milik elit-elit orde baru; TNI tetap dominan dan tidak tersentuh hukum; konglomerat kroni orba tidak tersentuh hukum; kerjasama erat dengan para korporasi multinasional (TNC) yang masih menguasai Indonesia; serta berkuasanya Bank Dunia, IMF, ADB, WTO dan lainnya dalam perumusan dan pengambilan kebijakan.

Disamping itu adalah kuatnya cengkeraman mafia berkeley–istilah untuk ekonom-ekonom orba yang menjaga rejim sistem ekonomi neoliberal di Indonesia. Tidak heran kalau alm. Prof. Mubyarto menyampaikan kecamannya terhadap ekonom-ekonom neoliberal tersebut: 

“Selama pakar-pakar ekonomi Indonesia yang ke-barat-baratan dan menganut paham neoliberal tidak mengakui kekeliruan-kekeliruan ini, dan terus-menerus bersikukuh menyarankan dan menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi konvensional yang terlalu tunduk pada hukum-hukum ekonomi global-neoliberal, yang jelas-jelas lebih menguntungkan negara-negara industri maju, dan merugikan ekonomi rakyat kita, maka selama itu pula ekonomi nasional Indonesia akan tetap rapuh, dan pembangunan nasional yang menyejahterakan rakyat tidak akan terwujud”.

Bahkan Kwik Kian Gie, Menko Perekonomian di masa Presiden Abdurrahman Wahid yang mengecam para ekonom neoliberal itu, mengatakan secara blak-blakan:

“Dalam setiap jaman selalu ada saja pengkhianat bangsa, komprador dan kroni yang dengan bangga dan dengan senang hati menyediakan dirinya untuk melayani kepentingan kekuatan-kekuatan global ketimbang membela kepentingan rakyatnya sendiri. Dalam bidang ekonomi, kelompok ini sangat kuat karena mereka berkesempatan membangun jaringan nasional maupun internasional. Mereka adalah mafia berkeley. ... Mereka menjadi pemegang kendali mutlak selama jaman orde baru. Dalam era pemerintahan Abdurrahman Wahid, mereka melekatkan diri melalui pembentukan berbagai dewan penasihat, tim asistensi dan sebagainya yang disponsori dan dipaksakan kepada Abdurrahman Wahid oleh kekuatan-kekuatan internasional. Dalam era pemerintahan Megawati, mereka bahkan mengendalikan banyak Eselon I dan II dari semua departemen dengan organisasi tanpa bentuk yang rapi bagaikan kabinet. Para angggotanya tidak patuh kepada Presiden Megawati, tetapi kepada Presidennya sendiri yang dilengkapi dengan para Menteri tanpa bentuk pula, tetapi de facto yang berkuasa atas bagian-bagian penting dari birokrasi resmi. Bagaimana caranya? Slogan para komprador itu adalah bahwa nasionalisme sudah mati dan tidak relevan lagi dengan arus globalisasi yang semakin hari semakin deras. Doktrin mereka adalah bahwa Indonesia harus menjadi bagian dari borderless world, tidak boleh memasang pagar apapun juga untuk melindungi dirinya sendiri. Sistem lalu lintas devisa haruslah bebas mengambang total, BUMN harus dijual kepada swasta, sebaiknya swasta asing, karena hanya merekalah yang mampu mengurus perusahaan. Pendeknya liberalisasi total, globalisasi total, dan asingisasi total".

-----------------------------------------------
 
Arthur MacEwan, “The Greed Fallacy”, September 18, 2008, dalam http://www.dollarsandsense.org/blog/

Lihat Walden Bello, U-20: Will the Global Economy Resurface? A Perspective on the G-20 “Solution” to the Global Financial Crisis, dalam website global research, http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=13004 

Brown to urge G20 to fight protectionists, AFP, dalam Lihat dalam Eric Toussaint, Your Money or Your Life: The Tiranny of Global Finance, Pluto Press, 1999, hlm. 178-182; Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, CIDES, 1998, hlm. 36-39.

Susan George, “A Short History of Neoliberalism”, dalam Walden Bello, Nicola Bullard, Kamal Malhotra (ed.), Global Finance: New Thinking on Regulating Speculative Capital Markets, Zed Books, 2000, hlm. 28-29.

Ted Wheelwright, “How neo-Liberal Ideology Triumphed”, Third World Resurgence, No. 99/1998, hlm. 11-12.

Susan George, Ibid., hlm. 29-31.

“Bernard Madoff arrested over alleged $50 billion fraud”, oleh Edith Honan, Dan Wilchins Edith Honan dan Dan Wilchins – Fri Dec 12, 12:40 am ET Reuters, di http://news.yahoo.com/s/nm/20081212/bs_nm/us_madoff_arrest

Prof. Mubyarto, Semangat Sumpah Pemuda Menggugat Budaya NeoLiberal, Jurnal Ekonomi Rakyat, dalam http://www.ekonomirakyat.org/edisi_20/artikel_2.htm diakses tanggal 18 Mei 2006

Kwik Kian Gie, “Membangun Kekuatan Nasional untuk Kemandirian Bangsa’, tulisan dalam rangka memperingati 100 tahun Bung Hatta, 19 Agustus 2002, hlm. 4.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar