Minggu, 23 Januari 2011

Pengembangan Strategi dan Taktik Pasca Pemilu Legislatif dan Pemilukada

Ditulis oleh Helmi Rosyadi

Di Banyuwangi, tingkat kemiskinan ekstrem sebetulnya sudah cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Meskipun tidak terdokumentasi dari data resmi, sebenarnya dapat dilihat secara kasatmata, seperti banyaknya tuna wisma, pengemis, dan gelandangan.

Berbicara soal kemiskinan sebaiknya kita membahas empat hal berikut. Pertama, kejatuhan daya beli yang begitu masif, khususnya bagi kalangan kelas menengah dan bawah. Kedua, munculnya kesenjangan pendapatan yang mencolok. Ketiga, penciptaan barisan penganggur, dimana sebagian besar masyarakat terdepak keluar dari pekerjaan tetap dalam sektor industri. Gejala ini ditandai oleh meningkatnya jumlah pengangguran dan perkembangan signifikan sektor informal. Terakhir, perlu ditegaskan bahwa kemiskinan bukanlah persoalan nasib atau takdir, melainkan berhubungan dengan persoalan struktural kekuasaan, sistem ekonomi, dan kebijakan politik.

Program Penanggulangan Kemiskinan Didanai oleh Utang

Dalam beberapa tahun ke depan, pemerintahan Abdullah Azwar Anas –Yusuf  Widyatmoko masih akan “mengandalkan” program-program seperti Raskin, PNPM, PKH dan BOS. Perlu diketahui bahwa program seperti Raskin, PNPM, PKH dan BOS didanai oleh utang. Program PNPM, misalnya, untuk tahun 2008 saja Bank Dunia sudah menggelontorkan dana US$ 400 juta. Bank Dunia juga mendanai program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) senilai US$ 600 juta dan harus dibayar hingga tahun 2033. 

Meraknyanya Penggusuran

Dalam beberapa bulan terakhir kita juga menyaksikan peningkatan intensitas penggusuran di pusat-pusat aktivitas ekonomi rakyat (pasar tradisional, jalan protokol, dan sebagainya). Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan besar-besaran proyek infrastruktur. Ada korelasi antara peningkatan program proyek yang didanai International Financial Intitutions (IFIs) seperti ADB, Bank Dunia dengan peningkatan penggusuran. Hal itu juga terungkap dalam pertemuan ke-42 Annual Governor Meeting Asia Development Bank (AGM ADB) di Bali, 2-5 Mei 2010. Dalam dokumen yang dirilis pada 14 Mei 2009, diidentifikasi adanya rencana penggusuran sejumlah rumah/permukiman yang dilalui proyek ADB (termasuk proyek Jalan Lintas Selatan (JLS) yang akan melalui Kabupaten Banyuwangi). Dalam dokumen itu, ADB sama sekali tidak menyinggung soal relokasi dan pemberian ganti rugi kepada korban atau rumah tangga yang terkena proyek.

Selain itu, penggusuran juga dimotivasi oleh kebutuhan untuk peningkatan akses pasar. Meskipun sektor informal menguntungkan dalam penyerapan tenaga kerja dan mendorong berkembangnya ekonomi rakyat, namun “kurang” menguntungkan bagi ekspansi pasar kapitalis. Merajalelanya pasar modern yang seperti Giant, Ramayana, Alfamart dan Indomart, membutuhkan penghancuran pasar-pasar tradisional dan toko-toko kecil. Hal seperti ini akan dipermudah dengan kebijakan desentralisasi (otonomi daerah) yang memberikan banyak kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota .

Perlawanan Rakyat Miskin

Secara umum, perlawanan rakyat miskin masih mencirikan karakter kurang terorganisasir, sporadis dan spontan. Meskipun begitu, perlawanan rakyat miskin di Kabupaten Banyuwangi memperlihatkan peningkatan intensitas. Penggusuran oleh Satpol PP mendapatkan perlawanan yang massif oleh pedagang di Pasar Induk Banyuwangi, PKL di parkiran depan Taman Sritanjung, PKL di Jalan Ikan Cakalang yang tergabung dalam Paguyuban Pedagang Tenda Biru, dan PKL di Jalan A. Yani yang tergabung dalam Asosiasi Pedagang Kaki Lima Banyuwangi (APKLI). Rakyat miskin di permukiman kumuh juga memberikan perlawanan yang massif  terhadap rencana penggugusuran pemukiman warga di Lingkungan Ujung Kelurahan Kepatihan yang akan dilalui oleh proyek Jalan Lintas Selatan (JLS).

Pada level perjuangan politik, rakyat miskin di Kabupaten Banyuwangi meresponnya dengan baik. di antaranya adalah demonstrasi yang dilakukan oleh Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) dalam menolak privatisasi dan komersialisasi pendidikan, pencabutan subsidi BBM, penolakan terhadap program-program penanggulangan kemiskinan yang dibiayai oleh utang di Simpang Lima, DPRD dan Kantor Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Pada isu politik lainnya, seperti Pemilu Legislatif dan Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pemilukada), rakyat miskin menjadi kekuatan sosial yang paling sering termobilisasi, terlepas itu digunakan untuk kepentingan politik tertentu. Namun, hal itu menjelaskan, kaum miskin mulai ambil bagian dalam perjuangan politik.

Problem Perlawanan Rakyat Miskin

Problem perlawanan rakyat miskin di Kabupaten Banyuwangi adalah karakter sosialnya yang tercerai berai dan terperangkap pada problem ekonomi. Meskipun berkali-kali berhasil mengadakan perlawanan, begitu mudah pula dipatahkan oleh alat-alat represif negara. Meskipun demikian, tanpa sebuah organisasi yang memberikan pedoman, massa akan bubar.

Belajar dari pengalaman gerakan rakyat miskin di beberapa negara, masalah terbesar dari gerakan semacam ini adalah pengorganisasian. Di Filipina, khususnya di kota Metro Manila, rakyat miskin yang mendiami sejumlah kawasan-kawasan padat penduduk yang kumuh diorganisasikan melalui komite-komite komunitas dan organisasi-organisasi komunitas. Organisasi terbesar rakyat miskin adalah ZOTO, sebuah federasi rakyat miskin beranggotakan 182 komite komunitas yang tersebar di 18 titik di kota Metro Manila dan sekitarnya. Tuntutan utama mereka adalah perumahan dan lapangan pekerjaan. Sementara dalam melayani komunitas (serve the people), aktivitas perjuangannya lebih beragam seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, pengadaan listrik, air bersih, unit usaha, dan bahan pangan.

Di Argentina, gerakan Piqutero justru terlahir dari respons spontan dan kemarahan rakyat akibat neoliberalisme. Mereka menggelar aksi blokade jalanan di sepanjang kota Buenos Aires. Gerakan Piqutero berhasil menumbangkan sejumlah presiden. Di Venezuela, meskipun perlawanan rakyat miskin benar-benar massif dan memimpin, pengaruh politik mereka baru benar-benar terasa setelah diorganisasikan dalam dewan-dewan komunal dan komite-komite komunitas.

Metode pengorganisasian massa melalui partisipasi demokratis menjadi hal yang penting untuk dilakukan (belajar dari keberhasilan anggaran partisipatif di Porto Allerge, Brazil dan demokrasi patisipatif yang diterapkan di Kerala, India). Partisipasi ini, dalam sejumlah praktik, hendak menjadikan setiap orang atau massa sebagai protagonis (pelaku utama) dalam perubahan. Dalam hal ini, kita tidak berbicara soal besar dan kecilnya keanggotaan organisasi atau partai, tetapi berbicara soal bagaimana menarik lebih banyak massa rakyat di belakang proposal dan pekerjaan politik kita. Tidak bisa lagi, dalam melakukan pengorganisasian, organisasi bersandar pada respons-respons kasuistik seperti penggusuran dan Perda, tetapi organisasi harus mampu melayani rakyat (serve the people).

Pada lapangan politik, rakyat miskin sudah harus senantiasa ditarik untuk terlibat dalam proses-proses politik, seperti pengambilan kebijakan, mengikuti pemilihan, dan mengontrol pemerintahan sehingga mereka lebih matang dalam berpolitik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar