Senin, 17 Januari 2011

Referendum Di Tengah Masa Jabatan

Salah satu kemajuan sangat penting dalam sistim pemilihan di Indonesia, sebagaimana sering diulang-olah oleh ilmuwan politik, adalah diperkenankannya pemilihan langsung di hampir semua tingkatan pemilihan (Presiden, Gubernur, Walikota/bupati).

Oleh banyak ilmuwan politik, model pemilihan langsung ini dianggap sangat demokratis dan legitimate. Meskipun Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko dipilih secara langsung oleh rakyat dan didukung oleh Partai-partai besar yang memperoleh kursi di DPRD, tetapi itu bukan berarti bahwa “dukungan itu bersifat tetap atau absolut”. Dukungan rakyat akan bersifat dinamis, bisa bergeser diantara dua imbangan kekuatan; pro-pemerintah atau oposisi.

Saya bisa memastikan bahwa dukungan rakyat pada saat Abdullah Azwar Anas-Yusuf Widyatmoko terpilih sebagai bupati dan wakil bupati akan sangat berbeda saat mereka sampai saat ini tidak mampu merealisasisan janji-janjinya semasa kampanye, "Sembako lebih terjangkau dan Lapangan kerja lebih luas" yang kenyataan dimasa pemerintahan Abdullah Azwar-Yusuf Widyatmoko harga sembako semakin mahal dan PHK semakin meluas.

Sistim Delegasi

Jika demokrasi dimaknai sebagai pendelegasian kekuasaan dari rakyat kepada wakil-wakil yang dipilih secara langsung, maka seharusnya rakyat punya kekuasaan penuh untuk memastikan bagaimana kekuasaan berjalan. Pada kenyataannya, mengacu kepada demokrasi liberal yang dimpor dari barat, rakyat hanya diberi kesempatan sekali dalam lima tahun dan itupun hanya diberi waktu lima menit.

Setelah segelintir caleg terpilih menduduki kursi DPRD Banyuwangi dan satu pasangan cabup/cagup, ataupun capres terpilih menjadi kepala daerah maupun presiden, mereka bukan lagi sebagai pemegang mandat dari rakyat, tetapi secara ekslusif dan elitis memutuskan sendiri kebijakan-kebijakan. Sehingga, menurut saya, demokrasi ala barat ini bukanlah pendelegasian kekuasaan, melainkan “perampokan” kekuasaan dari rakyat.

Sistim delegasi atau sistim juru-bicara bukan temuan demokrasi liberal, tetapi sudah terbentuk sejak “Komune Paris”, yaitu sebuah sistim yang memungkinkan seluruh rakyat menjalankan kedaulatan mereka di seluruh level pemerintahan negara.

Sistim delegasi ini bukan hanya bentuk perwakilan politik, bukan pula sekedar elektoral, tetapi sebuah sistim yang seharusnya memungkinkan mayoritas, bukan segelintir elit berkuasa, yang menjalankan kekuasaan dan segala urusan publik.

Akan tetapi, demokrasi liberal menjadikan sistem delegasi menjadi kendaraan bagi segelintir elit untuk menjalankan kekuasaan, tanpa kontol langsung dari pemberi mandat, yaitu rakyat. Dalam pemilihan, seseorang kandidat menjanjikan apa saja agar dirinya terpilih sebagai perwakilan (anggota DPRD/DPR/DPD), tetapi setelah si kandidat benar-benar terpilih dan menduduki jabatannya, maka ia tidak bisa lagi dikontrol atau di pegang oleh rakyat.

Beberapa masalah dalam sistim delegasi borjuis

Dalam sistim delegasi demokrasi borjuis, seorang politisi yang terpilih bertindak secara otonom atas nama rakyat, dan tidak mekanisme yang jelas tentang cara mengontrol politisi semacam ini.

Ada beberapa kelemahan yang patut dicatat di sini:

Pertama, delegasi yang terpilih kebanyakan tidak berasal dari tempat kerja atau masyarakat pemberi suara. kebanyakan kandidat adalah mereka yang ditunjuk oleh partai tertentu dan berkampanye atas nama rakyat setempat.

Kedua, delegasi yang terpilih tidak seluruhnya mewakili basis sosial tertentu atau kelompok sosial tertentu, terutama organisasi massa dan perkumpulan2 massa. Ada banyak kandidat yang terpilih tanpa mengetahui basis sosialnya, siapa pemilihnya, dan sebagainya.

Ketiga, hak untuk mencabut mandat pejabat terpilih tidak dimiliki oleh rakyat, melainkan oleh partai politik dari pejabat bersangkutan. Akibatnya, meskipun kinerja seorang delegasi sangat buruk dan tidak mewakili aspirasi pemilih, ia tetap saja dapat bekerja dengan tenang sepanjang partai belum mengeluarkan surat recall.

Keempat, kepentingan sosial para pemilih terdistorsi dan kehilangan keasliannya, lalu kemudian digantikan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu dari partai politik dan segelintir pebisnis.

Kelima, adanya perlakuan “istimewa’ terhadap delegasi/perwakilan dalam bentuk pemberian gaji yang tinggi dan kedudukan istimewa menyebabkan jabatan ini diincar oleh banyak sekali orang. Ada banyak orang yang rela membayar ‘kursi” asalkan mereka mendapatkan nomor jadi, sehingga ketika berkuasa orientasinya pun berubah menjadi bagaimana ia harus mengembalikan duit.

Keenam, para delegasi/perwakilan dalam demokrasi liberal hanya menerima “blanko kosong” dari para pemilih, tidak disertai dengan kontrak perjanjian mengenai apa-apa yang harus dikerjakan saat menjadi parlemen. Para anggota parlemen terpilih juga tidak pernah bertanya kepada basis pemilih, tentang agenda apa yang harus dibawa dalam rapat-rapat dan harus dimenangkan.

Persoalan “elektoral” lima tahun

Menarik apa yang dikatakan oleh pemikir politik Perancis, Alexis de Tocqueville, bahwa demokrasi yang dipraktekkan di barat hanya sebatas apa yang disebut “proses demokrasi”. Akan tetapi, demokrasi ala barat ini dianggap sebagai sesuatu yang universal, dan akan cocok untuk dipraktekkan di belahan dunia lainnya.

Salah satu bentuk dari demokrasi ala barat ini adalah pelaksanaan pemilu yang reguler, yaitu biasanya 4-5 tahun sekali. Di Indonesia, demokrasi semacam ini menjadi persoalan besar, karena kesulitan untuk mengantisipasi aspirasi pemilih yang ditinggalkan oleh kandidat terpilih.

Jadi, dalam lima tahun masa jabatan pemegang mandat (ekskutif/legislatif), rakyat tidak punya ruang untuk memberikan penilaian dan memutuskan apakah melanjutkan mandat atau mencabut mandat.

Karena mekanisme semacam ini absen dalam sistim politik kita, maka seorang otoriter bisa berkuasa penuh selama lima tahun (satu periode), bahkan ada yang berkuasa hingga beberapa periode berikutnya. Seorang gubernur dan bupati/walikota penggusur bisa melaksanakan jabatannya selama lima tahun, meskipun aspirasi luas masyarakat sudah tidak puas terhadap kepemimpinannya.

Disamping itu, mekanisme elektoral ala demokrasi barat memecah belah masyarakat menjadi individu-induvidu, bukan sebagai rakyat atau sektor-sektor sosial dari rakyat banyak. Akibatnya, para individu-individu ini sulit mengartikulasikan kepentingan kolektif sektor sosialnya, tetapi mereka terpecah belah atas nama “hak pilih bebas”.

Dengan demikian, demokrasi liberal sebetulnya sangat anti dengan berbagai bentuk pengorganisasian rakyat, dan lebih memilih bentuk individu-individu bebas yang kurang politis (apolitis).

Referendum tengah jabatan

Kita perlu memikirkan sebuah mekanisme yang memungkinkan rakyat mengevaluasi kinerja politisi (eksekutif/legislatif) di tengah jabatan. Seorang politisi korup dan menindas rakyat, jikalau tidak ada mobilisasi dari gerakan rakyat yang kuat, dapat berkuasa selama lima tahun.

Oleh karena itu, saya berfikir tentang perlunya referendum di tengah masa jabatan, baik bagi eskekutif (presiden dan kepala daerah) maupun alegislatif (DPR/DPRD), untuk mempertanyakan kepada rakyat mengenai kinerja para pemegang mandat tersebut.

Dalam hal ini, ketika rakyat menilai bahwa kinerja mereka (eksekutif/legislatif) kurang sesuai dengan aspirasi pemilih, maka para penerima mandat tersebut bisa diturunkan dan digantikan dengan orang baru.

Di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat, dikenal apa yang disebut “pemilu di tengah masa jabatan”, untuk mengukur tingkat kepuasaan pemilih terhadap pemerintahan.

Ada beberapa manfaat politik referendum di tengah masa jabatan bagi rakyat:

Pertama, referendum merupakan mekanisme demokratis bagi rakyat untuk bertanya di tengah masa jabatan, sekaligus punya kesempatan untuk mengoreksi jalannya pemerintahan (presiden/kepala daerah) atau mengevaluasi kerja-kerja wakilnya (DPRD/DPR/DPD).

Kedua, rakyat mempunyai hak melalui referendum untuk menjatuhkan pejabat politik yang menghianati aspirasi rakyat, seperti koruptor, penggusur atau perampas tanah rakyat, dan lain sebagainya.

Ketiga, rakyat punya kesempatan untuk mengorganisir diri dan terlibat aktif dalam politik. Untuk mengorganisir referendum, misalnya, rakyat pula dikumpulkan tanda-tangan dan dinyatakan kesetujuannya.

Tidak sedikit diantara para politisi dan ilmuwan politik liberal yang menaruh kekhawatiran terhadap isu referendum semacam ini. Mereka mulai berkampanye bahwa pelaksanaan referendum akan menyedot anggaran baru, dan itu kurang tepat dalam situasi ekonomi negara yang sedang sulit.

Jika mau dihitung-hitung secara jujur, maka biaya referendum akan jauh lebih murah dan efisien ketimbang kerugian negara akibat praktek korupsi di seluruh level pemerintahan dan birokrasi, belum termasuk biaya politik yang ditanggung rakyat akibat kebijakan-kebijakan parlemen/eksekutif yang merugikan rakyat.

1 komentar:

  1. Saya sepakat dg urain diatas. Khususnya yg terkait kedaulatan rakyat. Persoalanya adalah bagaimana konsepsi diatas bisa membumi dalam kultur rakyat. Sebenarnya; penguatan masyarakat sipil menjadi pilihan. Tapi para pelaku untuk memperkuat posisi tawar rakyat guna meningkatkan posisitawarnya atau menuntut hak-haknya, terlalu sedikit. Mari kita mulai gerakan penguatan kapasitas rakyat hingga terbangun kesadaran politik yg lebih adil dimata rakyat. Mari kita tentunya anda berperan dimana, kita berperan dimana dan saya berperan dimana. Agar paparan diatas segera terimplementasi dg tahapan yg nyata.

    Suara Rakyat Banyuwangi.

    BalasHapus