Kamis, 13 Januari 2011

PNPM Mandiri Bukan Jawaban Penghapusan Kemiskinan

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, yang diluncurkan Presidan pada 30 April 2007 di Palu diklaim sebagai jawaban atas masalah kemiskinan yang dihadapi 39,05 jiwa penduduk Indonesia. Benarkah PNPM merupakan jawaban Penghapusan Kemiskinan di Indonesia?

Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi memandang, bahwa apa yang disebut sebagai PNPM Mandiri tidak lebih dari sebuah megaproyek dari berbagai proyek departemen, kementerian, maupun lembaga yang diklaim memberdayakan dan diberi label PNPM Mandiri. PNPM Mandiri mulai dilaksanakan tahun 2007 oleh Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang notabene merupakan proyek-proyek lama yang hadir pada saat krisis terjadi. Sejak tahun 2008 selain PPK dan P2KP, proyek yang termasuk PNPM Mandiri adalah P2PDT (Program Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus), PPIP (Proyek Pembangunan Infrastruktur Pedesaan), dan PUAP (Program Usaha Agribisnis Pedesaan).Serta sejak tahun 2009 berubah menjadi PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan

Jika PNPM Mandiri dikatakan sebagai strategi penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah, Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi justru menyimpulkan sebaliknya, bahwa PNPM Mandiri bukanlah jawaban strategis bagi upaya penghapusan kemiskinan baik di Banyuwangi maupun di Indonesia. PNPM Mandiri menjauhi intervensi pada penyebab kemiskinan itu sendiri, yakni struktur dan kebijakan yang selama ini menghambat kaum miskin keluar dari kemiskinannya. Seandainya benar, PNPM Mandiri Perdesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan merupakan strategi terbaik dalam penanggulangan kemiskinan, maka dapat dipastikan jumlah penduduk miskin akan turun signifikan pada tahun 2009 dan 2010. Namun hal ini tidak terjadi. Ini semakin membuktikan bahwa PNPM Mandiri hanyalah proyek besar yang tidak mampu menjawab penyebab kemiskinan. Setidaknya argumen tersebut didasarkan pada bukti-bukti:

Pertama, target sasaran terbesar PNPM Mandiri ternyata bukanlah kaum miskin sesuai ukuran BPS, melainkan didominasi oleh memiliki usaha dan mereka yang berkepentingan pada infrastruktur. Kondisi ini menyebabkan kaum miskin akan menikmati manfaat langsung lebih kecil daripada yang bukan miskin. Itupun lebih didominasi sebagai tetesan efek dari manfaat yang diterima oleh kelompok-kelompok yang tidak miskin.

Kedua, program-program PNPM Mandiri lebih didominasi oleh infrastruktur dan bantuan modal. Orientasi kedua bidang tersebut jelas bukan penyebab utama terjadinya kemiskinan. Bagaimana mungkin kaum miskin lebih dominan memiliki usaha dan kemudahan dalam mengakses pasar? Sementara untuk hak-hak dasar dalam keseharian saja tidak terpenuhi. Jika mendasarkan pada kemiskinan pedesaan, jelas faktanya bahwa sekitar 13 juta rumah tangga merupakan petani gurem. Demikian pula pada kemiskinan perkotaan, yang dibutuhkan adalah jaminan dan perlindungan dalam bekerja, seperti pedagang kaki lima dan buruh. Di sinilah masalahnya, PNPM Mandiri tidak memiliki komitmen dalam memastikan struktur dan kebijakan yang menghambat kaum miskin untuk diintervensi. Orientasi pada dua bidang tersebut jelas menunjukkan bahwa penanggulangan kemiskinan akan berjalan lambat, itupun terjadi jika ada tetesan efek.

Ketiga, PNPM Mandiri bukanlah pemberdayaan sebagaimana namanya. Bagaimana mungkin terjadi pemberdayaan jika dilakukan melalui proyek yang didominasi oleh infrastruktur dan bantuan modal? Dalam konteks penghapusan kemiskinan, pemberdayaan kaum miskin semestinya diarahkan pada perubahan struktur dan kebijakan yang menghambat kaum miskin untuk mendapatkan dan mengaktualisasi hak-haknya. Ruang tersebut tampaknya kecil atau bahkan tidak ada dalam PNPM Mandiri, dan lebih didominasi oleh semangat usaha dalam kerangka pertumbuhan ekonomi.

Keempat, PNPM Mandiri mengklaim bahwa setiap kecamatan akan menciptakan lapangan kerja bagi 250 orang. Namun penciptaan lapangan kerja itu hanya bersifat sementara karena hanya berbentuk cash for work. Padahal apa yang disuguhkan oleh PNPM Mandiri adalah lapangan kerja semu yang tidak berorientasi jangka panjang. Setelah proyek selesai para pekerja pun akan menganggur lagi, miskin lagi. Namun, secara politis strategi ini akan diklaim sebagai sebuah prestasi yang bisa dijual bahwa pemerintah telah mengurangi pengangguran sehingga memperbaiki data pengangguran BPS.

Kelima, pendanaan PNPM Mandiri secara dominan dibiayai dari utang luar negeri, yang sampai saat ini tetap menjadi masalah dalam APBN. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihakan, dan menyerahkan penanggulangan kemiskinan kepada pihak luar untuk mengurusi kaum miskin. PNPM Mandiri sejak tahun 2009 telah mencakup seluruh kecamatan dengan anggaran 1 – 3 miliar. Itu artinya, penarikan utang akan terjadi lebih besar lagi. Utang luar negeri jelas menjadi beban dan menguras banyak keuangan negara yang semestinya dapat diarahkan pada penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Di sinilah utang luar negeri menjadi sumber pemiskinan bagi bangsa ini. Dan bagaimana mungkin menanggulangi kemiskinan, sementara utang luar negeri terus kita perbesar?

Keenam, PNPM Mandiri tidak konsisten dengan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang telah diluncurkan pada tahun 2005, dan diadopsi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) SBY-Boediono. SNPK yang mestinya menjadi acuan semua pihak dalam penanggulangan kemiskinan justru diabaikan dalam PNPM Mandiri. Pengabaian itu terbukti pada paradigma hak, pemisahan kelembagaan Tim Pengendali yang berdiri sendiri, koordinasi dan sinkronisasi antar departemen/kementerian dan lembaga yang masih bekerja diluar tugas pokok dan fungsi. Misalnya, bagaimana mungkin Depdagri, Departemen Pekerjaan Umum, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Departemen mempunyai proyek infrastruktur dan saling menyalurkan kredit usaha kecil? Jika demikian, apakah tidak sebaiknya Kementerian Usaha Kecil dan Menengah dibubarkan saja?

Dalam konteks penghapusan kemiskinan di Indonesia, Dewan Pimpinan Kolektif Aliansi Rakyat Miskin (DPK-ARM) Kabupaten Banyuwangi menuntut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk konsisten dengan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Dalam SNPK, sangat jelas bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya (meliputi hak atas pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan berusaha, perumahan, air bersih dan sanitasi, tanah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan hak untuk berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan) untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Berdasar pada SNPK sebagai acuan dalam penanggulangan kemiskinan, adalah kewajiban bagi SBY-Budiono untuk merumuskan program penanggulangan kemiskinan yang benar-benar menjawab penyebab utama kemiskinan, jaminan dan perlindungan atas hak pekerjaan, berorientasi jangka panjang, berbasis pembiayaan dalam negeri, sinkronisasi dan koordinasi aparat yang lebih baik, tentu saja tidak seperti PNPM Mandiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar